Persidangan kedelapan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama membuka pelajaran kesekian bagi kita. Kali ini hal yang tersentil ialah kematangan nalar. Terkait dengan persidangan yang berlangsung Selasa (31/2), Basuki dikecam beberapa pihak karena dianggap mencecar KH Ma'ruf Amin. Ulama sepuh tersebut dihadirkan sebagai saksi ahli dengan posisi sebagai Ketua MUI.
Dalam persidangan itu, Basuki dan tim kuasa hukumnya mengajukan pertanyaan berulang mengenai proses keluarnya fatwa MUI terkait dengan pidato Basuki di Kepulauan Seribu. Begitu pun ketika menanyakan perihal kontak telepon Ma'ruf dengan Presiden Keenam Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan pasangan calon nomor urut 1 pilkada DKI Jakarta Agus Yudhoyono-Sylviana Murni.
Pertanyaan berulang memang bisa dianggap mencecar, tetapi yang semestinya ditanyakan nalar kita apakah ini dilarang dalam persidangan? Jika melihat jalannya persidangan di seluruh muka bumi, jawabannya jelas tidak. Pertanyaan berulang ialah cara umum yang dilakukan baik oleh jaksa, pengacara, maupun hakim untuk menggali kebenaran. Bahasa persidangan mengenalnya sebagai teknik cross examination.
Karena itu pula kita tidak melihat adanya keberatan dari hakim. Siapa saja yang duduk di kursi persidangan bisa dihadapkan pada hal itu karena memang tidak ada yang lebih tinggi di mata hukum. Justru ketika seseorang mendapat keistimewaan, semestinya kita memprotes. Nalar keadilan inilah yang harusnya lebih dijunjung di samping norma kesantunan dan penghormatan tokoh yang memang ada dalam budaya kita.
Sikap santun dan hormat terhadap para tetua jelas terpuji. Namun, jangan pula tuntutan kesantunan itu mengaburkan jalan bagi mereka yang mencari kebenaran. Begitu pula dengan permintaan maaf yang terjadi khusus setelah persidangan kali ini. Permintaan maaf Basuki yang kemudian disambut penerimaan maaf oleh Ma'ruf ialah bentuk keteladanan.
Baik Basuki maupun Ma'ruf telah menunjukkan adab terpuji dalam koreksi diri, kepemimpinan, ataupun dalam menjaga keguyuban. Di sisi lain, kita juga tetap jernih memandang proses peradilan. Permintaan maaf Basuki jangan sampai membuat stigma negatif terhadap teknik-teknik penggalian fakta persidangan. Jika itu terjadi, hukum telah tunduk sebelum kebenaran itu berdiri.
Kini saatnya masyarakat sebagai penonton persidangan mengedepankan nalar ketimbang emosi. Jangan sampai justru kita bertindak melebihi hakim yang mengatur jalannya persidangan. Keunggulan akan nalar persidangan bisa kita contoh dari Presiden Joko Widodo. Saat menanggapi pertanyaan SBY, Presiden memosisikan fakta pengadilan sebagaimana adanya.
Terkait dengan persidangan Basuki, SBY menduga adanya penyadapan yang dilakukan terhadap hubungan telepon dirinya dengan Ma'ruf. SBY pun meminta Presiden Jokowi memberikan penjelasan mengenai siapa yang melakukan penyadapan. Namun, Presiden Jokowi justru mengembalikan pertanyaan itu kepada para pihak yang terkait dalam persidangan.
Sebagai fakta persidangan, Presiden Jokowi menilai tidak tepat jika dugaan tersebut justru dialamatkan pada pihak di luar persidangan. Sikap Presiden Jokowi menunjukkan kejernihannya dalam menghormati proses persidangan. Selain itu, respons-respons di luar persidangan justru akan memancing kegaduhan lain. Sudah semestinya para tokoh bangsa menjadi yang terdepan untuk mencegah provokasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
