Kebijakan Imigrasi Presiden Imigran
Kebijakan Imigrasi Presiden Imigran ()

Kebijakan Imigrasi Presiden Imigran

30 Januari 2017 07:34
Presiden Donald Trump menerbitkan perintah eksekutif keimigrasian. Perintah eksekutif itu mengatur larangan masuk ke Amerika Serikat bagi warga negara tujuh negara mayoritas muslim, yakni Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libia, selama 90 hari ke depan serta penundaan penerimaan pengungsi selama 120 hari.
 
Para pendatang yang sesuai dengan kriteria tersebut dan dalam perjalanan menuju AS pada Jumat pekan lalu saat Trump menandatangani dokumen itu ditahan dan dihentikan setiba mereka di bandara AS.
 
Begitu pula, pengunjung yang telah memiliki visa resmi dan tiket menuju AS dicegah untuk terbang, beberapa bahkan terjebak di luar negeri saat transit perjalanan.
 
Mengapa Trump melakoni kebijakan tersebut? Kebijakan Trump itu merupakan bagian dari politik populisme.
 
Populisme ialah politik perlawanan terhadap kemapanan pada isu-isu globalisasi, perdagangan bebas, dan imigrasi.
 
Kebijakan globalisasi, perdagangan bebas, serta imigrasi tersebut sesungguhnya merupakan konsensus elite politik sebelumnya, tetapi belakangan tidak memuaskan publik.
 
Secara ekonomi, warga Amerika kehilangan kesempatan kerja yang diserobot kaum imigran.
 
Secara politik, ketujuh negara muslim tersebut distigma gemar memproduksi terorisme dan acap menjadikan Amerika sebagai sasaran.
 
Ketidakpuasan itulah yang ditangkap Trump dan menjadi jualan politiknya sehingga ia memenangi pemilihan presiden AS. Trump betul-betul melaksanakan janji politik yang ia lontarkan dalam kampanye.
 
Sampai di sini kebijakan keimigrasian Trump mungkin bisa dimaklumi.
 
Namun, kita tidak hendak berhenti pada penyebab, tetapi juga akibat.
 
Kebijakan Trump itu jelas membuyarkan rumus Amerika sebagai tanah kebebasan dan harapan.
 
Trump lupa bahwa Amerika dibangun kaum imigran. Trump seperti menderita amnesia bahwa nenek moyangnya imigran asal Jerman.
 
Perusahaan raksasa semacam Apple, Google, dan Netflix dioperasikan banyak profesional dan pekerja imigran.
 
Pendiri Apple, Steve Jobs, ialah anak seorang imigran asal Suriah.
 
Itulah sebabnya ketiga perusahaan tersebut mempersoalkan kebijakan Trump.
 
Kebijakan Trump jelas menggeneralisasi dan menstigma seolah seluruh warga negara ketujuh negara tersebut ialah teroris.
 
Ia sebuah kebijakan yang penuh kebencian.
 
Kita khawatir kebijakan itu menghadirkan kebencian terhadap kaum muslim yang bermukim di Amerika.
 
Kita juga khawatir kebijakan itu justru memantik radikalisme global yang tak hanya mengancam Amerika, tetapi juga dunia.
 
Bagaimana sebaiknya kita merespons kebijakan Trump?
 
Sudah tepat kebijakan pemerintah Indonesia yang melalui Kementerian Luar Negeri mengimbau warga negara Indonesia di AS untuk menaati hukum, memahami hak-hak mereka, serta mencermati lingkungan sekitar.
 
Akan tetapi, kita perlu melakukan lebih dari sekadar imbauan.
 
Sebagai negara yang menjalankan politik luar negeri bebas aktif, kita mesti mempersoalkan kebijakan Trump.
 
Hari ini tujuh negara terkena kebijakan keimigrasian Trump.
 
Bukan tidak mungkin esok atau lusa Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia mendapat perlakuan diskriminatif serupa.
 
Paralel dengan itu, kebijakan keimigrasian Trump mengingatkan kita untuk menjaga dan membangun rumah kita sendiri.
 
Secara ekonomi, kita mesti membangun kemandirian demi kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial.
 
Secara politik, kita mesti menampilkan sosok Islam ramah, bukan Islam marah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pemerintahan as

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif