SUDAH terlalu sering kita berteori dan berwacana tentang pembubaran ormas radikal ataupun ormas anti-Pancasila.
Energi kita nyaris terkuras membicarakan pembubaran ormas-ormas model begitu, dan celakanya ia berhenti di meja teori dan wacana.
Itulah sebabnya Presiden Joko Widodo Jumat pekan lalu mewanti-wanti jangan sampai energi bangsa ini habis mengurus perkara ormas radikal dan anti-Pancasila itu.
Pernyataan Presiden ini mesti dibaca sebagai perintah kepada para pemangku kebijakan untuk segera menyelesaikannya.
Energi kita jauh lebih baik digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi inklusif, misalnya, daripada bolak-balik mengurus ormas-ormas tersebut.
Kantor Kemenko Polhukam diberitakan tengah 'melakukan sesuatu' untuk membereskan radikalisme fisik ormas radikal dan radikalisme ideologis ormas anti-Pancasila.
Rakyat menanti langkah konkret dari Kemenko Polhukam.
Ada yang mengusulkan jalan dialog.
Dialog antara pemerintah dan ormas radikal serta anti-Pancasila rada ganjil.
Dialog bisa ditafsirkan negara takluk kepada ormas radikal dan anti-Pancasila. Pemerintah harus menunjukkan ketegasan sikap bila mengambil jalan dialog.
Ada pula pendapat bahwa ormas-ormas tersebut bisa dibubarkan melalui pengadilan. Jalan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Bila melalui pengadilan, jalan yang ditempuh panjang dan berliku. Lagi pula, pemerintah seperti tak pernah menempuhnya meski jalan ini telah disediakan undang-undang sejak lama.
Bila pemerintah ingin menempuh jalan pengadilan, segera saja lakukan. Sudah terlalu banyak bukti kekerasan verbal, fisik, ataupun ideologis yang dilakukan ormas-ormas tersebut.
Untuk ormas anti-Pancasila dan anti-NKRI, melihat visi, misi, dan cita-cita yang diperjuangkan mereka saja sudah cukup bagi negara untuk mulai menyeret ke pengadilan.
Bila jalan pengadilan dianggap terlalu berbelit-belit, diperlukan undang-undang yang lebih simpel mengatur pembubaran ormas.
Muncul usul pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau revisi undang-undang.
Perppu tentu lebih cepat prosesnya ketimbang revisi undang-undang. Akan tetapi, keduanya tetap memerlukan persetujuan DPR.
Celakanya sejumlah partai politik ditengarai justru mengambil untung dari keberadaan ormas-ormas tersebut.
Anggota ormas tersebut bahkan menjadi konstituen parpol tertentu ketika pemilu.
Kita berharap DPR mendukung ikhtiar pembubaran ormas melalui perppu atau revisi undang-undang bila jalan itu yang ditempuh negara.
Apalah artinya kemenangan dalam pemilu apabila taruhannya ketertiban sipil dan ideologi serta kesatuan dan persatuan Indonesia.
Bola kini di kaki pemerintah.
Terserah pemerintah apakah akan menendang bola ormas radikal dan anti-Pancasila itu jauh keluar dari Indonesia atau masih akan menggoceknya.
Terserah pemerintah akan menempuh jalur yang mana, apakah dialog, pengadilan, perppu, atau revisi undang-undang.
Yang paling penting bagi rakyat ialah ada langkah maju dalam upaya pembubaran ormas bermasalah tersebut.
Setiap kebijakan pasti mengandung risiko.
Justru risiko terbesar harus kita hadapi bila pemerintah tidak mengambil langkah konkret apa pun untuk membubarkan ormas-ormas tersebut.
Bila ormas-ormas radikal dan anti-Pancasila dan anti-NKRI itu tak bubar, risikonya negara yang terancam bubar.
Jangan sampai.
- See more at: https://mediaindonesia.com/editorial/read/1052/bola-ormas-di-kaki-negara/2017-05-08#sthash.XiVyaP7r.dpuf
