()

Hukum tanpa Keadilan

20 Maret 2015 06:07
ASAS hukum ialah keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian. Namun, di Tanah Air ini, belakangan hukum dan keadilan seperti bertolak belakang. Hukum seperti berjemawa meninggalkan keadilan. Lihat saja kerasnya hukum pada Nenek Asyani dan Yusman Telaumbanua. Nenek Asyani yang berusia 63 tahun telah ditahan 3 bulan akibat tuduhan mencuri kayu. Padahal, kasusnya penuh kejanggalan, termasuk soal kayu yang menurut sang nenek didapat dari lahan sendiri. Baru belakangan ini majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo mengabulkan penangguhan penahanan setelah kasus sang nenek mencuat dan Bupati Situbondo Dadang Wigiarto menjadi penjaminnya.
 
Sementara itu, Yusman yang berusia di bawah umur divonis mati oleh hakim PN Gunungsitoli karena dituduh membunuh majikannya pada 2012. Ada tuduhan rekayasa di kasus ini. Salah satunya ialah umur yang dikatrol dari 16 tahun menjadi 21 tahun. Dua kasus itu baru puncak gunung es dari timpangnya hukum bagi kaum bawah di Indonesia. Bagi para pelaku kriminal berkantong tebal, hukum seperti tumpul. Lihat saja terpidana rekening gendut Aiptu Labora Sitorus yang bisa hilang dari LP Sorong dan berbulan-bulan tidak diketahui rimbanya. Para penegak hukum juga berbalik lamban menahan koruptor seperti pada empat tersangka dugaan korupsi proyek percontohan KTP elektronik berbasis nomor induk kependudukan (NIK) pada Ditjen Administrasi Kependudukan. Di 2010 itu, meski surat perintah penyidikan sudah keluar, para tersangka tidak kunjung ditahan hingga setahun kemudian.
 
Ketimpangan inilah yang makin mencoreng wajah hukum Indonesia. Kita bahkan tidak bisa lagi berdalih bahwa keterasingan keadilan dari gegap gempita penegakan hukum adalah karena para penegaknya punya anggapan sama dengan perdebatan para ahli sejak zaman Plato. Para ahli itu sibuk berdebat bahwa keadilan hanyalah pandangan moral terhadap hukum. Keadilan bisa jadi relatif sebagaimana pandangan moral itu sendiri. Namun di Tanah Air, bahkan kita dibuat bertanya apakah ada moral di para penegak hukum? Di manakah moral ketika fakta-fakta tidak diacuhkan bahkan direkayasa?
 
Sudah sepantasnya kecacatan hukum ini menjadi pelajaran mahal bagi para penegak hukum. Hukum yang meniadakan keadilan dan bahkan penuh rekayasa bisa jadi bumerang. Citra buruk para penegak hukum bisa semakin sulit pulih dan pada akhirnya tidak akan ada lagi kepercayaan masyarakat pada sistem hukum negara ini. Pemulihan hukum yang adil harus menjadi prioritas. Hal ini bisa diawali dengan perbaikan proses peradilan pada Nenek Asyani, Yusman, dan lainnya. Terungkapnya dugaan pemalsuan usia yang dilakukan penyidik pada Yusman harus diusut tuntas. Begitu pula pada majelis hakim yang memvonis hukuman mati tersebut. Lebih dari itu, peradilan hanya bisa kembali adil jika seluruh prosesnya dilakukan dengan cermat. Ini tentunya harus berlaku sejak tahap penyidikan. Tidak boleh lagi ada fakta-fakta yang dipinggirkan bahkan dihilangkan. Hanya dengan asas cermat, peradilan dapat kembali bisa dipercaya sehingga pada akhirnya hukum di Tanah Air dapat menjalankan fungsinya, yakni melindungi dan memberi rasa keadilan pada masyarakat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase hukum

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif