PERSOALAN tenaga kerja asing asal Tiongkok kembali mengemuka, menyedot perhatian publik, bahkan menjadi komoditas politik. Ia kian menyesaki ruang polemik yang ujung-ujungnya akan membuat energi bangsa semakin defisit.
Persoalan tenaga kerja asal Tiongkok sebenarnya sudah cukup lama mencuat seiring dengan kebijakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk menggenjot pembangunan infrastruktur dengan menggandeng perusahaan-perusahaan asal 'Negeri Tirai Bambu'. Ia menjadi efek samping dari kebijakan yang bagus karena sebagian dari perusahaan itu juga memasukkan tenaga kerja yang celakanya tak punya keahlian, bahkan tak punya izin resmi alias ilegal.
Bak bola salju, persoalan tersebut menggelinding dan membesar karena dari waktu ke waktu terus ditemukan adanya buruh kasar asal Tiongkok di sejumlah wilayah. Selain masuk lewat perusahaan, ada pula pendatang lepas. Bahkan, pada November silam, aparat menangkap empat WN Tiongkok yang menanam cabai berbakteri di perbukitan Kabupaten Bogor.
Adanya buruh kasar asal Tiongkok yang berdatangan ke Indonesia adalah fakta tak terbantahkan. Adanya tenaga kerja ilegal asal Tiongkok adalah realitas yang mustahil disangkal. Namun, semua pihak mesti bijak bersikap. Sangat tidak patut, misalnya, jika kemudian ada yang membungkus fakta dengan data yang mengada-ada lantas menyebarkan ke mana-mana. Yang paling santer ialah berita bahwa pekerja Tiongkok yang menyerbu Indonesia berjumlah 10 juta orang.
Berita-berita semacam itu jelas tak layak disodorkan untuk menjadi santapan publik. Pemelintiran data dan fakta itu ujung-ujungnya seperti hendak mengobarkan rasialisme. Karena itu pula kita sepakat dengan penegasan Presiden Jokowi bahwa berita tersebut bohong belaka. Ia tegaskan, angka 10 juta merupakan target wisatawan Tiongkok yang diharapkan datang ke Indonesia untuk menghabiskan uang.
Jokowi memang mengakui ada tenaga kerja asal Tiongkok, tetapi jumlahnya hanya sekitar 21 ribu. Jokowi juga mengakui adanya tenaga kerja ilegal asal Tiongkok, tetapi jumlahnya tak banyak, tak mencapai ribuan, hanya sekitar 800 orang. Mereka mendompleng kebijakan bebas visa yang dibuat pemerintah.
Kita patut meyakini, persoalan pekerja asal Tiongkok telah dijadikan dagangan politik untuk mendiskreditkan pemerintah. Meski kebijakan bebas visa masih menyisakan celah, desakan agar hal itu dicabut juga tak tepat. Kebijakan tersebut terbukti ampuh memikat wisatawan asing. Tahun ini diperkirakan 12 juta pelancong mancanegara membanjiri Indonesia dan diperkirakan menyumbang devisa Rp184 triliun dari target semula Rp172 triliun.
Kita berharap, dengan klarifikasi Jokowi, rakyat bisa mendapatkan fakta soal pekerja Tiongkok yang sesungguhnya. Kita mendesak aparat keamanan untuk menindak penyebar kabar palsu perihal tenaga kerja asal Tiongkok yang bisa meresahkan masyarakat.
Namun, harus kita tegaskan pula, sesedikit apa pun jumlah buruh dan pekerja ilegal Tiongkok, itu merupakan penghinaan terhadap hukum kita. Aturan perundangan dari UU Ketenagakerjaan, peraturan presiden atau peraturan pemerintah, hingga peraturan menteri tegas melarang tenaga kerja asing yang tak punya keahlian untuk bekerja di Indonesia.
Kita tidak butuh pekerja kasar dari mancanegara karena masih amat banyak pekerja Indonesia yang butuh pekerjaan. Keberadaan mereka adalah masalah serius yang bisa berimplikasi multidimensi. Pencegahan dan penindakan pun mutlak dilakukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di