Editorial Media Indonesia
Editorial Media Indonesia ()

Menjarakkan Agama dan Politik

27 Maret 2017 07:27
Indonesia negara berketuhanan yang maha esa. Itu menandakan Indonesia negara yang mengakui Tuhan, bukan negara ateis.
 
Itu sekaligus menandakan Indonesia bukan negara berdasarkan pada satu agama tertentu. Indonesia bukan negara agama karena negara agama pastilah berdasarkan pada satu agama tertentu.
 
Bila Indonesia berdasarkan agama tertentu, pastilah dasar negara menyebut agama tersebut. Dasar negara kita menyebut 'Tuhan Yang Maha Esa', yang merupakan sembahan semua agama, bukan cuma satu agama.
 
Negara selanjutnya menjamin kebebasan penganut agama, agama apa pun, untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka. Kelompok-kelompok intoleranlah yang suka menghalangi penganut agama beribadah. Pemisahan politik dan agama sesungguhnya terkandung dalam prinsip 'Indonesia negara berketuhanan yang maha esa' itu. Presiden Joko Widodo pekan lalu menyatakan keharusan pemisahan agama dan politik. Itu artinya pernyataan Presiden sangat prinsipiil, terkandung dalam ideologi negara.
 
Selain sangat prinsipiil, pernyataan Presiden Jokowi juga sangat kontekstual. Beberapa bulan belakangan energi bangsa ini nyaris tandas terkuras untuk mengurus pelibatan agama dalam politik pilkada DKI Jakarta.
 
Pilkada DKI yang semestinya berlangsung wajar sebagaimana pilkada-pilkada lain menjadi rumit dan keruh. Pilkada-pilkada lain berlangsung asyik tanpa kekeruhan karena tidak ada elite yang melibatkan agama di dalamnya.
 
Unjuk rasa bertubi-tubi merupakan salah satu bentuk kekeruhan di pilkada DKI Jakarta itu. Lalu lintas macet. Rutinitas warga terganggu. Aparat keamanan pontang-panting. Jatuhnya sejumlah korban politik ialah bentuk lain kekeruhan politik di pilkada DKI. Kandidat petahana Basuki Tjahaja Purnama menjadi korban pertama, harus duduk di kursi terdakwa. Ahmad Ishomuddin yang menjadi saksi meringankan Basuki di persidangan ialah korban lainnya, diberhentikan dari kepengurusan Majelis Ulama Indonesia.
 
Dari kalangan rakyat, ada warga yang diberhentikan sebagai pembina masjid karena memilih Basuki pada putaran pertama. Bahkan, ada jenazah warga yang ditolak untuk disalati, juga karena semasa hidupnya mencoblos Basuki di putaran pertama.
 
Presiden Jokowi dalam konteks ini sesungguhnya hendak mengingatkan kita semua untuk tidak lagi mencampuradukkan agama dan politik. Pasalnya banyak elite yang sampai sekarang gemar menggado-gadokan agama dan politik. Tak sedikit pula elite yang menikmati dan menangguk untung dari kekeruhan akibat gado-gado agama dan politik.
 
Celakanya, para elite melibatkan agama dalam politik kelihatannya bukan karena sungguh-sungguh hendak menjalankan ajaran agama, melainkan karena kekuasaan. Bila itu yang terjadi, mereka sama saja sekadar menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan.
Bila dikatakan politik itu kotor, agama selayaknya hadir untuk membersihkannya, bukan memperkeruhnya. Agar dapat menjalankan fungsi sebagai penjaga moral politik, agama sepantasnya menjaga jarak dengan politik. Bila agama masuk terlalu dalam ke pusaran politik, sangat mungkin yang terjadi kekeruhan.
 
Itulah sebabnya para bapak pendiri bangsa tidak mencampuradukkan agama dan politik, tidak menjadikan agama sebagai ideologi negara. Para pendiri bangsa tidak menginginkan generasi penerus direpotkan urusan menyelesaikan kekeruhan akibat bercampurnya agama dan politik. Lalu mengapa kita repot mencari-cari perkara dengan mencampuradukkan agama dengan politik? Gitu aja kok repot.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pilgub dki 2017

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif