Menabur Keberagaman di Pilkada DKI
Menabur Keberagaman di Pilkada DKI ()

Menabur Keberagaman di Pilkada DKI

21 September 2016 06:36
Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat sudah berjalan lebih dari satu dekade sejak pertama kali digelar pada 2005. Mestinya, bangsa ini kian dewasa menapaki demokrasi lokal. Proses pendewasaan demokrasi lokal, terutama, ada di pundak partai politik. Partai politik memiliki kewenangan untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah selain pencalonan melalui jalur independen.
 
Pasangan calon itulah yang didaftarkan partai politik ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di 101 daerah yang menggelar pilkada serentak pada 15 Februari 2017. Pendaftaran dilakukan mulai hari ini hingga Jumat (23/9). Meski pilkada digelar di 101 daerah di Indonesia, pilkada DKI Jakarta paling menyedot perhatian publik. Menyedot perhatian bukan karena Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berpasangan lagi dengan Djarot Saiful Hidayat.
 
Jakarta menyedot perhatian karena ia sering juga disebut sebagai Indonesia dalam bentuk mini. Berbagai etnik dari seluruh Indonesia berkumpul di Jakarta. Isu-isu primordial sangat rawan menjadi amunisi pemicu konflik. Bukankah kampanye hitam bermuatan primordialisme sudah bertebaran di mana-mana?
 
Harus tegas dikatakan bahwa isu-isu primordial yang menyertai pilkada itu memperlihatkan bangsa ini tak kunjung dewasa dalam menjalani demokrasi lokal. Celakanya, isu-isu primordial itu justru diprakarsai mereka yang menyebut diri sebagai pentolan reformasi. Orang yang saat mengetuai lembaga negara getol bicara keragaman, giliran tak berkuasa lagi, malah gemar bicara rasialisme. Ia ibarat pendekar dewa mabuk yang mengeluarkan jurus rasialis ke segenap penjuru Ibu Kota. Dalam perspektif itulah, kita sepakat dengan para pengamat bahwa penetapan Basuki Tjahaja Purnama berpasangan lagi dengan Djarot Saiful Hidayat bertujuan mengalahkan serangan berbau sektarian. Ahok-Djarot dipercayai bisa menyemai pluralisme.
 
Mungkinkah Ahok-Djarot sebagai antitesis sektarian? Jawabannya ialah sangat mungkin. Jangan lupa, sektarianisme hanya tumbuh subur di kalangan elite partai. Isu sektarian disemai untuk meraih kekuasaan semata. Para elite lupa, atau pura-pura lupa, hasil sejumlah penelitian menunjukkan pada dasarnya pemilih di Indonesia terbilang cerdas dan rasional. Ceruk pasar isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kian sempit, hanya memengaruhi segelintir pemilih. Meski demikian, isu SARA tetap perlu diwaspadai karena dapat menimbulkan bahaya besar jika direproduksi terus-menerus di ruang publik.
 
Mayoritas pemilih Jakarta cukup moderat dalam memandang asal usul agama dan etnik ketika menentukan dukungan terhadap calon gubernur. Pemilih Jakarta yang cerdas dan rasional itulah modal sosial untuk terus menumbuhkembangkan demokrasi rasional.
 
Dalam demokrasi rasional, rakyat pemilih wajib hukumnya menjatuhkan pilihan pada kandidat terbaik yang memiliki kapasitas menyelesaikan persoalan Jakarta. Tidak boleh memilih berdasarkan isu primordial, apalagi dipengaruhi iming-iming uang.
 
Isu SARA biasanya sengaja dimainkan ketika lawan tanding dianggap susah dikalahkan dengan gagasan, program, dan integritas. Karena itu, Badan Pengawas Pemilu jangan hanya berpangku tangan, harus turun tangan untuk memastikan terselenggaranya demokrasi lokal yang rasional. Kita semua harus memastikan pilkada DKI Jakarta tidak menggerus keberagaman, tapi menyemai pluralisme.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Oase pilgub dki 2017

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif