KEBERAGAMAN, kebinekaan, ialah anugerah sekaligus aset. Konsep itulah sesungguhnya yang memajalkan lancipnya perbedaan dalam bungkus toleransi dan tenggang rasa. Di dalam kebinekaan, sejatinya terkandung ikhtiar untuk merajut setiap perbedaan demi memproduksi kekuatan yang berbasis persatuan.
Teramat sayang, negeri ini justru kerap mengingkari anugerah itu. Indonesia yang bineka malah sering terbentur oleh masalah kebinekaan. Indonesia yang didirikan karena keberhasilan para founding father menyatukan perbedaan kini justru menghadapi persoalan rapuhnya toleransi.
Para antropolog yang tergabung dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bineka dan Inklusif (AUI) bahkan menyebut kondisi saat ini sebagai darurat toleransi, darurat kebinekaan. Mereka menunjuk penyebabnya antara lain akibat institusi sosial yang seharusnya merawat kebinekaan tidak berfungsi.
Kalau sudah begini, tentu tak cukup kita cuma menyatakan prihatin. Pun, sangat tidak produktif ketika kebinekaan atau keberagaman itu kemudian hanya diperdebatkan sampai mulut berbusa dan otot-otot di leher mengencang. Apalagi kalau ditimpali dengan ujaran-ujaran kebencian, fitnah, dan caci maki.
Anugerah keberagaman itu mestinya dijaga, dirawat, dan setelah itu dipraktikkan. Lantas bagaimana caranya? Tegas kita katakan negara memang harus menjadi pelaku utamanya.
Harus diakui, negara sudah cukup lama membiarkan bibit intoleransi bertumbuh dan bermutasi. Hiruk pikuk politik dan perebutan kekuasaan, juga masalah ekonomi, sedikit banyak telah membuat negara melupakan tugasnya untuk menjelaskan kepada rakyat apa arti penting kebinekaan dan integrasi bangsa.
Negara seolah menganggap rakyat sudah paham dengan semua itu. Karena itu, mereka membiarkan. Ruang toleransi tak dipelihara dengan baik dan dibiarkan kosong. Bangunan-bangunan tenggang rasa yang ambruk di sana-sini tak pula dibangun kembali. Akibatnya fatal, dalam kekosongan itu rakyat menjadi mudah dijejali fanatisme kebablasan yang lebih menonjolkan identitas diri, golongan, maupun identitas religi.
Kini, kealpaan negara itu mesti dibayar tuntas. Penegakan hukum ialah solusi jangka pendek yang harus dipilih untuk meredam paham dan perilaku intoleran kian menyeruak di ruang publik. Ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan mayoritas rakyat Indonesia yang sebetulnya masih sangat toleran bahwa negara rupanya tidak tidur.
Hukum akan tegak ketika perangkat negara, siapa pun itu, tak tunduk pada tekanan. Hukum tak bisa dinegosiasikan oleh siapa pun dan oleh upaya apa pun. Pada saat sama, negara perlu pula punya kemauan untuk mengevaluasi peraturan-peraturan yang belum mengimplementasikan semangat keberagaman.
Langkah selanjutnya ialah membangun kembali ruang-ruang toleransi dan keberagaman sejak dini melalui pendidikan. Ini akan menjadi tantangan yang tak kalah hebat karena dalam praktiknya pendidikan toleransi, mau tidak mau, akan bertarung dengan pendidikan intoleran yang kini telanjur marak dilakukan.
Jangan lupakan pula salah satu akar benalu dari tumbuhan kebinekaan ialah kesenjangan ekonomi dan kemiskinan. Terobosan di sektor ekonomi pun menjadi penting untuk bisa berjalan seiring dengan upaya pembasmian bibit-bibit jiwa intoleransi. Dalam semua upaya itu negara harus taktis, negara harus mampu mengerahkan seluruh elemen bangsa untuk mengukuhkan lagi kekuatan dari aset kita, yakni kebinekaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
