Jakarta: Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pihak untuk mendengarkan masukan terkait revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dewan Pers menyampaikan sejumlah reformulasi ketentuan karena dianggap mengancam kebebasan jurnalistik.
"Dewan Pers menganggap ada 20 pasal dalam revisi KUHP ini mengancam kebebasan pers," Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.
Ketentuan yang diminta direfomulasi, yaitu Pasal 188 ayat 2 tentang Perbuatan Mengganti Pancasila. Dewan Pers meminta agar ketentuan tersebut dilengkapi dengan tindakan kekerasan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila.
"Jadi delik materiel yang seharusnya dibuktikan apabila upaya penggantian itu dilakukan dengan kekerasan," kata dia.
Dewan Pers mengusulkan reformulasi terhadap Pasal 218 ayat 2 revisi KUHP tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Reformulasi diusulkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapus ketentuan tersebut dalam berdasarkan putusan Nomor 013-022/PUU-IV Tahun 2006.
"Sehingga, rumusannya tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat martabat sebagaimana yang dimaksud ayat 1 Pasal 218," kata dia.
Pasal 219 tentang Penyiaran Pernyataan yang dianggap menghina presiden dan wakil presiden juga diusulkan diubah. Ketentuan tersebut diminta disempurnakan dengan pengecualian terhadap kegiatan jurnalistik.
"Pasal 219 direfomulasi tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat martabat sebagaimana maksud ayat 1 Pasal 218 jika dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum, atau pembelaan diri," ujar dia.
Dewan Pers juga meminta Pasal 240 tentang Penghinaan terhadap Pemerintahan yang Sah Berujung pada Kerusuhan. Dewan Pers mengusulkan agar dimasukkan delik materiel dalam ketentuan tersebut dengan menambahkan kalimat dengan maksud sehingga mengakibatkan terjadinya.
"Pasal 240 ayat 2 dilengkapi dengan tidak merupakan penghinaan kepada pemerintah sebagaimana yang dimaksud ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk jurnalistik atau kepentingan umum," kata dia.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli menambahkan pihaknya menginginkan agar ada reformulasi pada Pasal 246 revisi KUHP tentang Penghasutan untuk Melawan Penguasa Umum. Pada Pasal 246 huruf a tentang Menghasut Orang untuk Melakukan Tindak Pidana, Dewan Pers meminta dimasukkan ketentuan pembuktian.
"Sehingga, pembuktiannya menjadi lebih empirik dan bisa dipertanggungjawabkan," ujar dia.
Reformulasi juga dilakukan terhadap Pasal 246 huruf b tentang Mengajak Publik Secara Terang-terangan untuk Melawan Penguasa Umum dengan Kekerasan. Menurut dia, ketentuan tersebut memiliki artian yang sangat luas dan menyulitkan wartawan.
"Saya kira rumusan ini sangat penting memiliki artian luas dari paling atas seperti presiden sampai lurah barangkali dan itu akan sangat merepotkan jika wartawan tidak bisa meliput sampai level paling bawah," kata dia.
Berikutnya, Pasal 247 tentang Penyiaran Hasutan agar Melakukan Tindak Pidana atau Melawan Penguasa Umum dengan Kekerasan. Dewan Pers mengajukan reformulasi penambahan ajakan kepada publik secara terang-terangan. Sebab, frasa menghasut tersebut berpotensi multitafsir.
Selanjutnya, Pasal 263 tentang Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong. Disarankan, berita yang disiarkan insan jurnalistik dan dianggap hoaks disarankan diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan dipidana.
"Kalau ini masuk maka potensi kriminalisasi pers menjadi terbuka," kata dia.
Dewan pers kemudian mengusulkan reformulasi ketentuan tersebut dengan memasukkan kalimat mendapatkan keuntungan ekonomi dan politik. "Jadi tambahan ini mempertegas ada maksud tertentu dari orang yang ingin menyebarkan itu," kata dia.
Terakhir, Dewan Pers meminta reformulasi Pasal 281 huruf c tentang Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan. Dewan Pers berharap agar pelarangan publikasi proses peradilan hanya untuk persidangan tertentu. Seperti peradilan asusila dan anak-anak yang diwajibkan tertutup.
"Kalau terbuka saya mohon untuk dipertimbangkan untuk kami bisa mengakses pengadilan karena publik berhak untuk tahu proses itu," ujar dia.
Wakil Ketua Komisi III Desmond Junaidi Mahesa menyambut baik masukan dari Dewan Pers. Komisi III DPR akan mengupayakan mengakomodasi masukan yang disampaikan.
Namun, Sekretaris Fraksi Gerindra itu menyarankan agar Dewan Pers melakukan audiensi dan menyampaikan berbagai masukan itu kepada perwakilan pemerintah. Sehingga, pembuat peraturan perundang-undangan menerima masukan yang disampaikan.
"Kita berharap kalau belum ketemu tim ahli pemerintah kami berharap agar bisa ketemu dengan mereka agar gayung bersambut. Kalau tidak bersambut juga kita revisi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentan Pers, kita jadikan lex specialis," kata Desmond.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan meminta masukan Dewan Pers diakomodasi. Sehingga, revisi KUHP selaras dengan UU Pers.
"Saya tidak beradu argumentasi, tapi saya ingin mengatakan sudah selayaknya ini harus kita perjuangkan karena ini sudah lama sekali agar UU Pers sejalan dan senapas dengan revisi KUHP tadi," ujar Hinca.
Jakarta:
Komisi III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan sejumlah pihak untuk mendengarkan masukan terkait revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Dewan Pers menyampaikan sejumlah reformulasi ketentuan karena dianggap mengancam kebebasan
jurnalistik.
"Dewan Pers menganggap ada 20 pasal dalam revisi KUHP ini mengancam kebebasan pers," Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 23 Agustus 2022.
Ketentuan yang diminta direfomulasi, yaitu Pasal 188 ayat 2 tentang Perbuatan Mengganti Pancasila. Dewan Pers meminta agar ketentuan tersebut dilengkapi dengan tindakan kekerasan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila.
"Jadi delik materiel yang seharusnya dibuktikan apabila upaya penggantian itu dilakukan dengan kekerasan," kata dia.
Dewan Pers mengusulkan reformulasi terhadap Pasal 218 ayat 2 revisi KUHP tentang Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Reformulasi diusulkan karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menghapus ketentuan tersebut dalam berdasarkan putusan Nomor 013-022/PUU-IV Tahun 2006.
"Sehingga, rumusannya tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat martabat sebagaimana yang dimaksud ayat 1 Pasal 218," kata dia.
Pasal 219 tentang Penyiaran Pernyataan yang dianggap menghina presiden dan wakil presiden juga diusulkan diubah. Ketentuan tersebut diminta disempurnakan dengan pengecualian terhadap kegiatan jurnalistik.
"Pasal 219 direfomulasi tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat martabat sebagaimana maksud ayat 1 Pasal 218 jika dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum, atau pembelaan diri," ujar dia.