Jakarta: Pengakuan atas wilayah adat, termasuk hutan adat, harus melalui koridor hukum bukan atas klaim semata. Polemik atas klaim hutan adat di Desa Kinipan, Batang Kawa, Lamandau, Kalimantan Tengah, juga harus diselesaikan berdasarkan koridor hukum.
“Kalau itu terjadi (klaim hutan adat) menjadi preseden yang diikuti oleh masyarakat lain dan akhirnya terganggu semua,” ujar pakar hukum kehutanan Sadino dalam webinar Indonesia bicara bertema klaim hutan adat di Jakarta, Kamis, 17 September 2020.
Sadino mengatakan pemerintah daerah ketika membentuk tim verifikasi suatu kawasan harus ada permohonan atau pengajuan dan tata cara yang disampaikan. “Dalam hal ini bupati memverifikasi terkait lahan siapa yang akan dimohon. Kalau disampaikan, misalnya di sini sudah ada HGU (hak guna usaha). Bagaimana pada saat terjadi (perizinan)? Kenapa pada saat dulu juga tidak ada yang komplain, misalnya bahwa di situ ialah hutan adat masyarakat adat Kinipan?” katanya.
Dia menjelaskan, dalam aturan HGU tentu ada tata caranya, misalnya bisa dicabut oleh orang yang memberikan izin HGU. Namun, harus menyampaikan dasar hukumnya dalam pencabutan. Kecuali, HGU tersebut ditelantarkan, tidak digunakan dengan baik, atau ada kesalahan SK, dan ada putusan pengadilan menggugat SK HGU itu serta dibatalkan oleh pengadilan supaya dicabut.
"Namun, kalau enggak ada dasar-dasar pertimbangan itu, sesuai dengan UU No 5/1960 dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996, enggak bisa diapa-apakan. Ini yang menjadi pedoman," ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Pemberdayaan dan Pengkajian Masyarakat dan Masyarakat Adat Kalimantan, Simpun Sampurna. Polemik atas klaim hutan adat di Desa Kinipan harus diselesaikan sesuai aturan hukum yang ada.
"Pemerintah harus bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat terutama di Kinipan karena Kinipan jauh sebelum negara ini ada, sudah ada Kinipan dan itu penting dilindungi hak-haknya," katanya.
Baca: Sengkarut Permasalahan Masyarakat Adat
Menurut Simpun, dalam regulasi yang telah diamanatkan bahwa ada atau tidak adanya keberadaan hutan adat, tentunya panitia masyarakat hukum adat dibentuk untuk menyelesaikan polemik tersebut.
Anggota Komisi IV Sulaeman Hamzah mengatakan dalam kunjungan bersama Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong ke Desa Kinipan disepakati klaim wilayah adat itu dapat diakomodasi melalui skema hutan adat, atau perhutanan sosial dengan mempertimbangkan aspirasi pada areal yang masih berhutan.
“Yang kedua terhadap masyarakat Desa Kinipan yang setuju dengan adanya plasma perkebunan sawit agar dapat diakomodasi oleh korporasi. Yang ketiga terhadap masyarakat di luar Desa Kinipan dan telah melakukan kerja sama plasma kebun dengan koperasi tadi agar diteruskan kerja sama dengan baik,” jelasnya.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan penetapan hutan adat merupakan hasil usulan dari pemerintah daerah maupun masyarakat hukum adat.
“Dari situ kita akan verifikasi untuk memastikan bahwa objeknya di tanah hutan adat itu ternyata berada hak-hak yang lain. Itu coba kita fasilitasi. Setelah verifikasi, baru kita tetapkan,” jelasnya.
Jakarta: Pengakuan atas wilayah adat, termasuk hutan adat, harus melalui koridor hukum bukan atas klaim semata. Polemik atas klaim hutan adat di Desa Kinipan, Batang Kawa, Lamandau, Kalimantan Tengah, juga harus diselesaikan berdasarkan koridor hukum.
“Kalau itu terjadi (klaim hutan adat) menjadi preseden yang diikuti oleh masyarakat lain dan akhirnya terganggu semua,” ujar pakar hukum kehutanan Sadino dalam webinar Indonesia bicara bertema klaim hutan adat di Jakarta, Kamis, 17 September 2020.
Sadino mengatakan pemerintah daerah ketika membentuk tim verifikasi suatu kawasan harus ada permohonan atau pengajuan dan tata cara yang disampaikan. “Dalam hal ini bupati memverifikasi terkait lahan siapa yang akan dimohon. Kalau disampaikan, misalnya di sini sudah ada HGU (hak guna usaha). Bagaimana pada saat terjadi (perizinan)? Kenapa pada saat dulu juga tidak ada yang komplain, misalnya bahwa di situ ialah hutan adat
masyarakat adat Kinipan?” katanya.
Dia menjelaskan, dalam aturan HGU tentu ada tata caranya, misalnya bisa dicabut oleh orang yang memberikan izin HGU. Namun, harus menyampaikan dasar hukumnya dalam pencabutan. Kecuali, HGU tersebut ditelantarkan, tidak digunakan dengan baik, atau ada kesalahan SK, dan ada putusan pengadilan menggugat SK HGU itu serta dibatalkan oleh pengadilan supaya dicabut.
"Namun, kalau enggak ada dasar-dasar pertimbangan itu, sesuai dengan UU No 5/1960 dan juga Peraturan Pemerintah Nomor 40/1996, enggak bisa diapa-apakan. Ini yang menjadi pedoman," ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Pemberdayaan dan Pengkajian Masyarakat dan Masyarakat Adat Kalimantan, Simpun Sampurna. Polemik atas klaim hutan adat di Desa Kinipan harus diselesaikan sesuai aturan hukum yang ada.
"Pemerintah harus bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat adat terutama di Kinipan karena Kinipan jauh sebelum negara ini ada, sudah ada Kinipan dan itu penting dilindungi hak-haknya," katanya.
Baca: Sengkarut Permasalahan Masyarakat Adat
Menurut Simpun, dalam regulasi yang telah diamanatkan bahwa ada atau tidak adanya keberadaan hutan adat, tentunya panitia masyarakat hukum adat dibentuk untuk menyelesaikan polemik tersebut.
Anggota Komisi IV Sulaeman Hamzah mengatakan dalam kunjungan bersama Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong ke Desa Kinipan disepakati klaim wilayah adat itu dapat diakomodasi melalui skema hutan adat, atau perhutanan sosial dengan mempertimbangkan aspirasi pada areal yang masih berhutan.
“Yang kedua terhadap masyarakat Desa Kinipan yang setuju dengan adanya plasma perkebunan sawit agar dapat diakomodasi oleh korporasi. Yang ketiga terhadap masyarakat di luar Desa Kinipan dan telah melakukan kerja sama plasma kebun dengan koperasi tadi agar diteruskan kerja sama dengan baik,” jelasnya.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan penetapan hutan adat merupakan hasil usulan dari pemerintah daerah maupun masyarakat hukum adat.
“Dari situ kita akan verifikasi untuk memastikan bahwa objeknya di tanah hutan adat itu ternyata berada hak-hak yang lain. Itu coba kita fasilitasi. Setelah verifikasi, baru kita tetapkan,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)