G30S/PKI: Kudeta Berdarah Dimotori Fitnah
Siti Yona Hukmana • 26 September 2021 07:00
Jakarta: Isu Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI kerap dimunculkan menjelang akhir September setiap tahunnya. Kendati sudah hilang ditelan bumi puluhan tahun lamanya, PKI maupun komunisme seakan masih menjadi momok bagi warga Indonesia.
Tak sedikit isu-isu miring di Tanah Air kerap dikaitkan dengan keberadaan PKI. Alhasil, isu PKI menarik dibahas lagi, utamanya terkait rentetan peristiwa kelam G30S/PKI 56 tahun silam itu.
Peristiwa G30S/PKI dalam Kegagalan Kudeta G30S/PKI Berdamai dengan Sejarah karya M Fuad Nasar, disebut terjadi pada Kamis, 30 September 1965 atau Jumat dini hari, 1 Oktober 1965. PKI menjalankan kudeta bersenjata yang diawali penculikan para jenderal pimpinan TNI Angkatan Darat (AD) oleh sejumlah prajurit TNI binaan PKI.
Sejarah percobaan kudeta yang dikenal dengan nama G30S/PKI itu kelam, tetapi bukan dalam arti tidak jelas pelaku dan tujuannya. Namun, peristiwa itu hampir membawa bangsa Indonesia kehilangan masa depan sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan beragama.
Dipimpin Letnan Kolonel (Letkol) Untung
Kudeta 30 September dipimpin Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung, yang kala itu bertugas sebagai pasukan pengawal istana. Kudeta berdarah itu merenggut nyawa lima jenderal pimpinan AD dan seorang perwira pertama.
"Mereka diambil dari kediamannya masing masing dan dibunuh," kata M Fuad Nasar dalam bukunya Kegagalan Kudeta G30S/PKI Berdamai dengan Sejarah seperti dilihat Medcom.id, Jumat, 24 September 2021.
Kala itu, beberapa peleton pasukan Cakrabirawa menculik, baik hidup atau mati, terhadap tujuh jenderal perwira tinggi pimpinan AD. Pelaku ialah pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno, yang telah menjadi prajurit binaan PKI.
Baca: Henk Sneevliet dan Awal Mula Berdirinya PKI di Indonesia
Ketujuh target ialah Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto, Mayjen Harjono MT, Mayjen S Parman, Brigadir Jenderal (Brigjen) Sutojo Siswomihardjo, dan Brigjen DI Pandjaitan. AH Nasution selaku menteri koordinator (menko) pertahanan dan keamanan (Hankam)/kepala staf angkatan nersenjata (KASAB) menjadi target utama peristiwa G30S/PKI.
AH Nasution dapat menyelamatkan diri dari sergapan maut. Namun, ajudan AH Nasution, Letnan Satu (Lettu) Pierre Andreas Tendean, gugur dalam tragedi itu.
Sementara itu, putri AH Nasution yang baru berusia 5 tahun, Ade Irma Suryani Nasution, terkena tembakan peluru pasukan Cakrabirawa. Ade Irma mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada 6 Oktober 1965.
"Putri Jenderal Nasution gugur sebagai perisai ayahnya dan pahlawan kecil untuk menjadi saksi pengkhianatan G30S/PKI," kata M Fuad Nasar.
Letjen Ahmad Yani, Mayjen Harjono MT, dan Brigjen DI Pandjaitan gugur diberondong senapan pasukan Cakrabirawa saat dijemput paksa di kediamannya masing-masing. Jenazah ketiganya diseret dan dinaikkan ke atas truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Sebanyak tiga jenderal lainnya juga digeret ke Lubang Buaya. Mereka disiksa hingga tewas. Penyiksaan dan penganiayaan itu diduga dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Pemuda Rakyat, sukarelawan, dan sukarelawati yang erat hubungannya dengan PKI.
Mayat para jenderal dan perwira pertama AD korban keganasan PKI itu dibenamkan ke dalam sumur tua dekat Pangkalan TNI Angkatan Udara (AU) Halim Perdana Kusuma di Lubang Buaya. Sumur maut itu memiliki kedalaman 12 meter dan garis tengah 0,75 meter.
Lokasi sumur sempit tempat dikuburnya mayat para Pahlawan Revolusi itu ditemukan pada Minggu, 3 Oktober 1965. Evakuasi mayat para jenderal dan perwira utama itu dilakukan pada Senin, 4 Oktober 1965.
Mayat itu dikeluarkan dalam kondisi sulit dikenali, kecuali dari pakaian yang dikenakan. Pembongkaran sumur maut di Lubang Buaya, pengangkatan mayat para jenderal dan perwira pertama, termasuk penampakan kondisi jenazah difoto satu per satu dan direkam kamera televisi di depan umum.
Mayat para jenderal itu dibawa ke RSPAD dan dimandikan secara agama Islam, kecuali yang beragama Kristen. Kemudian, korban dibawa ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) dan disemayamkan di ruang bawah sebelah kanan.
Penyiksaan fisik dan perlakuan kejam terhadap para jenderal dan seorang perwira pertama korban G30S/PKI itu dibuktikan dari laporan visum et repertum (VER) yang dibuat tim penyelidikan. Tim itu terdiri dari lima dokter, dua dari militer dan tiga lainnya guru besar terkenal dari Universitas Indonesia.
Para jenderal dan perwira pertama yang gugur dalam G30S/PKI mendapat kenaikan pangkat satu tingkat secara anumerta dari Presiden Soekarno. Jenderal AH Nasution menggambarkan suasana menjelang pemakaman jenazah Pahlawan Revolusi di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta Selatan, pada Selasa, 5 Oktober 1965.
"Kiranya belum pernah ada acara pemakaman dalam sejarah RI sampai kini yang mendapat kehormatan begitu besar dari ratusan ribu, mungkin jutaan manusia, yang merupakan lautan manusia dari MBAD dari Merdeka Utara sampai Kalibata di pinggir Jakarta Selatan. Pagi-pagi betul kami berangkat dari Kostrad di Merdeka Timur, Jenderal Soeharto menyetir Jeep, dan saya duduk di sampingnya. Di mana-mana penuh manusia, dengan sulit kami masuk ke pekarangan dan terus ke persemayaman. Air mata sudah tidak tertahan lagi. Saya berjalan pakai kruk karena kaki belum sembuh. Di ruang masuk MBAD telah hadir pula Bu Yani dan keluarga-keluarga lain dalam kebaya hitam. Suatu suasana yang sulit saya uraikan, tapi yang tidak pernah terlupakan! Selama dalam ruangan jenazah dan di ruang masuk itu perasaan saya tidak ada suara manusia, sepi dan diam semuanya. Upacara dimulai. Jenazah diusung satu per satu ke atas kendaraan panser. Lautan manusia terus tertib dan khidmat di depan MBAD. Setelah setiap jenazah ditaruh, maka saya diantar ke pintu MBAD untuk memberikan pidato pelepasan dan penghormatan," kata AH Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru.
Di sisi lain, Presiden Soekarno menyikapi terbunuhnya para jenderal itu sebagai suatu hal biasa dalam revolusi. Tak mencari pelaku dan lokasi mayat para pemimpin tentara dikuburkan pada pagi awal Oktober 1965 itu, Soekarno lebih mengutamakan penunjukkan Mayjen Pranoto Reksosamodra (Asisten III Bidang Personalia Panglima AD) sebagai pimpinan AD menggantikan Jenderal Ahmad Yani.
Namun, Jenderal Pranoto tidak dimungkinkan menjalankan perintah Soekarno. Panglima Kostrad (Pangkostrad), Mayjen Soeharto dengan dukungan Jenderal AH Nasution mengambil alih pimpinan Angkatan Darat.
Beberapa waktu kemudian, Pangkostrad memerintahkan penangkapan Pranoto karena diduga berhubungan dengan Kolonel Latif. Dia adalah orang yang berperan penting dalam Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu).
Salim Haji Said dalam bukunya Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto mengatakan ada surat pada saku Kolonel Latif yang ditujukan kepada Pranoto. Isi surat itu meminta perlindungan Pranoto. Surat itu memperkuat kecurigaan Pranoto bersimpati kepada Gestapu.
Salim Said sempat mewawancarai mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo setelah belasan tahun peristiwa beradarah itu terjadi. Salim menanyakan ada tidaknya kecurigaan Edhie pada pagi 1 Oktober 1965 terkait PKI dalang di balik Gestapu.
"Tidak menduga sama sekali, sebab PKI itu, kan menerima Pancasila, Manipol (Manifesto Politik), dan selalu menyatakan kesetiaannya kepada Pemimpin Besar Revolusi," jawab jenderal yang ditunjuk Soeharto untuk memimpin penumpasan PKI itu.
Mengapa AH Nasution diincar
Dalam sebuah wawancara dengan Harian Gotong Royong pada 29 September 1966 sebagaimana dimuat buku Dari Hati ke Hati oleh Ibu YR Yani, Jenderal AH Nasution menuturkan tiga momen yang tak akan terhapus dari hati dan ingatannya. Hal ini meliputi saat ditembaki di pintu rumah dari jarak satu meter, saat meloncat tembok di bawah hujanan tembakan, dan melihat anaknya Ade Irma berlumuran darah dari atas tembok.
"Selama dua setengah jam bersembunyi timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa justru Cakrabirawa dikirim untuk membunuh saya? Pasti saya difitnah!. Karena itu, saat pemakaman pahlawan-pahlawan revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan spontan keluar dari hati saya, 'fitnah lebih jahat dari pembunuhan'," ujar AH Nasution dalam wawancara itu.
Peristiwa G30S disebabkan oleh kabar burung yang menyatakan adanya segelintir jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Soekarno. Mengutip Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar karya Dasman Djamaluddin, PKI telah melancarkan isu Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Perebutan kekuasaan itu dilakukan dengan cara memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada 5 Oktober 1965. Namun, isu itu tidaklah benar.
Dalam buku Mengapa G30S/PKI Gagal? Suatu Analisis karya Samsudin, Komandan Garnisun Kodam Jaya, Kolonel Abdul Latief, memberi kesaksian bila ia dan rekan-rekannya berinisiatif menculik tujuh jenderal AD. Namun, Latief mengaku jenderal-jenderal itu dibunuh atas perintah pimpinan intel Cakrabirawa, Syam.
Sejatinya, dalam perundingan, tidak ada rencana membunuh para jenderal tersebut. Niat mereka hanya membawa para jenderal menghadap Presiden Soekarno di istana.
Julius Pour mencatat dalam buku G30S, Fakta atau Rekayasa?, operasi penculikan di bawah pimpinan Letkol Untung direncanakan dengan serampangan. Banyak yang dilibatkan tidak datang. Alhasil, jumlah pasukan kurang dari 100 personel.
Angka itu jauh dari harapan yang rencananya mampu memantik revolusi. Karena persiapan yang kurang matang, terjadilah peristiwa yang dikhawatirkan Untung, yaitu penculikan berubah jadi serangan berdarah.
AH Nasution Wafat
Meski selamat dari penculikan dalam peristiwa G30S/PKI, Nasution kehilangan putrinya Ade Irma Suryani Nasution beserta ajudannya, Lettu Pierre Tendean. Peristiwa itu menjadi momen yang tak akan terhapus dari hati dan ingatannya.
Jenderal AH Nasution berhasil melewati maut dalam peristiwa G30S/PKI pada 30 September 1965. Namun, dia hidup dengan penuh kewaspadaan selama 35 tahun usai peristiwa kelam itu hingga mengembuskan napas terakhir.
Jenderal AH Nasution wafat pada 5 September 2000 dalam usia 81 tahun. Dia berpulang bukan karena pembunuhan, melainkan akibat penyakit stroke yang dideritanya. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata.
Jakarta: Isu Gerakan 30 September Partai
Komunis Indonesia atau G30S/PKI kerap dimunculkan menjelang akhir September setiap tahunnya. Kendati sudah hilang ditelan bumi puluhan tahun lamanya, PKI maupun komunisme seakan masih menjadi momok bagi warga Indonesia.
Tak sedikit isu-isu miring di Tanah Air kerap dikaitkan dengan keberadaan PKI. Alhasil, isu PKI menarik dibahas lagi, utamanya terkait rentetan peristiwa kelam G30S/PKI 56 tahun silam itu.
Peristiwa G30S/PKI dalam
Kegagalan Kudeta G30S/PKI Berdamai dengan Sejarah karya M Fuad Nasar, disebut terjadi pada Kamis, 30 September 1965 atau Jumat dini hari, 1 Oktober 1965. PKI menjalankan kudeta bersenjata yang diawali penculikan para jenderal pimpinan TNI Angkatan Darat (AD) oleh sejumlah prajurit TNI binaan PKI.
Sejarah percobaan kudeta yang dikenal dengan nama G30S/PKI itu kelam, tetapi bukan dalam arti tidak jelas pelaku dan tujuannya. Namun, peristiwa itu hampir membawa bangsa Indonesia kehilangan masa depan sebagai bangsa yang ber-Tuhan dan beragama.
Dipimpin Letnan Kolonel (Letkol) Untung
Kudeta 30 September dipimpin Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa, Letkol Untung, yang kala itu bertugas sebagai pasukan pengawal istana. Kudeta berdarah itu merenggut nyawa lima jenderal pimpinan AD dan seorang perwira pertama.
"Mereka diambil dari kediamannya masing masing dan dibunuh," kata M Fuad Nasar dalam bukunya
Kegagalan Kudeta G30S/PKI Berdamai dengan Sejarah seperti dilihat
Medcom.id, Jumat, 24 September 2021.
Kala itu, beberapa peleton pasukan Cakrabirawa menculik, baik hidup atau mati, terhadap tujuh jenderal perwira tinggi pimpinan AD. Pelaku ialah pasukan pengawal pribadi Presiden Soekarno, yang telah menjadi prajurit binaan PKI.
Baca:
Henk Sneevliet dan Awal Mula Berdirinya PKI di Indonesia
Ketujuh target ialah Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto, Mayjen Harjono MT, Mayjen S Parman, Brigadir Jenderal (Brigjen) Sutojo Siswomihardjo, dan Brigjen DI Pandjaitan. AH Nasution selaku menteri koordinator (menko) pertahanan dan keamanan (Hankam)/kepala staf angkatan nersenjata (KASAB) menjadi target utama peristiwa G30S/PKI.
AH Nasution dapat menyelamatkan diri dari sergapan maut. Namun, ajudan AH Nasution, Letnan Satu (Lettu) Pierre Andreas Tendean, gugur dalam tragedi itu.
Sementara itu, putri AH Nasution yang baru berusia 5 tahun, Ade Irma Suryani Nasution, terkena tembakan peluru pasukan Cakrabirawa. Ade Irma mengembuskan napas terakhir setelah dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada 6 Oktober 1965.