Sebut contoh, dalam kebiasaan membangunkan warga jelang waktu sahur saja, dikenal paling tidak seni komprekan untuk wilayah Pantura, obrok-burok untuk Cirebon dan sekitarnya, atau dekdukan di Semarang dan seputar Jawa Tengah.
Itu belum cukup. Masih banyak istilah lain yang menunjukkan makna tetabuhan, dan itu biasa dilakukan pada dini hari di setiap Bulan Suci.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Sejarawan Alwi Shahab, dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002) punya cerita lebih istimewa lagi. Di wilayah DKI Jakarta masa silam, tetabuhan jelang sahur malah menggunakan petasan.
"Sayangnya, yang bangun sahur bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak kecil yang kaget," tulis Alwi.
Cara lainnya, ada juga yang menggunakan kentongan diiringi teriak "sahur! sahur!" Persis seperti yang diceritakan Mohammad Hatta alias Bung Hatta ketika jelang santap sahur di pagi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
"Pagi itu jalanan sangat lengang. Pekik "sahur...sahur!" sayup terdengar," kata Hatta sebagaimana dicatat Sergius Sutanto dalam Hatta: Aku Datang karena Sejarah (2013).
Baca: Menu Sahur Pendiri Bangsa Jelang Proklamasi Kemerdekaan
Tapi ternyata, tradisi membangunkan sahur juga ada di Arab Saudi. Dalam Rihlah Ibnu Bathutah (1829), petualang bernama lengkap Muhammad Bin Abdullah Bin Bathuthah itu menceritakan, meski tidak dijumpai dalam riwayat Nabi Muhammad SAW, namun sudah ramai di abad pertengahan.
"Jika datang waktu sahur, muazin mengumumkan datangnya waktu sahur dari atas shauma'ah yang berada di sudut timur Masjidil Haram. Ia berdiri sembari mengingatkan penduduk Mekkah akan datangnya waktu sahur," tulis Bathutah.
Tidak cuma di Arab Saudi, di Kuwait dan Mesir juga menggunakan tradisi yang hampir serupa.
Tradisi membangunkan sahur, dikatakan mulai semarak era Dinasti Abbasiyah. Selain seruan muazin, ada juga tradisi menggunakan dentum meriam seperti yang pernah terjadi pada masa kekhalifahan Mamluk pada 865 Hijriah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SBH)