Metrotvews.com, Jakarta: Sesekali, bolehlah kita berterima kasih atas kemunculan nama Chloris, Aprhodite, dan Dionysus dalam mitologi Yunani. Berkat mereka, manusia jadi tahu fungsi bunga. Sebagai simbol kasih, juga tanda cinta.
Hari ini, Rabu 26 April 2017, seabrek karangan kembang lambang sayang juga membanjiri halaman Balai Kota DKI Jakarta. Jumlahnya, lebih dari seribu buah. Warna-warni mawar, lili, sedap malam, hingga tulip itu dipersembahkan sebagian warga untuk Gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
"Terima kasih Pak Ahok dan Pak Djarot sudah menjadi pelayan terbaik kami," bunyi tulisan yang tertera di salah satu karangan bunga.
Tak cuma itu, sejak Selasa 25 April 2017, warga juga mendatangi langsung Balai Kota. Mungkin dianggap lebih afdal, jika ucap terima kasih dan dorongan semangat itu diungkapkan secara langsung, kepada yang dicinta.
Pasangan calon (paslon) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor pilihan dua ini memang kalah di putaran kedua. Tapi apresiasi semacam itu, dianggap layak dan tidak berlebihan mengingat jasa-jasa paslon petahana ini selama menjalani masa jabatannya.
Menengok survei kepuasan kinerja yang dirilis Charta Politika Indonesia pertengahan April lalu, dari 782 responden, sebanyak 71,9 persen menyatakan sangat puas dan cukup puas dengan apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Cuma 26,2 persen yang menyatakan tidak puas. Sementara sisanya, memilih tidak tahu atau tidak menjawab.
Ahok-Djarot, memang telah banyak membekasi banyak perubahan di Ibukota. Maka wajar, jika ada warga yang memiliki sedikit kekhawatiran terobosan-terobosan itu malah mandek, atau dikembalikan ke gaya lama setelah Ahok-Djarot tak lagi menjabat.
Ratusan karangan bunga dari warga untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat di halaman kantor Balai Kota Jakarta, Rabu (26/4)/ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Karakter Nemo dan Kalijodo
Paslon pemenang Pilgub DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno sudah jauh hari berjanji tidak akan menghapus kebijakan Ahok-Djarot yang dinilainya baik. Bahkan, mereka bertugas menyempurnakan.
Anies menyebut contoh program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Dia menjamin, dukungan dana pendidikan bagi anak-anak Ibukota itu akan dipertahankan, bahkan diberi nilai tambah menjadi KJP Plus; yakni diberi kelebihan bisa ditarik tunai.
Tapi naga-naganya, yang diwariskan Ahok-Djarot bukan melulu berbentuk konsep dan program. Ada beberapa hal yang tak kasatmata, tapi mau tidak mau perkara itu yang membuat Pemprov DKI bisa jadi lebih baik belakangan tahun.
Pada Selasa, 25 April kemarin, Ahok menyinggungnya sendiri. Tepatnya dalam pembacaan pledoi dalam kasus hukum yang menjeratnya yang sudah disidangkan sejak 13 Desember lalu.
Karakter Nemo dalam film fiksi Finding Nemo dijadikan Ahok sebagai amsal. Ingatannya itu muncul ketika mendapati pertanyaan dari siswa taman kanak-kanak (TK) tentang sisi kontroversi yang menjadi khas dalam gaya kepemimpinannya. "Kenapa Ahok selalu melawan semua orang, melawan arus, ribut dengam semua orang?"
Alih-alih menjawab, Ahok malah mengajak mereka menonton cuplikan film tersebut. Pesan moralnya, adalah ketika Nemo tetap menolong ribuan ikan yang terjerat jaring nelayan meski dilarang Dori, ayah Nemo.
Ahok merasa, karakter Nemo serupa dengan kisah yang ia jalani saat ini. Manusia harus melawan arus untuk berjalan di jalan yang benar.
Tidak mudah kompromi
Dalam sebuah adegan, Nemo meminta ikan lain berenang melawan arah, tapi tak satu pun peduli. Namun lama kelamaan, akhirnya mereka paham; bahwa dengan cara itu lah mereka berhasil diselamatkan.
Sedikit banyak, memang cocok dengan bagaimana cara Ahok memperumpamakan dirinya. Melawan arus, tidak pandang bulu, dan tidak mudah berkompromi, tak jarang membuatnya dibenci banyak pihak.
Di sisi lain, Ahok menganggap cuma cara itu yang dibutuhkan dalam membangun sebuah kota dengan kehidupan yang serba keras seperti Jakarta. Tepatnya, ketegasan jadi senjata paling tokcer.
Kalijodo contohnya. Sudah sekian lama wilayah itu disalah-fungsikan menjadi pusat prostitusi yang diperparah dengan premanisme, belum lagi, letaknya yang diketahui merampas hak ruang terbuka hijau.
Pada Februari 2016, melalui tangan besi Ahok masalah yang cenderung karib dengan kota-kota besar itu tampak enteng dikembalikan kepada khitahnya.
Tapi, tengoklah belakangan hari. Pasca Ahok-Djarot dikabarkan kalah dalam hitung cepat, rupa-rupanya jadi kesempatan bagi sebagian oknum untuk mengambil alih 'tanah kenangan' itu. Para preman yang diduga merupakan anak buah Daeng Azis dan Daeng Jamal, penguasa prostitusi Kalijodo versi lama menerapkan tarif parkir sesuai kehendak mereka.
Ya, tarif parkir dahulu, yang lain-lain gampang kemudian.
Persoalan tarif parkir mungkin sepele. Tapi, yang dipahami Ahok, sesuatu yang tidak ditata dalam sistem yang baik bisa dipastikan merugikan banyak orang.
Di level yang lebih luas, Ahok-Djarot percaya kepada pentingnya transparansi dalam menjalankan roda pembangunan. Itu pula, sistem pengelolaan anggaran melalui e-Budgeting yang digagas sejak kepemimpinan Joko Widodo sebagai gubernur belakangan hari ramai dibicarakan lagi.
Suara-suara yang muncul mengenai itu, ya, tak lebih dari tebak-tebakan dan spekulasi. Kiranya, apakah Anies-Sandi akan menghendaki tetap menggunakan sistem yang sama, atau tidak, lantaran menimbang kompromi dan masukan dari pihak lain?
Atau, serahkan saja kepada waktu. Lalu, kita jadi tahu; ada warisan Ahok yang akan diingat lama. Ia seorang pemberani, kreatif, dan kadang tanpa kompromi.
Di jalur itulah Ahok membangun governance buat Jakarta. Di jalan itu pula ia dipuja sekaligus dicerca. Tapi semua tahu, Jakarta memang perlu sosok pemimpin tegas, taktis, dan visioner.
Inilah warisan terpenting Ahok. Warisan yang paling tahan lama.
Metrotvews.com, Jakarta: Sesekali, bolehlah kita berterima kasih atas kemunculan nama Chloris, Aprhodite, dan Dionysus dalam mitologi Yunani. Berkat mereka, manusia jadi tahu fungsi bunga. Sebagai simbol kasih, juga tanda cinta.
Hari ini, Rabu 26 April 2017,
seabrek karangan kembang lambang sayang juga membanjiri halaman Balai Kota DKI Jakarta. Jumlahnya, lebih dari
seribu buah. Warna-warni mawar, lili, sedap malam, hingga tulip itu dipersembahkan sebagian warga untuk Gubernur Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
"Terima kasih Pak Ahok dan Pak Djarot sudah menjadi pelayan terbaik kami," bunyi tulisan yang tertera di salah satu karangan bunga.
Tak cuma itu, sejak Selasa 25 April 2017, warga juga
mendatangi langsung Balai Kota. Mungkin dianggap lebih afdal, jika ucap terima kasih dan dorongan semangat itu diungkapkan secara langsung, kepada yang dicinta.
Pasangan calon (paslon) Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor pilihan dua ini
memang kalah di putaran kedua. Tapi apresiasi semacam itu, dianggap layak dan tidak berlebihan mengingat jasa-jasa paslon petahana ini selama menjalani masa jabatannya.
Menengok survei kepuasan kinerja yang dirilis
Charta Politika Indonesia pertengahan April lalu, dari 782 responden, sebanyak 71,9 persen menyatakan sangat puas dan cukup puas dengan apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Cuma 26,2 persen yang menyatakan tidak puas. Sementara sisanya, memilih tidak tahu atau tidak menjawab.
Ahok-Djarot, memang telah banyak membekasi banyak perubahan di Ibukota. Maka wajar, jika ada warga yang memiliki sedikit kekhawatiran
terobosan-terobosan itu malah mandek, atau dikembalikan ke gaya lama setelah Ahok-Djarot tak lagi menjabat.
Ratusan karangan bunga dari warga untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat di halaman kantor Balai Kota Jakarta, Rabu (26/4)/ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Karakter Nemo dan Kalijodo
Paslon pemenang Pilgub DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Uno sudah jauh hari berjanji
tidak akan menghapus kebijakan Ahok-Djarot yang dinilainya baik. Bahkan, mereka bertugas menyempurnakan.
Anies menyebut contoh program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Dia menjamin, dukungan dana pendidikan bagi anak-anak Ibukota itu akan dipertahankan, bahkan diberi nilai tambah menjadi KJP
Plus; yakni diberi kelebihan
bisa ditarik tunai.
Tapi naga-naganya, yang diwariskan Ahok-Djarot bukan melulu berbentuk konsep dan program. Ada beberapa hal yang tak kasatmata, tapi mau tidak mau perkara itu yang membuat Pemprov DKI bisa jadi lebih baik belakangan tahun.
Pada Selasa, 25 April kemarin, Ahok menyinggungnya sendiri. Tepatnya dalam pembacaan
pledoi dalam kasus hukum yang menjeratnya yang sudah disidangkan sejak 13 Desember lalu.
Karakter Nemo dalam film fiksi
Finding Nemo dijadikan Ahok sebagai amsal. Ingatannya itu muncul ketika mendapati pertanyaan dari siswa taman kanak-kanak (TK) tentang sisi kontroversi yang menjadi khas dalam gaya kepemimpinannya. "Kenapa Ahok selalu melawan semua orang, melawan arus, ribut dengam semua orang?"
Alih-alih menjawab, Ahok malah mengajak mereka menonton cuplikan film tersebut. Pesan moralnya, adalah ketika Nemo tetap menolong ribuan ikan yang terjerat jaring nelayan meski dilarang Dori, ayah Nemo.
Ahok merasa, karakter Nemo serupa dengan kisah yang ia jalani saat ini. Manusia harus melawan arus untuk berjalan di jalan yang benar.
Tidak mudah kompromi
Dalam sebuah adegan, Nemo meminta ikan lain berenang melawan arah, tapi tak satu pun peduli. Namun lama kelamaan, akhirnya mereka paham; bahwa dengan cara itu lah mereka berhasil diselamatkan.
Sedikit banyak, memang cocok dengan bagaimana cara Ahok memperumpamakan dirinya. Melawan arus, tidak pandang bulu, dan tidak mudah berkompromi, tak jarang membuatnya dibenci banyak pihak.
Di sisi lain, Ahok menganggap cuma cara itu yang dibutuhkan dalam membangun sebuah kota dengan kehidupan yang serba keras seperti Jakarta. Tepatnya, ketegasan jadi senjata paling tokcer.
Kalijodo contohnya. Sudah sekian lama wilayah itu disalah-fungsikan menjadi pusat prostitusi yang diperparah dengan premanisme, belum lagi, letaknya yang diketahui merampas hak ruang terbuka hijau.
Pada Februari 2016, melalui tangan besi Ahok masalah yang cenderung karib dengan kota-kota besar itu tampak enteng dikembalikan kepada khitahnya.
Tapi, tengoklah belakangan hari. Pasca Ahok-Djarot dikabarkan kalah dalam hitung cepat, rupa-rupanya jadi kesempatan bagi sebagian oknum untuk mengambil alih 'tanah kenangan' itu. Para preman yang diduga merupakan
anak buah Daeng Azis dan Daeng Jamal, penguasa prostitusi Kalijodo versi lama menerapkan tarif parkir sesuai kehendak mereka.
Ya, tarif parkir dahulu, yang lain-lain gampang kemudian.
Persoalan tarif parkir mungkin sepele. Tapi, yang dipahami Ahok, sesuatu yang tidak ditata dalam sistem yang baik bisa dipastikan merugikan banyak orang.
Di level yang lebih luas, Ahok-Djarot percaya kepada pentingnya transparansi dalam menjalankan roda pembangunan. Itu pula, sistem pengelolaan anggaran melalui e
-Budgeting yang digagas sejak kepemimpinan Joko Widodo sebagai gubernur belakangan
hari ramai dibicarakan lagi.
Suara-suara yang muncul mengenai itu, ya, tak lebih dari tebak-tebakan dan spekulasi. Kiranya, apakah Anies-Sandi akan menghendaki tetap menggunakan sistem yang sama, atau tidak, lantaran menimbang kompromi dan masukan dari pihak lain?
Atau, serahkan saja kepada waktu. Lalu, kita jadi tahu; ada warisan Ahok yang akan diingat lama. Ia seorang pemberani, kreatif, dan kadang tanpa kompromi.
Di jalur itulah Ahok membangun
governance buat Jakarta. Di jalan itu pula ia dipuja sekaligus dicerca. Tapi semua tahu, Jakarta memang perlu sosok pemimpin tegas, taktis, dan visioner.
Inilah warisan terpenting Ahok. Warisan yang paling tahan lama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)