medcom.id, Jakarta: Bekas Sekretaris Kelurahan Cengkareng Barat Jufrianto Amin membantah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli tanahnya sendiri di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Jufri mengatakan, Pemprov DKI membeli sertifikat 'bodong' milik seorang warga bernama Toeti Soekarno.
"Salah kalau Pemda (Pemprov DKI) beli tanah sendiri. Pemda beli sertifikat yang tanahnya enggak ada," kata Jufrianto saat ditemui Metrotvnews.com di Jakarta, Rabu (29/6/2016). Jufrianto merupakan saksi kunci kasus tanah yang ramai diberitakan setelah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis 1 Juni lalu itu.
Jufrianto menceritakan, pada 1965 Dinas Pertanian Rakyat DKI Jakarta menyewa sebidang tanah kosong milik masyarakat seluas sekira 10 hektare di pinggir Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat. Dinas Pertanian itu kini berubah menjadi Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI.
Lahan itu, jelas Jufrianto, terdiri dari tujuh girik. Pada 1967, Dinas baru membeli lahan yang dikenal dengan Rawa Bengkel di RW 07 Kelurahan Cengkareng Barat itu buat membangun kebun bibit. Peruntukkan itu berlangsung sampai saat ini. Dari tujuh hanya enam girik yang dibeli.
Rinciannya, atas nama Oei Eang Nio Girik C 1205 Persil 82b SIV dengan luas tanah 2.000 meter persegi. Lalu, Ayani Ahyar Girik C 1332 Persil 120 SIII dengan luas 840 meter persegi, Persil 83a S II dengan luas tanah 1.420 meter persegi. Kemudian Iskandar Girik 1168 Persil 83 b SII luas tanah 1.630 meter persegi dan Persil 30 S II dengan luas tanah 4.420 meter persegi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama diserbu wartawan usai keluar dari gedung KPK. Foto: MI/Mohamad Irfan
Disusul Haji Achayar Girik C 1342 Persil 83 b S II dengan luas tanah 2.660 meter persegi. Lalu, Mugeni B. Muhamad Girik C 1619 Persil 60S III dengan luas tanah 940 meter persegi. Terakhir atas nama Oei Pek Liang Girik C 924 Persil 76 S III dengan luas tanah 3.2850 dan Persil 76 SII dengan luas tanah 1.7700 meter persegi.
"Tiba-tiba ada nama Toeti Soekarno mengklaim memiliki lahan milik Pemda. Padahal ada surat pernyataan dari Keluarga Iskandar (salah satu pemilik tanah yang menjual lahan ke Dinas Pertanian Rakyat), tidak pernah menjual girik kepada Toeti. Yang dijual itu ke Dinas," ungkap dia.
Nama Toeti muncul bermula dari kejadian pada 2009. Saat itu, lanjut Jufrianto, ada 'mafia tanah' terdiri dari Koen Soekarno, Haji Matroji, dan Nafis. Bekerja sama dengan oknum Kelurahan Cengkareng Barat, jelas Jufrianto, mereka bertiga merakayasa data-data surat tanah.
(Baca juga: Kasus Pembelian Tanah di Cengkareng Masuki Masa Mediasi)
Dalam proses pembuatan surat-surat itu Koen Soekarno mengalami kecelakaan dan meninggal. Sementara Haji Matroji terjerat kasus pertanahan dan sempat menjadi tersangka. Usai di-BAP oleh kepolisian, Haji Matroji di tengah perjalanan pulang ke rumah saudara terkena serangan jantung dan meninggal.
"Proses pembuatan surat tanah diteruskan oleh Nafis dengan ahli waris istri dari Koen Soekarno bernama Toeti Noezlar Soekarno," cerita Jufri.
Singkat cerita, upaya ini rupanya mulus ditandai dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik Nomor 13069 tanggal 08 Juli 2010 atas nama Toeti Noezlar Soekarno dengan luas tanah 34.503 meter persegi. Penerbitan SHM ini merujuk Girik C 148 Persil 91 Blok S III. "Girik ini tidak ada tanahnya," tegas Jufrianto.
Menurut Jufrianto, pada buku Letter C Kelurahan Cengkareng Barat tak tercatat girik ini. Girik milik Toeti yang benar bernomor 148 Persil 91 Blok D-III. Girik itu letaknya di Cengkareng Timur. Pendek kata, jelas Jufrianto, sertifikat Toeti yang dibeli DKI itu berdasarkan girik yang keliru dan tak cocok lokasinya.
(Baca juga: Bareskrim dan BPK Datangi Kelurahan Cengkareng Barat)
Dalam auditnya, BPK membenarkan keterangan Jufrianto. Dari pengecekan ke Letter C, dokumen pelepasan hak yang dimiliki Dinas Kelautan sama dengan nama pemilik, penggarap, berikut luasnya yang sama persis.
Pada November 2015, tanah seluas 4,6 hektare yang diklaim Toeti dijual kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Dinas Perumahan membeli tanah tersebut Rp 668 miliar, terdiri atas Rp 634 miliar harga tanah dan Rp 33,9 miliar pajak penghasilan serta pajak bumi dan bangunan.
Tanah milik Pemprov DKI Jakarta di Cengkareng Barat, Jakbar, bersebelahan dengan tanah sengketa. Foto: MTVN/Wanda Indana
Dinas membayarnya pada 5 November 2015 kepada Rudi Iskandar sebagai kuasa pemilik lahan Toeti Noezlar Soekarno. Rudi Iskandar, kata Jufrianto, adalah adik ipar almarhum Haji Matroji.
Sebelum transaksi, Jufrianto memberitahu Dinas Perumahan agar membatalkan transaksi. Jufrianto juga mengingatkan agar lurah Cengkareng Barat saat ini, Mohammad Hatta, untuk tidak menandatangani surat tanah tidak dalam sengketa kepada Toeti.
"Sudah saya ingatkan kepada Pak Hatta jangan ditandatangani surat keterangan tanah tidak sengketa. Soalnya sertifikat Bu Toeti ganda, sertifikatnya tidak ada tanahnya," jelas Jufrianto.
(Baca juga: Dinas Perumahan DKI Bantah Utang Rp200 Miliar)
Alih-alih didengar, Jufrianto malah dicopot dari Cengkareng Barat. Ia distafkan dan dimutasi ke kelurahan lain. Dia dituduh menghalang-halangi niat pemerintah membangun rumah susun di lahan tersebut.
Toeti, melalui kuasa hukumnya bernama Ulhaq Andhyaksa membantah semua keterangan versi Jufrianto. Menurut Ulhaq, tidak ada kesalahan dalam penerbitan sertifikat tanah di Cengkareng Barat oleh Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat atas nama kliennya.
BPN Jakarta Barat, kata Ulhaq, memiliki catatan yuridis dan historis mengenai tanah itu. BPN memiliki sistem pengecekan berjenjang dan teliti. "Yang memiliki hak untuk mengeluarkan sertifikat tanah itu kan BPN. Jadi kalau berbicara hukum mengenai tanah ya kiblatnya ke BPN," ungkap Ulhaq kepada Metrotvnews.com, Rabu (29/6/2016).
(Baca juga: KPK Masih Dalami Kasus Pembelian Lahan di Cengkareng)
Karena itu, ia meminta semua pihak menghormati keputusan yang telah dibuat oleh BPN. "Kita berada di pihak yang benar. Tidak ada kesalahan dari ahli waris karena telah menjalankan prosedur," tandas Ulhaq.
Sebetulnya, tanah tersebut sudah menjadi obyek sengketa jauh sebelum pemberitahuan Jufrianto. Pada 2009, Dinas Kelautan menggugat D.L. Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, yang tiba-tiba mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut. Dinas menggugat ke pengadilan. Di pengadilan pertama, Dinas kalah. Namun, pada tingkat banding, Dinas menang dan Sitorus diharuskan membayar denda Rp 6,9 miliar.
Pembelian lahan seluas 4,6 hektare itu berujung kisruh setelah menjadi salah satu temuan yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang dan melaporkan temuan BPK ke KPK dan Bareskrim Polri.
medcom.id, Jakarta: Bekas Sekretaris Kelurahan Cengkareng Barat Jufrianto Amin membantah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli tanahnya sendiri di Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Jufri mengatakan, Pemprov DKI membeli sertifikat 'bodong' milik seorang warga bernama Toeti Soekarno.
"Salah kalau Pemda (Pemprov DKI) beli tanah sendiri. Pemda beli sertifikat yang tanahnya enggak ada," kata Jufrianto saat ditemui
Metrotvnews.com di Jakarta, Rabu (29/6/2016). Jufrianto merupakan saksi kunci kasus tanah yang ramai diberitakan setelah menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan yang dirilis 1 Juni lalu itu.
Jufrianto menceritakan, pada 1965 Dinas Pertanian Rakyat DKI Jakarta menyewa sebidang tanah kosong milik masyarakat seluas sekira 10 hektare di pinggir Jalan Kamal Raya, Jakarta Barat. Dinas Pertanian itu kini berubah menjadi Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI.
Lahan itu, jelas Jufrianto, terdiri dari tujuh girik. Pada 1967, Dinas baru membeli lahan yang dikenal dengan Rawa Bengkel di RW 07 Kelurahan Cengkareng Barat itu buat membangun kebun bibit. Peruntukkan itu berlangsung sampai saat ini. Dari tujuh hanya enam girik yang dibeli.
Rinciannya, atas nama Oei Eang Nio Girik C 1205 Persil 82b SIV dengan luas tanah 2.000 meter persegi. Lalu, Ayani Ahyar Girik C 1332 Persil 120 SIII dengan luas 840 meter persegi, Persil 83a S II dengan luas tanah 1.420 meter persegi. Kemudian Iskandar Girik 1168 Persil 83 b SII luas tanah 1.630 meter persegi dan Persil 30 S II dengan luas tanah 4.420 meter persegi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama diserbu wartawan usai keluar dari gedung KPK. Foto: MI/Mohamad Irfan
Disusul Haji Achayar Girik C 1342 Persil 83 b S II dengan luas tanah 2.660 meter persegi. Lalu, Mugeni B. Muhamad Girik C 1619 Persil 60S III dengan luas tanah 940 meter persegi. Terakhir atas nama Oei Pek Liang Girik C 924 Persil 76 S III dengan luas tanah 3.2850 dan Persil 76 SII dengan luas tanah 1.7700 meter persegi.
"Tiba-tiba ada nama Toeti Soekarno mengklaim memiliki lahan milik Pemda. Padahal ada surat pernyataan dari Keluarga Iskandar (salah satu pemilik tanah yang menjual lahan ke Dinas Pertanian Rakyat), tidak pernah menjual girik kepada Toeti. Yang dijual itu ke Dinas," ungkap dia.
Nama Toeti muncul bermula dari kejadian pada 2009. Saat itu, lanjut Jufrianto, ada 'mafia tanah' terdiri dari Koen Soekarno, Haji Matroji, dan Nafis. Bekerja sama dengan oknum Kelurahan Cengkareng Barat, jelas Jufrianto, mereka bertiga merakayasa data-data surat tanah.
(
Baca juga: Kasus Pembelian Tanah di Cengkareng Masuki Masa Mediasi)
Dalam proses pembuatan surat-surat itu Koen Soekarno mengalami kecelakaan dan meninggal. Sementara Haji Matroji terjerat kasus pertanahan dan sempat menjadi tersangka. Usai di-BAP oleh kepolisian, Haji Matroji di tengah perjalanan pulang ke rumah saudara terkena serangan jantung dan meninggal.
"Proses pembuatan surat tanah diteruskan oleh Nafis dengan ahli waris istri dari Koen Soekarno bernama Toeti Noezlar Soekarno," cerita Jufri.
Singkat cerita, upaya ini rupanya mulus ditandai dengan terbitnya Sertifikat Hak Milik Nomor 13069 tanggal 08 Juli 2010 atas nama Toeti Noezlar Soekarno dengan luas tanah 34.503 meter persegi. Penerbitan SHM ini merujuk Girik C 148 Persil 91 Blok S III. "Girik ini tidak ada tanahnya," tegas Jufrianto.
Menurut Jufrianto, pada buku Letter C Kelurahan Cengkareng Barat tak tercatat girik ini. Girik milik Toeti yang benar bernomor 148 Persil 91 Blok D-III. Girik itu letaknya di Cengkareng Timur. Pendek kata, jelas Jufrianto, sertifikat Toeti yang dibeli DKI itu berdasarkan girik yang keliru dan tak cocok lokasinya.
(
Baca juga: Bareskrim dan BPK Datangi Kelurahan Cengkareng Barat)
Dalam auditnya, BPK membenarkan keterangan Jufrianto. Dari pengecekan ke Letter C, dokumen pelepasan hak yang dimiliki Dinas Kelautan sama dengan nama pemilik, penggarap, berikut luasnya yang sama persis.
Pada November 2015, tanah seluas 4,6 hektare yang diklaim Toeti dijual kepada Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Pemprov DKI Jakarta. Dinas Perumahan membeli tanah tersebut Rp 668 miliar, terdiri atas Rp 634 miliar harga tanah dan Rp 33,9 miliar pajak penghasilan serta pajak bumi dan bangunan.
Tanah milik Pemprov DKI Jakarta di Cengkareng Barat, Jakbar, bersebelahan dengan tanah sengketa. Foto: MTVN/Wanda Indana
Dinas membayarnya pada 5 November 2015 kepada Rudi Iskandar sebagai kuasa pemilik lahan Toeti Noezlar Soekarno. Rudi Iskandar, kata Jufrianto, adalah adik ipar almarhum Haji Matroji.
Sebelum transaksi, Jufrianto memberitahu Dinas Perumahan agar membatalkan transaksi. Jufrianto juga mengingatkan agar lurah Cengkareng Barat saat ini, Mohammad Hatta, untuk tidak menandatangani surat tanah tidak dalam sengketa kepada Toeti.
"Sudah saya ingatkan kepada Pak Hatta jangan ditandatangani surat keterangan tanah tidak sengketa. Soalnya sertifikat Bu Toeti ganda, sertifikatnya tidak ada tanahnya," jelas Jufrianto.
(
Baca juga: Dinas Perumahan DKI Bantah Utang Rp200 Miliar)
Alih-alih didengar, Jufrianto malah dicopot dari Cengkareng Barat. Ia distafkan dan dimutasi ke kelurahan lain. Dia dituduh menghalang-halangi niat pemerintah membangun rumah susun di lahan tersebut.
Toeti, melalui kuasa hukumnya bernama Ulhaq Andhyaksa membantah semua keterangan versi Jufrianto. Menurut Ulhaq, tidak ada kesalahan dalam penerbitan sertifikat tanah di Cengkareng Barat oleh Badan Pertanahan Nasional Jakarta Barat atas nama kliennya.
BPN Jakarta Barat, kata Ulhaq, memiliki catatan yuridis dan historis mengenai tanah itu. BPN memiliki sistem pengecekan berjenjang dan teliti. "Yang memiliki hak untuk mengeluarkan sertifikat tanah itu kan BPN. Jadi kalau berbicara hukum mengenai tanah ya kiblatnya ke BPN," ungkap Ulhaq kepada Metrotvnews.com, Rabu (29/6/2016).
(
Baca juga: KPK Masih Dalami Kasus Pembelian Lahan di Cengkareng)
Karena itu, ia meminta semua pihak menghormati keputusan yang telah dibuat oleh BPN. "Kita berada di pihak yang benar. Tidak ada kesalahan dari ahli waris karena telah menjalankan prosedur," tandas Ulhaq.
Sebetulnya, tanah tersebut sudah menjadi obyek sengketa jauh sebelum pemberitahuan Jufrianto. Pada 2009, Dinas Kelautan menggugat D.L. Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, yang tiba-tiba mengklaim sebagai pemilik tanah tersebut. Dinas menggugat ke pengadilan. Di pengadilan pertama, Dinas kalah. Namun, pada tingkat banding, Dinas menang dan Sitorus diharuskan membayar denda Rp 6,9 miliar.
Pembelian lahan seluas 4,6 hektare itu berujung kisruh setelah menjadi salah satu temuan yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang dan melaporkan temuan BPK ke KPK dan Bareskrim Polri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MBM)