Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mendorong kepolisian menuntaskan kasus pemerkosaan gadis disabilitas di Kota Serang, Banten. Kasus itu kembali dibuka setelah diketahui upaya restorative justice yang diterapkan tidak tepat.
"Dengan dibukanya kembali penyidikan kasus pemerkosaan perempuan difabel tersebut, maka penyidik Satreskrim Polres Serang Kota wajib menyelesaikan pemberkasan terhadap dua tersangka," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Februari 2022.
Selain itu, Poengky meminta penyidik melakukan koordinasi intens dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang. Guna menindaklanjuti pemberkasan perkara hingga ke tahap penuntutan dan persidangan.
Kompolnas berharap penanganan perkara ini dapat menjadi pembelajaran bagi para penyidik lainnya. Lalu, meminta Korps Bhayangkara membuat pedoman bagi aparat kepolisian dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak.
"Serta pelatihan-pelatihan secara berkala, agar dapat membuka mindset penyidik untuk sensitif terhadap hak asasi manusia (HAM) dan gender," ungkap Poengky.
Baca: Pelaku Pemerkosaan dan Pemerasan Terhadap Anak di Bawah Umur di Ketapang Ditangkap
Sebelumnya, Kompolnas merekomendasikan Pengawas Penyidik (Wassidik) serta Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Banten untuk memeriksa penyidik yang menangani kasus pemerkosaan perempuan difabel di Polres Serang Kota tersebut. Kasus itu sempat dihentikan penyidik atas dasar restorative justice.
Polda Banten langsung merespons penghentian penyidikan oleh Satreskrim Polres Serang Kota dengan menurunkan tim pemeriksa dari Bidpropam dan tim audit dari Bagwassidik Ditreskrimum Polda Banten. Hasilnya, diketahui ada kurang paham penyidik Polres Serang Kota dalam menerapkan operasionalisasi keadilan restoratif berdasarkan ketentuan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Keadilan Restoratif.
Menurut Poengky, Kompolnas mengkritisi penghentian penyidikan atas dasar restorative justice tersebut karena beberapa hal. Pertama, perkosaan bukan delik aduan, sehingga meski pelapor mencabut laporan, penyidikan kasus tetap harus berjalan.
Kedua, restorative justice tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan, apalagi ancaman maksimal kasus perkosaan 12 tahun penjara. Ketiga, polisi sebagai agen perubahan harus mendidik masyarakat.
Poengky mengatakan dalam hal ini mengedukasi pihak pelapor atau keluarga untuk tidak menikahkan korban dengan tersangka sebagai upaya damai. Apalagi korban adalah seorang difabel.
"Mindset berpikir penyidik harus sensitif gender, dengan melindungi korban perkosaan agar tidak menjadi korban lagi di kemudian hari, " kata Poengky.
Dia menilai perkawinan antara korban dan tersangka rentan digunakan untuk maksud terselubung. Salah satunya, menghindari ancaman pidana akibat memperkosa.
"Perkawinan juga justru melukai perempuan lain yang menjadi istri pelaku," ucap juru bicara Kompolnas itu.
Keluarga korban mendatangi Polres Serang Kota pada Selasa, 18 Januari 2022. Pihak keluarga datang untuk mencabut laporan.
Pihak keluarga memilih mekanisme pemufakatan damai. Pasalnya, pelaku, S disebut bersedia bertanggung jawab dengan menikahi korban, Y.
Polisi menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Keduanya berinisial EJ, 39 dan S, 46.
Jakarta: Komisi Kepolisian Nasional
(Kompolnas) mendorong kepolisian menuntaskan kasus
pemerkosaan gadis
disabilitas di Kota Serang, Banten. Kasus itu kembali dibuka setelah diketahui upaya
restorative justice yang diterapkan tidak tepat.
"Dengan dibukanya kembali penyidikan kasus pemerkosaan perempuan difabel tersebut, maka penyidik Satreskrim Polres Serang Kota wajib menyelesaikan pemberkasan terhadap dua tersangka," kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Februari 2022.
Selain itu, Poengky meminta penyidik melakukan koordinasi intens dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Serang. Guna menindaklanjuti pemberkasan perkara hingga ke tahap penuntutan dan persidangan.
Kompolnas berharap penanganan perkara ini dapat menjadi pembelajaran bagi para penyidik lainnya. Lalu, meminta Korps Bhayangkara membuat pedoman bagi aparat kepolisian dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak.
"Serta pelatihan-pelatihan secara berkala, agar dapat membuka
mindset penyidik untuk sensitif terhadap hak asasi manusia (HAM) dan gender," ungkap Poengky.
Baca:
Pelaku Pemerkosaan dan Pemerasan Terhadap Anak di Bawah Umur di Ketapang Ditangkap
Sebelumnya, Kompolnas merekomendasikan Pengawas Penyidik (Wassidik) serta Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Banten untuk memeriksa penyidik yang menangani kasus pemerkosaan perempuan difabel di Polres Serang Kota tersebut. Kasus itu sempat dihentikan penyidik atas dasar
restorative justice.
Polda Banten langsung merespons penghentian penyidikan oleh Satreskrim Polres Serang Kota dengan menurunkan tim pemeriksa dari Bidpropam dan tim audit dari Bagwassidik Ditreskrimum Polda Banten. Hasilnya, diketahui ada kurang paham penyidik Polres Serang Kota dalam menerapkan operasionalisasi keadilan restoratif berdasarkan ketentuan Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Keadilan Restoratif.
Menurut Poengky, Kompolnas mengkritisi penghentian penyidikan atas dasar
restorative justice tersebut karena beberapa hal. Pertama, perkosaan bukan delik aduan, sehingga meski pelapor mencabut laporan, penyidikan kasus tetap harus berjalan.
Kedua,
restorative justice tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan kasus kejahatan seksual terhadap perempuan, apalagi ancaman maksimal kasus perkosaan 12 tahun penjara. Ketiga, polisi sebagai agen perubahan harus mendidik masyarakat.
Poengky mengatakan dalam hal ini mengedukasi pihak pelapor atau keluarga untuk tidak menikahkan korban dengan tersangka sebagai upaya damai. Apalagi korban adalah seorang difabel.
"
Mindset berpikir penyidik harus sensitif gender, dengan melindungi korban perkosaan agar tidak menjadi korban lagi di kemudian hari, " kata Poengky.
Dia menilai perkawinan antara korban dan tersangka rentan digunakan untuk maksud terselubung. Salah satunya, menghindari ancaman pidana akibat memperkosa.
"Perkawinan juga justru melukai perempuan lain yang menjadi istri pelaku," ucap juru bicara Kompolnas itu.
Keluarga korban mendatangi Polres Serang Kota pada Selasa, 18 Januari 2022. Pihak keluarga datang untuk mencabut laporan.
Pihak keluarga memilih mekanisme pemufakatan damai. Pasalnya, pelaku, S disebut bersedia bertanggung jawab dengan menikahi korban, Y.
Polisi menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Keduanya berinisial EJ, 39 dan S, 46.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(NUR)