Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pasal ini digugat sejumlah pensiunan pegawai negeri sipil dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perkara teregistrasi dengan Nomor 42/PUU-XX/2022. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pemohon atas nama Santi Lisina mengungkapkan Pasal 222 UU Pemilu hanya mencantumkan ambang batas minimal, tanpa ketentuan ambang batas maksimal. Aturan ini dinilai mengakibatkan koalisi partai politik gemuk dan merugikan hak konstitusional.
"Pasal ini memanipulasi hak konstitusional pemilih, menciutkan jumlah pasangan calon presiden sehingga membuka akses oligarki," ujar Santi di ruang sidang panel MK, Kamis, 14 April 2022.
Baca: Anggaran Pemilu 2024 Berpotensi Turun Lagi
Ia mengatakan aturan ini juga mengakibatkan pembodohan publik karena ternyata hasil Pemilu 2019 menjadi pedoman untuk pemilihan berikutnya. Hal ini dinilai merusak trilogi Pasal 6A UUD 1945.
"Publik belum mengetahui hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai syarat penting bagi parpol dan gabungan parpol untuk Pemilu 2024," ucap dia.
Sementara itu, Pasal 223 dinilai tidak memuat asas inklusivitas, transparan, dan terbuka. Sebab aturan ini dipahami partai politik bahwa penentuan calon presiden dan calon wakil presiden menjadi bagian dari hak prerogatif ketua umum partai politik dengan atau tanpa persetujuan/pertimbangan pengurus parpol yang lain.
"Dengan demikian, hal ini berpotensi menghilangkan kesempatan terpilihnya para pemohon yang juga menjadi bagian dari putra/putri terbaik Indonesia yang lain," ucap dia.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Serta, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Bunyi Pasal 222 yakni; pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sedangkan, bunyi Pasal 223 ialah, penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta perbaikan gugatan sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, ia meminta para pemohon menguraikan satu per satu hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 yang dinilai terlanggar oleh UU yang diujikan pada perkara ini.
"Perkuat uraian mengenai kerugian konstitusional para Pemohon yang harus memperhatikan permohonan terdahulu sehingga bias dibangun argumentasi yang dapat meyakinkan Mahkamah dengan batu uji yang banyak ini harus diuraikan satu per satu," jelas Enny.
Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para pemohon menyederhanakan permohonan, terutama pada bagian kedudukan hukum para pemohon. Ada beberapa uraian pada permohonan yang dinilai tumpang tindih, sehingga perlu disempurnakan agar lebih sederhana, runut, dan mudah dipahami.
Wakil Ketua MK Aswanto meminta para pemohon menyederhanakan permohonan. Aswanto menekankan harus ada pembeda alasan pada permohonan agar dapat meyakinkan Mahkamah dalam menyikapi perkara ini dari perkara-perkara sebelumnya yang telah diputuskan.
Jakarta:
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
UU Pemilu). Pasal ini digugat sejumlah pensiunan pegawai negeri sipil dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Perkara teregistrasi dengan Nomor 42/PUU-XX/2022. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan ini dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pemohon atas nama Santi Lisina mengungkapkan Pasal 222 UU Pemilu hanya mencantumkan ambang batas minimal, tanpa ketentuan ambang batas maksimal. Aturan ini dinilai mengakibatkan koalisi partai politik gemuk dan merugikan hak konstitusional.
"Pasal ini memanipulasi hak konstitusional pemilih, menciutkan jumlah pasangan calon presiden sehingga membuka akses oligarki," ujar Santi di ruang sidang panel MK, Kamis, 14 April 2022.
Baca:
Anggaran Pemilu 2024 Berpotensi Turun Lagi
Ia mengatakan aturan ini juga mengakibatkan pembodohan publik karena ternyata hasil Pemilu 2019 menjadi pedoman untuk pemilihan berikutnya. Hal ini dinilai merusak trilogi Pasal 6A UUD 1945.
"Publik belum mengetahui hasil Pileg 2019 akan digunakan sebagai syarat penting bagi parpol dan gabungan parpol untuk
Pemilu 2024," ucap dia.
Sementara itu, Pasal 223 dinilai tidak memuat asas inklusivitas, transparan, dan terbuka. Sebab aturan ini dipahami partai politik bahwa penentuan calon presiden dan calon wakil presiden menjadi bagian dari hak prerogatif ketua umum partai politik dengan atau tanpa persetujuan/pertimbangan pengurus parpol yang lain.
"Dengan demikian, hal ini berpotensi menghilangkan kesempatan terpilihnya para pemohon yang juga menjadi bagian dari putra/putri terbaik Indonesia yang lain," ucap dia.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Serta, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Bunyi Pasal 222 yakni;
pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sedangkan, bunyi Pasal 223 ialah,
penentuan calon presiden dan/atau calon wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta perbaikan gugatan sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 2 Tahun 2021. Selain itu, ia meminta para pemohon menguraikan satu per satu hak konstitusional yang dijamin UUD 1945 yang dinilai terlanggar oleh UU yang diujikan pada perkara ini.
"Perkuat uraian mengenai kerugian konstitusional para Pemohon yang harus memperhatikan permohonan terdahulu sehingga bias dibangun argumentasi yang dapat meyakinkan Mahkamah dengan batu uji yang banyak ini harus diuraikan satu per satu," jelas Enny.
Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para pemohon menyederhanakan permohonan, terutama pada bagian kedudukan hukum para pemohon. Ada beberapa uraian pada permohonan yang dinilai tumpang tindih, sehingga perlu disempurnakan agar lebih sederhana, runut, dan mudah dipahami.
Wakil Ketua MK Aswanto meminta para pemohon menyederhanakan permohonan. Aswanto menekankan harus ada pembeda alasan pada permohonan agar dapat meyakinkan Mahkamah dalam menyikapi perkara ini dari perkara-perkara sebelumnya yang telah diputuskan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)