Kehilangan rumah akibat gempa, perempuan Haiti jadi incaran pelaku pemerkosa. Foto: AFP
Kehilangan rumah akibat gempa, perempuan Haiti jadi incaran pelaku pemerkosa. Foto: AFP

Gempa Hancurkan Rumah, Perempuan Haiti Takut Diperkosa

Willy Haryono • 25 Agustus 2021 18:03
Port-au-Prince: Vesta Guerrier selamat dari gempa besar Haiti bulan ini. Tetapi gempa itu meratakan rumahnya dan sejak itu dia tinggal di kamp darurat dengan ketakutan bahwa dia bisa diperkosa kapan saja.
 
"Kami tidak aman," katanya kepada AFP, dilansir Rabu 25 Agustus 2021.
 
Suaranya menggemakan kekhawatiran perempuan Haiti lainnya yang terlalu sadar akan pemerkosaan yang terjadi setelah bencana di negara tersebut. Kekerasan ini umum terjadi setiap Haiti usai dilanda bencana.

Rumah bagi Guerrier, suami dan tiga anaknya adalah tempat perlindungan tipis yang terbuat dari tongkat dan lembaran plastik di sebuah pusat olahraga di kota Les Cayes yang dilanda bencana, di semenanjung barat daya ibu kota Port-au-Prince.
 
"Apa pun bisa terjadi pada kami. Terutama di malam hari, siapa pun bisa memasuki kamp,” ungkapnya.
 
Gempa berkekuatan 7,2 magnitudo yang melanda pada 14 Agustus menewaskan lebih dari 2.200 orang tetapi juga menghancurkan atau merusak berat puluhan ribu rumah di negara yang masih dalam pemulihan dari gempa dahsyat 2010.
 
Setelah gempa 11 tahun yang lalu, yang menewaskan lebih dari 200.000 orang, beberapa orang yang selamat menghabiskan waktu bertahun-tahun di tempat penampungan. Sementara di mana para korban diserang oleh orang-orang bersenjata dan gerombolan pemuda yang berkeliaran di kamp-kamp yang kurang penerangan dan penuh sesak setelah gelap.
 

 

Lebih dari 250 kasus pemerkosaan tercatat dalam waktu sekitar lima bulan setelah bencana 2010, menurut laporan Amnesty International 2011 yang mencatat banyak kelompok advokasi menganggap itu hanya sebagian kecil dari jumlah sebenarnya.
 
Gempa Hancurkan Rumah, Perempuan Haiti Takut Diperkosa
Pengungsi gempa Haiti khawatir jadi korban pemerkosaan. Foto: AFP
 
Sekitar 200 orang tinggal di kamp yang sama dengan Guerrier, di mana privasi hampir tidak mungkin. Karena khawatir diserang, Guerrier tidak sepenuhnya melepas pakaiannya untuk mandi dan selalu menunggu sampai gelap untuk mencuci agar orang lain tidak bisa melihatnya.
 
Ketika cahaya menyinarinya dalam kegelapan kamp, ??dia bertanya-tanya apakah itu hanya salah satu tetangganya, atau apakah itu "seseorang yang ingin melakukan apa yang ingin dia lakukan (pemerkosaan).”
 
Tidak ada toilet yang berfungsi di lokasi tersebut, yang membuat Guerrier takut dan malu karena "orang dapat melihat Anda dari segala arah."
 
"Hanya gadis-gadis yang bisa mengerti apa yang saya katakan. Kami para wanita dan anak-anak kecil yang ada di sini, kami sangat menderita," tegasnya.

'Jiwa kami tidak ada di sini'

Pengungsi lain di kamp juga mengungkapkan ketakutan mereka. Hal serupa disampaikan oleh Francise Dorismond.
 

 
"Kami takut, kami sangat takut pada anak-anak kami. Kami membutuhkan tenda agar kami dapat kembali tinggal di rumah bersama keluarga kami," ucap Francise Dorismond, yang sedang hamil tiga bulan.
 
Kamp darurat lainnya telah muncul tidak jauh dari situs utama karena risiko serangan. Pastor Milfort Roosevelt mengatakan "yang paling rentan" telah ditempatkan di sana.
 
“Kami melindungi gadis-gadis muda itu. Pada malam hari, kami telah membentuk tim keamanan yang berpatroli sepanjang malam dan memastikan bahwa tidak ada pemuda yang melakukan kekerasan terhadap para wanita ini,” jelas pria berusia 31 tahun itu.
 
Di reruntuhan bekas klub malam yang dihancurkan oleh Badai Matthew pada 2016, puluhan orang berlindung dalam jalinan seprai dan terpal yang digantung di antara dinding.
 
Di tengah labirin ini, ibu muda Jasmine Noel mencoba membuat tempat tidur untuk bayinya yang berusia 22 hari untuk tidur.
 
"Malam gempa, saya mau tidur di lapangan sebelah tapi mereka bilang kalau dengan bayi saya, itu tidak benar jadi mereka menyambut saya di sini," kata Noel.
 
"Beberapa orang selalu mencoba memanfaatkan momen semacam ini untuk melakukan kesalahan," ujarnya, menambahkan bahwa penderitaannya membuatnya merasa seperti dia tidak lagi "benar-benar hidup."
 
"Tubuh kami ada di sini, ya, tetapi jiwa kami tidak," pungkas Noel, berharap ibunya, seorang pedagang kaki lima, memiliki cukup uang hari itu untuk membeli makanan untuk mereka.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan