"Kami takut, kami sangat takut pada anak-anak kami. Kami membutuhkan tenda agar kami dapat kembali tinggal di rumah bersama keluarga kami," ucap Francise Dorismond, yang sedang hamil tiga bulan.
Kamp darurat lainnya telah muncul tidak jauh dari situs utama karena risiko serangan. Pastor Milfort Roosevelt mengatakan "yang paling rentan" telah ditempatkan di sana.
“Kami melindungi gadis-gadis muda itu. Pada malam hari, kami telah membentuk tim keamanan yang berpatroli sepanjang malam dan memastikan bahwa tidak ada pemuda yang melakukan kekerasan terhadap para wanita ini,” jelas pria berusia 31 tahun itu.
Di reruntuhan bekas klub malam yang dihancurkan oleh Badai Matthew pada 2016,
puluhan orang berlindung dalam jalinan seprai dan terpal yang digantung di antara dinding.
Di tengah labirin ini, ibu muda Jasmine Noel mencoba membuat tempat tidur untuk bayinya yang berusia 22 hari untuk tidur.
"Malam gempa, saya mau tidur di lapangan sebelah tapi mereka bilang kalau dengan bayi saya, itu tidak benar jadi mereka menyambut saya di sini," kata Noel.
"Beberapa orang selalu mencoba memanfaatkan momen semacam ini untuk melakukan kesalahan," ujarnya, menambahkan bahwa penderitaannya membuatnya merasa seperti dia tidak lagi "benar-benar hidup."
"Tubuh kami ada di sini, ya, tetapi jiwa kami tidak," pungkas Noel, berharap ibunya, seorang pedagang kaki lima, memiliki cukup uang hari itu untuk membeli makanan untuk mereka.