Selama krisis ekonomi terburuk di negara itu yang telah mendorong inflasi pada angka tertinggi dan memicu protes yang pekan lalu menjatuhkan presiden, rakyat Sri Lanka membeli lebih sedikit, makan lebih sedikit, dan bekerja lebih sedikit.
"Sangat sulit untuk hidup, bahkan sepotong roti pun mahal," kata Pereira kepada AFP di luar rumahnya yang sederhana di Slave Island, sebuah kantong miskin di ibu kota Kolombo.
"Jika kita makan satu, kita melewatkan yang lain,” ujarnya.
Baca: Plt Presiden Sri Lanka Kembali Terapkan Status Darurat Nasional. |
Dengan enam anak dalam keluarga, pria berusia 74 tahun itu mengatakan, yang terbaik yang mereka mampu beli dalam beberapa pekan terakhir adalah sesekali ikan, dipotong kecil-kecil untuk semua orang.
“Karena kami tidak punya banyak uang, terkadang kami memberikan ikan kepada anak-anak,” cerita Pereira. Semantara bagi yang lebih dewasa, tambahnya, "hanya makan kuahnya".
Para kritikus mengatakan, dipicu oleh pandemi virus korona, kesengsaraan keuangan negara itu diperparah karena salah urus pemerintah.
Putra Peirera, BG Rajitkumar, adalah buruh listrik yang sudah berbulan-bulan tidak bekerja. Dia amat mengkhawatirkan kondisi yang terjadi saat ini.
“Harga pangan naik setiap hari. Kenaikan harga eksponensial ini adalah hal paling mengerikan yang pernah saya hadapi,” tutur Rajitkumar.