Inflasi makanan di Sri Lanka mencapai 80,1 persen pada tahun ini hingga Juni, menurut angka resmi.
Di toko sayur terdekat, penduduk membayar 1.000 rupee atau sekitar Rp41 ribu untuk satu kilo labu, dua kali lipat dari tiga bulan lalu. Pemilik toko sayuran Mohamad Faizal mengatakan beberapa pelanggannya sekarang membeli hanya 100 gram sekali.
"Harganya sudah naik. Alasan utamanya adalah tidak ada cara untuk mengangkut barang-barang itu karena tidak ada bahan bakar,” sebut Faizal.
Tak ada pilihan
Tanpa cadangan devisa untuk impor dan gagal bayar utang luar negerinya sebesar USD51 miliar, Sri Lanka mengalami kekurangan bahan bakar, obat-obatan dan kebutuhan pokok lainnya.
Mohamad Faizal dengan barang dagangannya. Foto: AFP
Menurut Program Pangan Dunia (WFP) hampir lima juta orang atau sekitar 22 persen dari populasi Sri Lanka, membutuhkan bantuan pangan. Dalam penilaian terbarunya, dikatakan lebih dari lima dari setiap enam keluarga melewatkan makan, makan lebih sedikit atau membeli makanan yang lebih buruk.
Sementara makanan tidak kekurangan pasokan, masalahnya adalah keterjangkauan.
Pasar grosir sayuran utama New Manning di kota itu ramai pada Minggu karena pembeli, penjual, dan kuli barang berdesak-desakan dengan karung-karung hasil bumi.
Tetapi para pedagang mengatakan bisnis telah turun lebih dari setengahnya sejak Maret.
"Harga untuk semuanya naik lebih dari dua kali lipat," kata pedagang MM Mufeed.
"Beberapa sayuran yang tidak terjual terbuang sia-sia dan banyak orang miskin datang untuk mengambilnya setiap hari setelah pasar tutup,” tuturnya.
Baca: Alami Krisis, 9 Negara Ini Terancam Bangkrut Seperti Sri Lanka. |
Penjualannya turun 70 persen, tambahnya. "Kadang-kadang saya menjual kepada orang miskin dengan harga lebih murah untuk menghindari pemborosan makanan dan sedikit memberikan bantuan”.