Permintaan maaf dilayangkan setelah dikeluarkan laporan setebal 800 halaman mengenai kejadian tersebut. Laporan itu menyebutkan bahwa ada kegagalan di badan keamanan.
Laporan itu menemukan agen keamanan memiliki "konsentrasi yang tidak tepat" dari sumber daya dan ada "pengawasan yang tidak proporsional" terhadap Muslim.
“Laporan tersebut secara khusus mencatat bahwa sebelum 2018, konsentrasi sumber daya tidak didasarkan pada penilaian informasi tentang ancaman terorisme yang terkait dengan ideologi lain,” kata Ardern, seperti dikutip Sky News, Selasa 8 Desember 2020.
Ardern juga mencatat laporan itu mengatakan sistem alokasi sumber daya yang lebih baik tidak akan mencegah serangan itu.
"Meskipun demikian, ini adalah kegagalan, dan untuk itu, atas nama pemerintah, saya minta maaf,” ucap PM Adern.
"Komisi (keamanan) tidak membuat temuan bahwa masalah-masalah ini akan menghentikan serangan itu. Tetapi keduanya tetap gagal dan untuk itu saya minta maaf,” imbuh Ardern.
Lebih lanjut Ardern mengatakan, ke depan, pihaknya perlu memastikan fokus yang memadai dari sumber daya pada berbagai ancaman yang dihadapi Selandia Baru dan meningkatkan keamanan serta kemampuan intelijen dan kerja kohesi sosial.
“Permintaan maaf akan hampa tanpa tindakan,” tegas Ardern.
Sementara Kepala Polisi Andrew Costers mengatakan, seharusnya pihaknya bisa berbuat lebih banyak. "Kami bisa berbuat lebih banyak. Kami tanpa pamrih meminta maaf,” ujar Costers.
"Satu-satunya informasi yang dapat atau seharusnya membuat polisi dan badan lain waspada terhadap serangan itu adalah email yang dikirim oleh teroris ke parlemen hanya delapan menit sebelum serangan itu,” ungkapnya.
Rekomendasi
Sebanyak 44 rekomendasi dibuat dalam laporan itu dan, meskipun komisi tersebut mengatakan serangan itu tidak dapat dicegah, laporan merinci kegagalan oleh polisi dan Badan Intelijen Keamanan NZ (NZSIS), yang menunjukkan perlunya perubahan besar.Rebecca Kitteridge, Direktur Jenderal NZSIS, meminta maaf kepada organisasi Muslim yang merasa menjadi sasaran dan diawasi oleh badan keamanan tersebut.
"Bukan itu masalahnya, NZSIS seharusnya lebih baik dalam menjelaskan peran kami kepada komunitas dan mendengarkan keprihatinan mereka. Saya tahu sejumlah orang menganggap ini menjengkelkan dan kepada mereka saya minta maaf,” ucap Kitteridge.
Sekitar 1.168 pernyataan diterima oleh mereka yang menyusun laporan, dengan banyak penyintas mengatakan mereka masih merasa tidak aman saat berdoa dan dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah mengatakan menerima temuan laporan tersebut dan pada prinsipnya menyetujui 44 rekomendasi tersebut. Pemerintah Selandia Baru juga akan menunjuk seorang menteri untuk mengoordinasikan tanggapan pemerintah dan melaksanakan perubahan.
Sementara pelaku penembakan sendiri, Brenton Tarrant menjalani hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Dia dinyatakan bersalah atas pembunuhan 51 orang dan percobaan pembunuhan 40 lainnya di dua masjid kota.
Laporan itu mengatakan Tarrant, seorang warga Australia, telah mengabdikan hidupnya untuk merencanakan serangan itu segera setelah kedatangannya di Selandia Baru pada Agustus 2017.
Dikatakan bahwa dia telah menunjukkan perilaku rasis sejak usia muda, menjadi radikal dengan pandangan sayap kanan yang ekstrim tentang mereka yang dianggapnya sebagai ancaman. Tetapi dia juga digambarkan sebagai seseorang yang menghindari situasi sosial, tidak memiliki teman dekat, dan berperilaku dengan cara yang tidak menimbulkan kecurigaan.
Tarrant diberi lisensi senjata api dalam waktu tiga bulan setelah kedatangannya di Selandia Baru. Tetapi laporan itu mengatakan proses perizinan gagal memenuhi standar, dengan regulasi senjata semi-otomatis yang digambarkan longgar, terbuka untuk dieksploitasi dan dipermainkan olehnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id