“Dia juga selalu memanggil saya ‘Sir’ atau Pak, walau saya sudah berulangkali mengatakan, ‘mahasiswa kami sudah biasa memanggil para dosen dengan nama depan kami’,” imbuh Loo.
Loo juga melontarkan pujian kepada anak bungsu dari empat bersaudara itu. "Dia ingin memaksimalkan pembelajarannya selama berada di sini. Dia selalu sangat sopan dan hormat, Anda dapat melihat bahwa teman-temannya sangat mengaguminya. Setelah kelas usai, dia selalu mendekati saya untuk diskusi lebih lanjut,” tambah Dr Loo.
KRI Nanggala-402 kandas pada 21 April dan hingga saat ini pencarian terhadap KRI Nanggala masih berlangsung. Beberapa angkatan laut negara sahabat memberikan bantuan, di antaranya Malaysia, Singapura, Australia, dan India serta Amerika Serikat (AS). Singapura pun mengirimkan kapal MV Swift Rescue untuk membantu pencarian.
Namun pencarian berakhir dengan duka. Panglima TNI Jenderal Marsekal Hadi Tjahanto pada Minggu 25 April, memastikan seluruh awak kapal KRI Nanggala-402 gugur.
Baca: Jokowi: Awak Nanggala-402 Patriot Penjaga Kedaulatan Negara.
Seperti staf dan alumni lain di RSIS, Prof Mukherjee mengetahui bahwa Letkol Heri Oktavian berada di kapal selam sekitar 24 jam setelah tersiar kabar bahwa KRI Nanggala-402 hilang.
"Kami berharap tanpa kepastian bahwa kru akan diselamatkan. Rekan-rekannya masih memproses keterkejutan dan trauma akan kehilangan ini. Rasanya seperti kehidupan dan karier yang menjanjikan terlalu cepat dipotong," kata Prof Mukherjee.
Saat staf dan fakultas terus berdamai dengan kematian Letkok Heri, Dr Loo menemukan kenyamanan dalam percakapan yang dia ingat dengan mantan mahasiswanya.
"Saya bertanya kepada Heri, 'Mengapa Anda bergabung dengan angkatan laut Indonesia', dan dia berkata: 'Saya jatuh cinta dengan angkatan laut dan laut,” sebut Loo.
“Saya berpikir bahwa bahkan pada saat-saat terakhir, dia meninggal karena melakukan apa yang paling dia sukai,” pungkas Loo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News