Baca: Ribuan Warga Thailand Desak Reformasi Pemerintahan.
Para pengunjuk rasa semakin berani selama dua bulan demonstrasi menentang monarki Thailand dan pemerintahan yang didominasi militer. Hal ini melanggar tabu lama tentang mengkritik monarki - yang ilegal di bawah undang-undang lese majeste.
Raja Maha Vajiralongkorn yang menghabiskan sebagian besar waktunya di Eropa, tidak ada di Thailand sekarang.
Para demonstran diblokir oleh ratusan polisi tak bersenjata yang menjaga penghalang kontrol kerumunan.
Pemimpin protes menyatakan kemenangan setelah menyerahkan surat kepada polisi yang merinci tuntutan mereka. Phakphong Phongphetra, kepala Biro Polisi Metropolitan mengatakan, surat itu akan diserahkan ke markas besar polisi untuk memutuskan bagaimana melanjutkannya.
“Kemenangan terbesar kami dalam dua hari ini menunjukkan bahwa orang biasa seperti kami dapat mengirim surat kepada bangsawan,” ujar Parit ‘Penguin’ Chiwarak, kepada massa sebelum bubar, seperti dikutip BBC, Senin 21 September 2020.
Pada demonstrasi terbesar dalam beberapa tahun, puluhan ribu pengunjuk rasa pada Sabtu menyerukan untuk reformasi monarki serta untuk mencopot Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Mereka juga menuntut konstitusi dan dilakukannya pemilihan umum baru.
Protes menyebar
Protes diadakan di kota-kota besar di seluruh dunia, termasuk London, Tokyo, New York dan di luar hotel di Jerman tempat tinggal Raja Thailand.Di Sydney, Australia, pengunjuk rasa berkumpul di Balai Kota dengan plakat bertuliskan "raja harus di bawah hukum" dan "beri tahu mereka untuk tidak melakukan kudeta". Pidato berkisar dari pelanggaran dalam sistem pendidikan, kecaman terhadap kediktatoran, hingga seruan kepada pemerintah Australia untuk menekan Thailand atas pelanggaran hak asasi manusia.
Di bawah pembatasan covid-19, aksi demo dibatasi hingga 20 pedemo sekaligus. Tetapi penyelenggara senang dengan dukungan yang mereka dapatkan.
Akademisi yang diasingkan Pavin Chachavalpongpun mengirim pesan kepada pengunjuk rasa Australia dari Jepang. Pavin selama ini menyuarakan kritikan terhadap monarki lewat komunitas Facebook Royalist Marketplace-nya memiliki 1,4 juta anggota dan berbagi informasi tentang monarki.
Pavin mengatakan, kepada Herald dan The Age pada Minggu bahwa para pengunjuk rasa berani dan secara konsisten meningkatkan standar untuk diskusi tentang monarki. Tetapi terlalu dini untuk melihat perubahan abadi apa yang akan dihasilkan dari gerakan tersebut.
"Apa yang raja kuasai pada dasarnya adalah mengabaikan, berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa," ucap Pavin.
"Jadi, saya sangat menghargai dan memuji keberanian mereka, ini baru setengah jalan. Ketika kita melihat reformasi telah terwujud, mungkin kita bisa memberi selamat kepada mereka,” tegas Pavin.
Lebih lanjut Pavin mengatakan platformnya telah menunjukkan pembicaraan tentang monarki bisa menjadi normal di negara di mana ia sering dirahasiakan. Hal ini telah membantu menetapkan standar baru untuk membahas lembaga yang dilindungi oleh undang-undang kejam.
"Saya berharap saya menjadi bagian dari orang-orang ini dan sedikit lebih muda. Ketika saya mulai ada begitu banyak kendala, sampai-sampai saya tidak bisa pulang. Itu salah satu konsekuensi utama. Jika saya bisa pulang dan masih sedikit lebih muda, saya berharap saya memiliki keberanian yang sama,” tuturnya.
Pavin berharap banyaknya protes tidak hanya memberi warga Thailand di luar negeri rasa memiliki secara politik, tetapi juga mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kembali hubungan mereka dengan Thailand.
"Kebisingan yang datang dari luar negeri akan menjadi alasan yang baik bagi pemerintah, terutama pemerintah Barat. Mereka harus memikirkan dengan hati-hati kebijakan mereka terhadap rezim saat ini dan juga raja,” pungkas Pavin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News