Pelaksanaan pemilu diduga menjadi alasan kuat dari pihak militer melakukan penahanan terhadap Aung San Suu Kyi. Pada pemilu 8 November 2020 lalu, kubu Suu Kyi melakukan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memimpin dengan angka mendominasi.
Baca: Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi Ditahan.
NLD memenangkan 83 persen kursi yang tersedia dalam pemilihan. Namun banyak pihak mengganggap ini sebagai referendum terhadap pemerintahan sipil Suu Kyi. Pemilu November hanyalah pemilu kedua sejak berakhirnya kekuasaan militer pada 2011.
Namun militer membantah hasil tersebut, mengajukan pengaduan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.
Ketakutan akan kudeta meningkat setelah militer baru-baru ini mengancam akan "mengambil tindakan" atas dugaan penipuan. Komisi pemilihan pun telah menolak tuduhan tersebut.
Selama berminggu-minggu, militer yang masih kuat menuduh ketidakberesan pemilih yang meluas dalam pemilihan November, NLD. Partai itu merebut 396 dari 476 kursi parlemen dan memungkinkannya untuk membentuk pemerintahan selama lima tahun lagi. Sementara Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung militer hanya memenangkan 33 kursi.
Militer telah meminta pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum untuk meninjau hasil tersebut. Mereka mengatakan telah menemukan 8,6 juta penyimpangan dalam daftar pemilih di 314 kota kecil yang bisa membuat pemilih memberikan banyak suara atau melakukan "malapraktek pemungutan suara" lainnya.
Tetapi komisi pemilu pada 28 Januari 2020 mengatakan bahwa tidak ada bukti untuk mendukung klaim tersebut. Pihak komisi menegaskan bahwa pemilihan itu bebas, adil dan kredibel, dan memiliki cerminan keinginan rakyat".
Sementara komisi juga membantah tuduhan penipuan pemilih. Mereka mengakui ‘kekurangan’ dalam daftar pemilih pada pemilihan sebelumnya, dan mengatakan saat ini sedang menyelidiki total 287 pengaduan.
Seruan militer untuk verifikasi daftar pemilih terus meningkat. Namun juru bicara militer pada 26 Januari menolak untuk mengesampingkan kemungkinan pengambilalihan militer untuk menangani apa yang dia sebut sebagai krisis politik.
Baca: Presiden Myanmar Juga Ditahan di Tengah Kekhawatiran Kudeta.
Anggota parlemen yang baru terpilih direncanakan mulai duduk di parlemen pada 1 Februari, dan keamanan di Ibu Kota Naypyidaw ketat pada Jumat pekan lalu. Polisi tampak melakukan penjagaan jalan dengan pagar dan kawat berduri.
Ketakutan meningkat setelah panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing tampaknya menggemakan sentimen pada Rabu 27 Januari. Sosok yang bisa dikatakan orang paling kuat di militer Myanmar ini mengatakan, konstitusi negara dapat "dicabut" dalam keadaan tertentu.
“Konstitusi adalah ibu hukum untuk semua hukum. Jadi kita semua harus mematuhi konstitusi. Jika tidak mengikuti hukum, maka hukum tersebut harus dicabut. Jika itu konstitusi, maka perlu mencabut konstitusi,” katanya saat itu kepada pejabat senior dalam pidatonya.
Retorika kudeta bukan sekadar gertakan atau ancaman kosong. Analis politik Soe Myint Aung mengatakan tentara melihat "celah besar dalam konstitusi yang menyebabkan kerugiannya".
“Bahkan jika ia tidak mengatur pengambilalihan kekuasaan yang sepenuhnya matang, kemungkinan militer akan mengambil tindakan kecuali (komisi pemilihan) dan pemerintah memperbaiki keluhan terkait pemilihan,” tegas Myint Aung.
Pemungutan suara pada November hanyalah pemilihan demokratis kedua yang dilakukan Myanmar sejak keluar dari tirai kediktatoran militer selama 49 tahun. Pemerintah sipil telah membuat perjanjian pembagian kekuasaan yang tidak nyaman dengan para jenderal militer sejak saat itu.
Namun kini Aung San Suu Kyi dihadapkan pada penangkapan dari pihak militer. Langkah dari militer itu diperkirakan sebagai tindakan kudeta, di mana penahanan juga dialami oleh Presiden Win Myint dan beberapa petinggi NLD lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News