FITNESS & HEALTH
KLB: 7 Anak Garut Meninggal Dunia karena Virus Difteri, Ini Gejala dan Cara Mengatasinya
Mia Vale
Rabu 22 Februari 2023 / 23:50
Jakarta: Hanya dalam rentang waktu berkisar dua minggu (6-19 Februari 2023), tujuh orang warga Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut meninggal dunia. Kematian ini diduga karena mereka terinfeksi virus difteri.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Tim Surveilans Dinkes Jabar, Dewi Ambarwati, pada Selasa, 21 Februari 2023. Dan dari kejadian ini Kabupaten Garut menetapkan difteri sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sementara itu, dinukil dari berita Medcom.id sebelumnya, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI meminta pemerintah daerah dan masyarakat untuk menerapkan sejumlah langkah demi mencegah penularan difteri meluas.
Dinas kesehatan DKI Jakarta pun memperketat pengawasan terhadap potensi penularan penyakit difteri ini setelah penyakit ini ditetapkan sebagai KLB di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Nah, ada baiknya kita mengenal lebih jauh sepak terjang penyakit difteri ini yang dianggap lebih berbahaya namun tidak sekuat covid-19.
Pada dasarnya, difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan bisa mengancam jiwa, jika tidak ditangani dengan cermat. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang.
Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.
Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti gelas atau sendok. Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap.
Umumnya, gejala difteri muncul dua sampai lima hari setelah seseorang terinfeksi. Tapi, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala.
Kalaupun muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita. Selain itu, melansir dari laman Alodokter, gejala lain yang bisa muncul meliputi:
Untuk memastikan adanya lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandel, dokter akan melakukan pemeriksaan usap atau swab tenggorok. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari tenggorok pasien yang kemudian diteliti di laboraturium.
.jpg)
(Dengan memberikan imunisasi difteri dan tetanus (DT), Moms bisa memberikan perlindungan sempurna bagi anak terhadap risiko penularan difteri serta tetanus. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak jaringan di hidung dan tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan. Pun bisa menyebar melalui aliran darah dan menyerang berbagai organ.
Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin. Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah mendapat pengobatan.
Untuk itu, sebelum terinfeksi difteri, ada baiknya bila masyarakat melakukan beberapa upaya pencegahan, antara lain:s
Pastikan anak menerima imunisasi DPT dimana pemberiannya bisa dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Vaksin DPT merupakan salah satu imunisasi yang wajib diberikan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta usia 5 tahun.
Bila anak belum divaksin DPT, konsultasikan dengan dokter. Apalagi bila si kecil sudah berusia lebih dari tujuh tahun. Dokter akan memberikan vaksin Tdap.
Selain untuk mengatasi difteri, antibiotik juga dapat diberikan pada orang yang kontak dekat dengan penderita sebagai pencegahan.
Dr. Nadia menjelaskan penanganan difteri agar KLB tidak meluas diantaranya puskemas membuat posko KLB Difteri di lokasi.
Satu lagi, pembatasan aktivitas di luar rumah bagi yang sakit, tetap melakukan protokol kesehatan terutama di daerah/lokasi KLB dengan menjaga jarak dan penggunaan masker.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Hal ini disampaikan oleh Ketua Tim Surveilans Dinkes Jabar, Dewi Ambarwati, pada Selasa, 21 Februari 2023. Dan dari kejadian ini Kabupaten Garut menetapkan difteri sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sementara itu, dinukil dari berita Medcom.id sebelumnya, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan RI meminta pemerintah daerah dan masyarakat untuk menerapkan sejumlah langkah demi mencegah penularan difteri meluas.
Dinas kesehatan DKI Jakarta pun memperketat pengawasan terhadap potensi penularan penyakit difteri ini setelah penyakit ini ditetapkan sebagai KLB di Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Nah, ada baiknya kita mengenal lebih jauh sepak terjang penyakit difteri ini yang dianggap lebih berbahaya namun tidak sekuat covid-19.
Penyebab dan faktor risiko difteri
Pada dasarnya, difteri tergolong penyakit menular berbahaya dan bisa mengancam jiwa, jika tidak ditangani dengan cermat. Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, yang dapat menyebar dari orang ke orang.
Seseorang bisa tertular difteri bila tidak sengaja menghirup atau menelan percikan air liur yang dikeluarkan penderita saat batuk atau bersin.
Penularan juga bisa terjadi jika menyentuh benda yang sudah terkontaminasi air liur penderita, seperti gelas atau sendok. Difteri dapat dialami oleh siapa saja. Namun, risiko terserang difteri akan lebih tinggi pada orang yang tidak mendapat vaksin difteri secara lengkap.
Lapisan tipis berwarna abu-abu
Umumnya, gejala difteri muncul dua sampai lima hari setelah seseorang terinfeksi. Tapi, tidak semua orang yang terinfeksi difteri mengalami gejala.
Kalaupun muncul gejala, biasanya berupa terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel penderita. Selain itu, melansir dari laman Alodokter, gejala lain yang bisa muncul meliputi:
- - Sakit tenggorokan
- - Suara serak
- - Batuk
- - Pilek
- - Demam
- - Menggigil
- - Lemas
- - Muncul benjolan di leher akibat pembengkakan kelenjar getah bening
Untuk memastikan adanya lapisan abu-abu di tenggorokan atau amandel, dokter akan melakukan pemeriksaan usap atau swab tenggorok. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sampel lendir dari tenggorok pasien yang kemudian diteliti di laboraturium.
.jpg)
(Dengan memberikan imunisasi difteri dan tetanus (DT), Moms bisa memberikan perlindungan sempurna bagi anak terhadap risiko penularan difteri serta tetanus. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Bisa terjadi komplikasi
Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak jaringan di hidung dan tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan. Pun bisa menyebar melalui aliran darah dan menyerang berbagai organ.
Difteri bisa menimbulkan komplikasi, seperti:
- - Radang otot jantung
- - Pneumonia atau infeksi paru-paru
- - Gagal ginjal
- - Kerusakan saraf
- - Kelumpuhan
Jangan anggap sepele difteri!
Difteri tergolong penyakit serius dan harus diatasi sesegera mungkin. Menurut data statistik, 1 dari 10 pasien difteri meninggal dunia meski telah mendapat pengobatan.
Untuk itu, sebelum terinfeksi difteri, ada baiknya bila masyarakat melakukan beberapa upaya pencegahan, antara lain:s
- Imunisasi DPT
Pastikan anak menerima imunisasi DPT dimana pemberiannya bisa dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Vaksin DPT merupakan salah satu imunisasi yang wajib diberikan pada usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta usia 5 tahun.
- Konsultasi dengan dokter
Bila anak belum divaksin DPT, konsultasikan dengan dokter. Apalagi bila si kecil sudah berusia lebih dari tujuh tahun. Dokter akan memberikan vaksin Tdap.
- Antibiotik
Selain untuk mengatasi difteri, antibiotik juga dapat diberikan pada orang yang kontak dekat dengan penderita sebagai pencegahan.
Dr. Nadia menjelaskan penanganan difteri agar KLB tidak meluas diantaranya puskemas membuat posko KLB Difteri di lokasi.
Satu lagi, pembatasan aktivitas di luar rumah bagi yang sakit, tetap melakukan protokol kesehatan terutama di daerah/lokasi KLB dengan menjaga jarak dan penggunaan masker.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)