FITNESS & HEALTH

Pertama Di Indonesia, Revolusi Tata Laksana Fibrilasi Atrium dengan Teknologi FPA

Aulia Putriningtias
Kamis 02 Januari 2025 / 16:39
Jakarta: Penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Sejalan dengan tingginya angka pasien dan juga kematian, teknologi untuk tekan angka tersebut juga perlu terevolusi.

Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada tahun 2023, penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung, merupakan penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Angkanya mencapai 19,42 persen.

Bukan hanya jantung koroner yang menyumbang, tetapi juga gangguan irama jantung (aritmia). Aritmia yang paling banyak ditemukan pada pasien adalah fibrilasi atrium (FA).
 

Apa itu fibrilasi atrium (FA)?


Fibrilasi atrium adalah kondisi ketika serambi (atrium) jantung berdenyut sangat cepat dan tidak beraturan. Normalnya, jantung akan berdenyut sekitar 60-100 kali per menit saat kita sedang santai, tetapi pada FA, serambi jantung bisa berdenyut lebih dari 400 kali per menit.

Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah dan gagal jantung. Penggumpalan darah yang terbentuk dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Pasien FA mempunyai risiko 4-5 kali lipat terjadinya stroke dibanding pasien yang bukan FA.

Tak hanya itu, denyut serambi jantung yang supercepat dan tidak teratur meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung. Hal ini tentunya meningkatkan mortalitas pasien FA.

Fibrilasi atrium di Indonesia sendiri juga tak dapat dianggap remeh. Diperkirakan angka penderitanya berjumlah tiga juta pasien. Prevalensinya pun akan terus meningkat jika tak ditangani dengan serius.
 

Bagaimana tata laksana penanganan fibrilasi atrium (FA)?


Tata laksana fibrilasi atrium (FA) meliputi terapi obat-obatan (medikamentosa), kontrol faktor risiko, dan kateter ablasi. Pasien yang tidak mempan dengan obat-obatan, perlu dilakukan tindakan kateter ablasi untuk mencegah memburuknya fungsi pompa jantung (gagal jantung), menurunkan risiko stroke dan memperpanjang usia pasien.

Kateter ablasi adalah tindakan invasif minimal non-bedah menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah di paha. Kemudian, didorong ke dalam jantung untuk mengidentifikasi dan mematikan sumber aritmianya.

Secara umum tindakan kateter ablasi dapat dilakukan menggunakan ablasi thermal dan non-thermal. Ablasi thermal dapat menggunakan energi radiofrekuensi, yaitu energi panas untuk menciptakan lesi, atau energi krio (cryo) yang menggunakan energi dingin untuk membekukan jaringan. 


("Pulsed Field Ablation (PFA) adalah sebuah game changer dalam pengobatan fibrilasi atrium," jelas dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), PhD, selaku ahli aritmia di Heartology. Foto: Dok. Istimewa)

Teknologi ablasi non-thermal sendiri, yang saat ini banyak digunakan di seluruh dunia adalah pulsed-field ablation (PFA). Teknologi ini bekerja melalui proses electroporation, yaitu pengiriman gelombang listrik pendek yang membuka pori-pori membran sel. 

Hal ini membuat jaringan yang ditargetkan dapat dihancurkan dengan aman tanpa memengaruhi jaringan lainnya. Oleh karena sifat terapinya yang selektif seperti ini, maka tindakan ablasi dengan PFA ini lebih cepat, lebih efektif dan lebih aman bagi pasien.

Baca juga: Pentingnya 5 Menit Golden Period dalam Serangan Jantung
 

Heartology jadi rumah sakit pertama di Indonesia yang hadirkan teknologi PFA


Revolusi tata laksana fibrilasi atrium (FA) dengan teknologi Pulsed Field Ablation (PFA) pun kini hadir di Indonesia. Heartology Cardiovascular Hospital jadi rumah sakit pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi ini dalam penangannya.

"Pulsed Field Ablation (PFA) adalah sebuah game changer dalam pengobatan fibrilasi atrium. Tidak hanya teknologi ini membawa standar baru dalam efektivitas pengobatan, tetapi juga menempatkan kenyamanan dan keamanan pasien sebagai prioritas utama," jelas dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), PhD, selaku ahli aritmia di Heartology kepada tim Medcom.id, Kamis, 2 Januari 2024.

Tindakan ablasi dengan teknologi PFA ini dinilai lebih cepat, lebih efektif, dan lebih aman bagi pasien. Seperti Heartology melakukan penanganan pasien dengan FA pada 28 Desember 2024 kemarin, dengan seorang pasien, usia 65 tahun, dari Sumatera Barat.

Dr. Sunu mengatakan bahwa pasien mengalami keluhan berdebar, dada tidak nyaman, dan mudah lelah. Sebelumnya, pasien sudah menjalani pengobatan FA di kota asal, tetapi belum juga dinyatakan sembuh. Akhirnya, pasien dirujuk ke Heartology untuk ditangani dengan teknologi PFA.

"Dengan teknologi ini, kami berusaha memberikan pengalaman perawatan yang lebih baik bagi setiap pasien,” imbuh dr. Sunu.

Per 2 Januari 2024, dr. Sunu mengatakan kondisi pasien dalam kondisi baik dengan irama jantung yang normal. Pasien telah pulang sejak 30 Desember 2024 dan melakukan kontrol rutin 1 minggu pasca tindakan hingga 3 bulan ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(TIN)

MOST SEARCH