FITNESS & HEALTH
Kemenkes Sebut Dampak Anemia Terbesar adalah Stunting
Medcom
Kamis 01 Desember 2022 / 12:10
Jakarta: Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan bahwa dampak anemia terbesar yang bisa dialami adalah stunting. Stunting sendiri memang merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang masih terjadi.
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama, paparan infeksi berulang, dan kurang stimulasi. Bayi yang stunting sendiri dipengaruhi oleh banyak hal.
Ketua Tim Kerja Pemberdayaan dan Penggerakan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dwi Adi Maryandi, SKM, MPH., menyebut bahwa sebanyak 23 persen bayi di Indonesia sudah lahir dalam keadaan stunting.
Pengaruh dari bayi mengalami stunting adalah status kesehatan remaja, ibu hamil, pola makan balita, ekonomi, dan budaya. Tidak hanya itu, faktor lingkungan seperti sanitasi dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga berpengaruh.
Anemia menjadi salah satu penyebab dari munculnya bayi lahir mengalami stunting. Berdasarkan Hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi anemia meningkat dari 21,7% (2013) menjadi 23,7% (2018) dari total populasi di Indonesia.
Pada 2018, 3 dari 10 remaja Indonesia menderita penyakit anemia, dan 62.6% kasus anemia yang terjadi disebabkan oleh kekurangan zat besi. Prevalensi anemia di Indonesia sebesar 48,9% pada ibu hamil dan 38,5% pada anak di bawah 5 tahun. Bahkan lebih tinggi pada remaja usia 12-18 tahun.
Anemia bisa disebabkan oleh banyak hal, dan salah satu penyebab yang paling banyak terjadi adalah akibat kekurangan zat besi. Efek awalnya memang 5L, yaitu lesu, lelah, letih, lemah, lunglai. Namun, jika dibiarkan akan menyebabkan hal yang serius seperti stunting.
“Pemerintah telah merekomendasikan beberapa upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang dilakukan dengan memberikan asupan zat besi yang cukup ke dalam tubuh untuk meningkatkan hemoglobin,” kata Dwi pada konferensi pers “Jangan Cuek, Ayo Cek Gejala Kurang Darah”, Rabu, 30 November 2022.
Pemerintah juga sudah melakukan AKSI BERGIZI pada Oktober lalu, dengan melakukan imbauan mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) kepada remaja dan ibu hamil.
“Kementerian Kesehatan RI juga mendorong adanya gerakan aksi bergizi dalam mengupayakan konsumsi TTD menjadi bagian di sekolah terutama siswi SMP dan SMA atau sederajat,” jelasnya.
Dwi juga menambahkan, selain upaya di atas, Kemenkes juga mendorong masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan. Karena dengan pemeriksaan lebih lanjut, masyarakat bisa langsung berkonsultasi kepada ahlinya.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kurang gizi dalam jangka waktu lama, paparan infeksi berulang, dan kurang stimulasi. Bayi yang stunting sendiri dipengaruhi oleh banyak hal.
Ketua Tim Kerja Pemberdayaan dan Penggerakan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, Dwi Adi Maryandi, SKM, MPH., menyebut bahwa sebanyak 23 persen bayi di Indonesia sudah lahir dalam keadaan stunting.
Pengaruh dari bayi mengalami stunting adalah status kesehatan remaja, ibu hamil, pola makan balita, ekonomi, dan budaya. Tidak hanya itu, faktor lingkungan seperti sanitasi dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga berpengaruh.
Anemia menjadi salah satu penyebab dari munculnya bayi lahir mengalami stunting. Berdasarkan Hasil Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), prevalensi anemia meningkat dari 21,7% (2013) menjadi 23,7% (2018) dari total populasi di Indonesia.
Pada 2018, 3 dari 10 remaja Indonesia menderita penyakit anemia, dan 62.6% kasus anemia yang terjadi disebabkan oleh kekurangan zat besi. Prevalensi anemia di Indonesia sebesar 48,9% pada ibu hamil dan 38,5% pada anak di bawah 5 tahun. Bahkan lebih tinggi pada remaja usia 12-18 tahun.
Anemia bisa disebabkan oleh banyak hal, dan salah satu penyebab yang paling banyak terjadi adalah akibat kekurangan zat besi. Efek awalnya memang 5L, yaitu lesu, lelah, letih, lemah, lunglai. Namun, jika dibiarkan akan menyebabkan hal yang serius seperti stunting.
“Pemerintah telah merekomendasikan beberapa upaya pencegahan dan penanggulangan anemia yang dilakukan dengan memberikan asupan zat besi yang cukup ke dalam tubuh untuk meningkatkan hemoglobin,” kata Dwi pada konferensi pers “Jangan Cuek, Ayo Cek Gejala Kurang Darah”, Rabu, 30 November 2022.
Pemerintah juga sudah melakukan AKSI BERGIZI pada Oktober lalu, dengan melakukan imbauan mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) kepada remaja dan ibu hamil.
“Kementerian Kesehatan RI juga mendorong adanya gerakan aksi bergizi dalam mengupayakan konsumsi TTD menjadi bagian di sekolah terutama siswi SMP dan SMA atau sederajat,” jelasnya.
Dwi juga menambahkan, selain upaya di atas, Kemenkes juga mendorong masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan. Karena dengan pemeriksaan lebih lanjut, masyarakat bisa langsung berkonsultasi kepada ahlinya.
Aulia Putriningtias
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)