FITNESS & HEALTH
Laporan Future Health Index 2025 Philips Ungkap Kuatnya Optimisme Terhadap AI
Yatin Suleha
Rabu 23 Juli 2025 / 19:38
Jakarta: Royal Philips pemimpin global di bidang teknologi kesehatan, hari ini merilis temuan dari Indonesia dalam laporan tahunan Future Health Index (FHI) yang ke-10 — sebuah survei terbesar di bidangnya.
Menggali wawasan dari tenaga kesehatan profesional dan pasien di 16 negara, termasuk Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik (APAC), laporan ini mengeksplorasi bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan inovasi digital dapat membantu meningkatkan akses layanan kesehatan, hasil perawatan, dan ketahanan sistem layanan kesehatan.
Baca juga: Philips FHI 2023: Harapan Besar untuk Model Pemberian Perawatan Kesehatan Baru
Seiring percepatan transformasi digital di sektor kesehatan Indonesia, temuan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling optimis terhadap peran AI dalam layanan kesehatan.
Namun, di balik optimisme tersebut, temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya kepercayaan, edukasi, dan desain inklusif untuk memastikan implementasi yang sukses dan merata.
“AI memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan akses layanan, mempersingkat waktu tunggu, dan meringankan beban tenaga medis,” ujar Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia.
“Untuk mewujudkan potensi tersebut, kita harus merancang dengan empati, membangun kepercayaan, dan memastikan implementasi yang bertanggung jawab demi memenuhi kebutuhan pasien dan tenaga kesehatan.”
Sistem kesehatan Indonesia terus menghadapi peningkatan permintaan dan kekurangan tenaga medis spesialis. Indonesia hanya mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis baru per tahun, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 29.000.
Dampak ketidakseimbangan ini terlihat jelas, 77% pasien mengalami waktu tunggu yang lama untuk bertemu spesialis, dan 1 dari 3 pasien (33%) bahkan mengalami keterlambatan untuk mendapatkan perawatan umum.
Jauh lebih kritis, 51% pasien melaporkan kondisi kesehatan mereka memburuk karena tidak dapat segera mengakses layanan kesehatan tepat waktu, dan 45% dirawat di rumah sakit akibat hal tersebut.
(1).JPG)
(Ki-ka_ dr. Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK) - Presiden Direktur, Mandaya Hospital Group; Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K), MARS - Direktur Utama, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia, dan Setiaji, S.T., M.Si, Staf Ahli Bidang TTDK Kemenkes. Foto: Dok. Istimewa)
Terlepas dari tantangan ini, baik tenaga kesehatan maupun pasien di Indonesia menyatakan keyakinan yang kuat terhadap potensi AI untuk meningkatkan layanan kesehatan. Optimisme ini melampaui rata-rata di APAC dan global.
Menurut survei, 84% tenaga kesehatan dan 74% pasien menganggap AI dapat meningkatkan layanan kesehatan.
Di antara mereka, 85% tenaga kesehatan mengatakan analitik prediktif berteknologi AI dapat membantu menyelamatkan nyawa dengan memungkinkan intervensi dini, dan 73% percaya teknologi digital akan mengurangi rawat inap di masa mendatang.
Namun, laporan ini juga mengidentifikasi tantangan alur kerja yang masih berlangsung. Lebih dari separuh (56%) melaporkan bahwa mereka menghabiskan lebih sedikit waktu dengan pasien dan lebih banyak waktu untuk tugas administratif dibandingkan 5 tahun lalu.
Sebanyak 62% tenaga kesehatan juga mengatakan mereka kehilangan waktu klinis karena data yang terfragmentasi atau tidak dapat diakses.
Seperlima (18%) tenaga kesehatan kehilangan lebih dari 45 menit per shift, yang berarti hampir satu bulan penuh (23 hari kerja) waktu klinis hilang per tahun.
Tanpa adopsi AI yang bermakna, 57% tenaga kesehatan memperkirakan akan terjadi penumpukan pasien yang semakin parah, 49% memperkirakan hilangnya peluang untuk intervensi dini, dan 46% memperkirakan tingkat kelelahan (burnout) yang lebih tinggi.
Temuan ini menyoroti kesenjangan kritis antara pengembangan teknologi dan realitas klinis sehari-hari.
Meskipun 79% tenaga kesehatan terlibat dalam pengembangan solusi digital, hanya 41% yang percaya bahwa perangkat teknologi ini disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam keseharian mereka.
Pendorong utama untuk membangun kepercayaan mencakup pada kejelasan tentang tanggung jawab hukum (46%), akses ke dukungan TI yang andal (43%), dan panduan penggunaan yang jelas (37%).
Tenaga kesehatan juga ingin memahami lebih lanjut tentang bagaimana AI digunakan, terutama pemantauan berkelanjutan pada sistem AI (35%), jaminan tentang keamanan data (32%), dan memastikan bias data serta masalah kualitas data ditangani (31%).
Menariknya, hanya 17% yang menyebut keamanan kerja sebagai faktor untuk membangun kepercayaan — sebuah sinyal bahwa sebagian besar tenaga kesehatan memandang AI sebagai pendukung, jika perlindungan tepat diterapkan.
Dari perspektif pasien, kekhawatiran berpusat pada komunikasi dan hasil layanan. Meskipun 82% responden menyatakan dukungan terhadap peningkatan teknologi dalam layanan kesehatan jika dapat meningkatkan perawatan, 54% khawatir teknologi akan mengurangi interaksi tatap muka dengan dokter.
Privasi data menjadi perhatian utama, dengan 38% pasien menyatakan bahwa mengetahui informasi mereka akan tetap aman sangat penting untuk merasa lebih nyaman dengan AI.
Hal ini juga berlaku bagi mereka yang lebih familiar dengan AI (42%), menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap AI tidak selalu dapat mengurangi rasa cemas.
Pasien di Indonesia juga beralih ke sumber informasi kesehatan baru. Meskipun mereka masih paling percaya pada tenaga kesehatan profesional dalam menerima informasi tentang AI, 82% responden menyatakan akan merasa lebih nyaman jika mereka mendengarnya dari media sosial.
Hal ini menyoroti semakin besarnya pengaruh platform seperti Instagram dan TikTok, serta peran tenaga kesehatan profesional dalam membentuk ruang digital terpercaya.
Baca juga: Laporan Philips FHI 2023: Sektor Kesehatan di Wilayah APAC Terapkan Model Perawatan Baru
Hal ini menandakan peningkatan kebutuhan dalam memastikan integritas informasi, terutama di daerah terpencil, serta mendukung dokter sebagai perantara tepercaya dalam adopsi AI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)
Menggali wawasan dari tenaga kesehatan profesional dan pasien di 16 negara, termasuk Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik (APAC), laporan ini mengeksplorasi bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan inovasi digital dapat membantu meningkatkan akses layanan kesehatan, hasil perawatan, dan ketahanan sistem layanan kesehatan.
Baca juga: Philips FHI 2023: Harapan Besar untuk Model Pemberian Perawatan Kesehatan Baru
Seiring percepatan transformasi digital di sektor kesehatan Indonesia, temuan ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara paling optimis terhadap peran AI dalam layanan kesehatan.
Namun, di balik optimisme tersebut, temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya kepercayaan, edukasi, dan desain inklusif untuk memastikan implementasi yang sukses dan merata.
“AI memiliki potensi luar biasa untuk meningkatkan akses layanan, mempersingkat waktu tunggu, dan meringankan beban tenaga medis,” ujar Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia.
“Untuk mewujudkan potensi tersebut, kita harus merancang dengan empati, membangun kepercayaan, dan memastikan implementasi yang bertanggung jawab demi memenuhi kebutuhan pasien dan tenaga kesehatan.”
Tekanan yang meningkat pada sistem kesehatan Indonesia
Sistem kesehatan Indonesia terus menghadapi peningkatan permintaan dan kekurangan tenaga medis spesialis. Indonesia hanya mencetak sekitar 2.700 dokter spesialis baru per tahun, sementara kebutuhan nasional diperkirakan mencapai 29.000.
Dampak ketidakseimbangan ini terlihat jelas, 77% pasien mengalami waktu tunggu yang lama untuk bertemu spesialis, dan 1 dari 3 pasien (33%) bahkan mengalami keterlambatan untuk mendapatkan perawatan umum.
Jauh lebih kritis, 51% pasien melaporkan kondisi kesehatan mereka memburuk karena tidak dapat segera mengakses layanan kesehatan tepat waktu, dan 45% dirawat di rumah sakit akibat hal tersebut.
AI dipandang sebagai solusi utama, namun kesenjangan masih ada
(Ki-ka_ dr. Benedictus Reinaldo Widaja, MBChB (UK) - Presiden Direktur, Mandaya Hospital Group; Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K), MARS - Direktur Utama, Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita, Astri Ramayanti Dharmawan, Presiden Direktur Philips Indonesia, dan Setiaji, S.T., M.Si, Staf Ahli Bidang TTDK Kemenkes. Foto: Dok. Istimewa)
Terlepas dari tantangan ini, baik tenaga kesehatan maupun pasien di Indonesia menyatakan keyakinan yang kuat terhadap potensi AI untuk meningkatkan layanan kesehatan. Optimisme ini melampaui rata-rata di APAC dan global.
Menurut survei, 84% tenaga kesehatan dan 74% pasien menganggap AI dapat meningkatkan layanan kesehatan.
Di antara mereka, 85% tenaga kesehatan mengatakan analitik prediktif berteknologi AI dapat membantu menyelamatkan nyawa dengan memungkinkan intervensi dini, dan 73% percaya teknologi digital akan mengurangi rawat inap di masa mendatang.
Namun, laporan ini juga mengidentifikasi tantangan alur kerja yang masih berlangsung. Lebih dari separuh (56%) melaporkan bahwa mereka menghabiskan lebih sedikit waktu dengan pasien dan lebih banyak waktu untuk tugas administratif dibandingkan 5 tahun lalu.
Sebanyak 62% tenaga kesehatan juga mengatakan mereka kehilangan waktu klinis karena data yang terfragmentasi atau tidak dapat diakses.
Seperlima (18%) tenaga kesehatan kehilangan lebih dari 45 menit per shift, yang berarti hampir satu bulan penuh (23 hari kerja) waktu klinis hilang per tahun.
Tanpa adopsi AI yang bermakna, 57% tenaga kesehatan memperkirakan akan terjadi penumpukan pasien yang semakin parah, 49% memperkirakan hilangnya peluang untuk intervensi dini, dan 46% memperkirakan tingkat kelelahan (burnout) yang lebih tinggi.
Kepercayaan, desain, dan edukasi adalah kunci untuk adopsi AI yang bertanggung jawab
Temuan ini menyoroti kesenjangan kritis antara pengembangan teknologi dan realitas klinis sehari-hari.
Meskipun 79% tenaga kesehatan terlibat dalam pengembangan solusi digital, hanya 41% yang percaya bahwa perangkat teknologi ini disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam keseharian mereka.
Pendorong utama untuk membangun kepercayaan mencakup pada kejelasan tentang tanggung jawab hukum (46%), akses ke dukungan TI yang andal (43%), dan panduan penggunaan yang jelas (37%).
Tenaga kesehatan juga ingin memahami lebih lanjut tentang bagaimana AI digunakan, terutama pemantauan berkelanjutan pada sistem AI (35%), jaminan tentang keamanan data (32%), dan memastikan bias data serta masalah kualitas data ditangani (31%).
Menariknya, hanya 17% yang menyebut keamanan kerja sebagai faktor untuk membangun kepercayaan — sebuah sinyal bahwa sebagian besar tenaga kesehatan memandang AI sebagai pendukung, jika perlindungan tepat diterapkan.
Pasien menginginkan layanan yang lebih cepat, terhubung, dan bimbingan yang terpercaya
Dari perspektif pasien, kekhawatiran berpusat pada komunikasi dan hasil layanan. Meskipun 82% responden menyatakan dukungan terhadap peningkatan teknologi dalam layanan kesehatan jika dapat meningkatkan perawatan, 54% khawatir teknologi akan mengurangi interaksi tatap muka dengan dokter.
Privasi data menjadi perhatian utama, dengan 38% pasien menyatakan bahwa mengetahui informasi mereka akan tetap aman sangat penting untuk merasa lebih nyaman dengan AI.
Hal ini juga berlaku bagi mereka yang lebih familiar dengan AI (42%), menunjukkan bahwa pemahaman yang lebih mendalam terhadap AI tidak selalu dapat mengurangi rasa cemas.
Pasien di Indonesia juga beralih ke sumber informasi kesehatan baru. Meskipun mereka masih paling percaya pada tenaga kesehatan profesional dalam menerima informasi tentang AI, 82% responden menyatakan akan merasa lebih nyaman jika mereka mendengarnya dari media sosial.
Hal ini menyoroti semakin besarnya pengaruh platform seperti Instagram dan TikTok, serta peran tenaga kesehatan profesional dalam membentuk ruang digital terpercaya.
Baca juga: Laporan Philips FHI 2023: Sektor Kesehatan di Wilayah APAC Terapkan Model Perawatan Baru
Hal ini menandakan peningkatan kebutuhan dalam memastikan integritas informasi, terutama di daerah terpencil, serta mendukung dokter sebagai perantara tepercaya dalam adopsi AI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)