FITNESS & HEALTH
Menarik! Ibu Penderita HIV juga Bisa Punya Anak Sehat, Ini Rahasianya
Medcom
Selasa 17 Januari 2023 / 18:15
Jakarta: Banyak sekali stigma yang menyatakan bahwa ibu yang mengidap HIV akan menularkan virus HIV pada suami dan menurunkan ke anaknya. Padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena ODHIV dengan viral-load yang rendah, maka risiko penularannya pun sangat rendah.
Ketika ODHIV rutin pengobatan ARV, dan mereka memiliki viral load yang tidak terdeteksi, risiko penularan HIV ke bayinya hanya 0,1% (atau satu dari seribu). Seperti halnya Sari (44 tahun), seorang ibu ODHIV yang memiliki suami non-HIV dan berhasil melahirkan anak non-HIV pula.
Sari menceritakan bahwa dirinya sudah rutin pengobatan ARV sejak 2005 dan menikah pada 2008 hingga memutuskan untuk program hamil pada 2010. Walaupun sudah banyak pengetahuan tentang HIV dan kehamilan, tetapi Sari juga mengalami kendala pada mentalnya.
"Untuk saya sendiri aja yang sudah tahu informasi banyak itu beban mentalnya luar biasa. Ada ketakutan yang seharusnya gak perlu ditakuti tapi takut. Tetep aja kita udah tau informasi banyak begini-begini, tapi tetap aja ada rasa ketakutan dan kita butuh support system," ucap Sari saat wawancara eksklusif dengan Medcom.id.
Sari juga mengatakan bahwa perempuan yang hidup dengan HIV, kehamilan itu benar-benar harus direncanakan. Oleh karena itu, Medcom.id telah merangkum tipsnya untukmu:
Saat ini sudah banyak layanan yang sudah paham dan men-support ODHIV yang ingin melakukan program hamil. Bahkan dengan adanya teknologi kamu sudah bisa mendapatkan informasi secara online atau konsultasi dengan dokter spesialis melalui platform tertentu.
"Saya cari informasi dokter yang ramah HIV, dan kebanyakan konsultasi itu kita pakai untuk diskusi waktu hamil," ungkapnya.
Setiap orang memiliki tekanan dan kekhawatirannya masing-masing, ibu dengan status non-HIV saja bisa merasa khawatir dan butuh dukungan lebih, apalagi seorang ibu dengan penderita HIV. Rasa takut dan kekhawatiran akan muncul sendirinya, sebaiknya kamu mencari support system yang tulus mendukungmu dan rela mendengarkan keluh kesah (selain suami dan keluarga).
"Sebenarnya sih yang harus dipersiapkan tes-tes terkait berapa sih jumlah virus kita, terus CD4 kita berapa itu penting karena jika jumlah virus kita sudah tidak terdeteksi maka peluang menularkannya akan lebih kecilkan. Kalo CD4nya tinggi kita bisa melahirkan normal, jadi secara ekonomi juga agak sedikit terbantu." tambah Sari.
Pintu masuk dan keluar virusnya juga perlu diperhatikan, seperti IMS merupakan pintu masuk virus untuk pasangan, entah Odhiv yang memiliki luka atau pasangannya (non-odhiv) yang mengalami IMS.
"Perhatikan juga permukaan ari-ari, ada luka atau tidak agar tidak memungkinkan virus mendeteksi janin. Jadi janin itu dilindungi sama plasenta ya, kalau plasentanya ada kerusakan itu berarti kita ada peluang pintu masuk virus (pada bayi)," ungkap Sari.
Menurut Sari, selama proses program hamil dan masa kehamilan ia memeriksakan kandungannya selama sebulan sekali, apakah ada perkembangan atau hal yang harus mereka perbaiki.
"Sebaiknya diperiksakan sebulan sekali. Kita kan rentan terhadap penyakit, berbeda dengan perempuan non-HIV, dia kan punya kemampuan CD4nya masih baik. Kalau perempuan HIV kan rentan, jadi disarankan untuk cek rutin sebulan sekali untuk melihat janin dan ari-ari," menurutnya.
Obat ARV merupakan obat rutin yang diminum seumur hidup. Jika penderita mulai lepas akan obat itu, maka viral-load akan bereaksi lebih parah dan membutuhkan obat dengan dosis yang lebih tinggi lagi. ARV merupakan obat yang keras namun jika sudah diminum rutin maka tubuh pasien akan beradaptasi, bahkan ibu hamil tidak diperbolehkan melepas obat ini selama kehamilan.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, ARV tidak berbahaya bagi janin, bahkan sangat dibutuhkan karena bisa menghindari janin dari penularan. Saat bayi sudah terlahir didunia, maka bayi yang lahir dari orang tua ODHIV juga akan diminumkan ARV yang memiliki dosis yang sesuai dengan berat badannya untuk menghindari penularan setelah dilahirkan dan selama menyusui.
Nandhita Nur Fadjriah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Ketika ODHIV rutin pengobatan ARV, dan mereka memiliki viral load yang tidak terdeteksi, risiko penularan HIV ke bayinya hanya 0,1% (atau satu dari seribu). Seperti halnya Sari (44 tahun), seorang ibu ODHIV yang memiliki suami non-HIV dan berhasil melahirkan anak non-HIV pula.
Sari menceritakan bahwa dirinya sudah rutin pengobatan ARV sejak 2005 dan menikah pada 2008 hingga memutuskan untuk program hamil pada 2010. Walaupun sudah banyak pengetahuan tentang HIV dan kehamilan, tetapi Sari juga mengalami kendala pada mentalnya.
"Untuk saya sendiri aja yang sudah tahu informasi banyak itu beban mentalnya luar biasa. Ada ketakutan yang seharusnya gak perlu ditakuti tapi takut. Tetep aja kita udah tau informasi banyak begini-begini, tapi tetap aja ada rasa ketakutan dan kita butuh support system," ucap Sari saat wawancara eksklusif dengan Medcom.id.
Sari juga mengatakan bahwa perempuan yang hidup dengan HIV, kehamilan itu benar-benar harus direncanakan. Oleh karena itu, Medcom.id telah merangkum tipsnya untukmu:
1. Cari tahu informasi kehamilan
Saat ini sudah banyak layanan yang sudah paham dan men-support ODHIV yang ingin melakukan program hamil. Bahkan dengan adanya teknologi kamu sudah bisa mendapatkan informasi secara online atau konsultasi dengan dokter spesialis melalui platform tertentu.
"Saya cari informasi dokter yang ramah HIV, dan kebanyakan konsultasi itu kita pakai untuk diskusi waktu hamil," ungkapnya.
2. Cari support system
Setiap orang memiliki tekanan dan kekhawatirannya masing-masing, ibu dengan status non-HIV saja bisa merasa khawatir dan butuh dukungan lebih, apalagi seorang ibu dengan penderita HIV. Rasa takut dan kekhawatiran akan muncul sendirinya, sebaiknya kamu mencari support system yang tulus mendukungmu dan rela mendengarkan keluh kesah (selain suami dan keluarga).
3. Periksa studi kelayakan
"Sebenarnya sih yang harus dipersiapkan tes-tes terkait berapa sih jumlah virus kita, terus CD4 kita berapa itu penting karena jika jumlah virus kita sudah tidak terdeteksi maka peluang menularkannya akan lebih kecilkan. Kalo CD4nya tinggi kita bisa melahirkan normal, jadi secara ekonomi juga agak sedikit terbantu." tambah Sari.
4. Perhatikan enter dan exit virus
Pintu masuk dan keluar virusnya juga perlu diperhatikan, seperti IMS merupakan pintu masuk virus untuk pasangan, entah Odhiv yang memiliki luka atau pasangannya (non-odhiv) yang mengalami IMS.
"Perhatikan juga permukaan ari-ari, ada luka atau tidak agar tidak memungkinkan virus mendeteksi janin. Jadi janin itu dilindungi sama plasenta ya, kalau plasentanya ada kerusakan itu berarti kita ada peluang pintu masuk virus (pada bayi)," ungkap Sari.
5. Lakukan pemeriksaan rutin
Menurut Sari, selama proses program hamil dan masa kehamilan ia memeriksakan kandungannya selama sebulan sekali, apakah ada perkembangan atau hal yang harus mereka perbaiki.
"Sebaiknya diperiksakan sebulan sekali. Kita kan rentan terhadap penyakit, berbeda dengan perempuan non-HIV, dia kan punya kemampuan CD4nya masih baik. Kalau perempuan HIV kan rentan, jadi disarankan untuk cek rutin sebulan sekali untuk melihat janin dan ari-ari," menurutnya.
6. Tetap konsumsi ARV
Obat ARV merupakan obat rutin yang diminum seumur hidup. Jika penderita mulai lepas akan obat itu, maka viral-load akan bereaksi lebih parah dan membutuhkan obat dengan dosis yang lebih tinggi lagi. ARV merupakan obat yang keras namun jika sudah diminum rutin maka tubuh pasien akan beradaptasi, bahkan ibu hamil tidak diperbolehkan melepas obat ini selama kehamilan.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan, ARV tidak berbahaya bagi janin, bahkan sangat dibutuhkan karena bisa menghindari janin dari penularan. Saat bayi sudah terlahir didunia, maka bayi yang lahir dari orang tua ODHIV juga akan diminumkan ARV yang memiliki dosis yang sesuai dengan berat badannya untuk menghindari penularan setelah dilahirkan dan selama menyusui.
Nandhita Nur Fadjriah
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)