FAMILY
Beda Gim 90-an dan Zaman Sekarang dari Kacamata Ahli
Aulia Putriningtias
Rabu 10 Desember 2025 / 12:19
Jakarta: Sobat Medcom yang lahir tahun 90-an mungkin tidak asing dengan permainan balapan Rainbow Road di Mario Kart atau keterkejutan saat menemukan rahasia tersembunyi Pokémon Red tanpa buku panduan.
Kita tahu bahwa gim-gim tersebut hadir dalam bentuk kartrid atau cakram besar. Kemudian, diakhiri dengan kredit dan memaksa pemain untuk menjadi lebih baik, atau memulai dari awal lagi.
Namun, sekarang sudah berbeda! Maju cepat ke masa kini, anak-anak bermain dengan berbagai macam battle pass Fortnite, menghabiskan uang sungguhan untuk skin Roblox, dan menghadapi aliran notifikasi push yang terus-menerus mendesak mereka untuk tidak melewatkan acara berbatas waktu.
Lompatan antar era bukan hanya soal teknologi, melainkan juga psikologis. Menurut dua ahli kesehatan mental, pergeseran ini telah mengubah secara fundamental cara otak anak berkembang, memproses tantangan, dan berinteraksi dengan hadiah.
Melissa Gallagher, pekerja sosial klinis berlisensi dan direktur eksekutif Victory Bay, melihat kontras antara permainan tahun 90-an versus masa kini melalui sudut pandang yang berbeda.
Gim dari tahun 90-an menawarkan “pengalaman hiburan yang terbatas”, yaitu awal dan akhir yang jelas, titik perhentian yang alami, dan desain yang mendorong interaksi sosial.
Gallagher juga menunjukkan bahwa filosofi desain tahun 1990-an berfokus pada kesenangan dan penyelesaian. Sementara itu, abad ke-21 semakin berfokus pada retensi dan monetisasi.
"Gim era 90-an merupakan tantangan untuk membangun keterampilan. Gim masa kini seringkali menjadi ujian bagi ketahanan psikologis. Banyak yang dirancang untuk melacak, mengeksploitasi, dan membuat ketagihan," jelas Gallagher, dilansir dalam Newsweek.
Veronica Lichtenstein, seorang konselor kesehatan mental berlisensi dan mantan guru, mengingat kepuasan mendalam yang dirasakannya saat mengalahkan permainan tahun 90-an. Hal ini dinilai sebagai "kemenangan sejati".
"Kita (yang bermain gim) berjuang melewati level-level, menghafal pola, dan akhirnya melihat akhir cerita," ujar Lichtenstein.
"Rasanya seperti kamu mencapai sesuatu. Otak memberikan dosis kepuasan yang solid dan bertahan lama, seperti menyelesaikan proyek yang sulit," lanjutnya.
Menurutnya, banyak gim modern justru membalikkan formula itu sepenuhnya. Apa yang tampak "gratis" seringkali merupakan umpan untuk transaksi mikro; contohnya tambah Rp50 ribu untuk sebuah skin atau Rp10 ribu untuk mempersingkat waktu menyelesaikan tantangan.
Banyak gim memantau setiap tindakan pemain, memasukkan data kembali ke dalam algoritma yang memicu dorongan tepat waktu. Kemudian hadirnya "penawaran khusus" yang dirancang untuk mencegah anak-anak berhenti bermain.
"Semua ini menciptakan lingkaran sempurna untuk kecanduan. Tidak ada 'akhir' yang nyata, jadi kamu tidak pernah mendapatkan penyelesaian," jelas Lichtenstein.
Lichtenstein juga prihatin dengan kurangnya keterampilan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk gim video masa kini. Di tahun 90-an, untuk mencapai titik buntu, kita harus membaca buku panduan, menelepon teman, atau gagal berulang kali hingga menemukan solusi.
"Saat ini, jika orang mengalami kebuntuan dalam suatu permainan, yang perlu mereka lakukan hanyalah melakukan pencarian cepat di Google dan mereka akan mendapatkan jawaban tentang cara menyelesaikan bagian tersebut," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Kita tahu bahwa gim-gim tersebut hadir dalam bentuk kartrid atau cakram besar. Kemudian, diakhiri dengan kredit dan memaksa pemain untuk menjadi lebih baik, atau memulai dari awal lagi.
Namun, sekarang sudah berbeda! Maju cepat ke masa kini, anak-anak bermain dengan berbagai macam battle pass Fortnite, menghabiskan uang sungguhan untuk skin Roblox, dan menghadapi aliran notifikasi push yang terus-menerus mendesak mereka untuk tidak melewatkan acara berbatas waktu.
Lompatan antar era bukan hanya soal teknologi, melainkan juga psikologis. Menurut dua ahli kesehatan mental, pergeseran ini telah mengubah secara fundamental cara otak anak berkembang, memproses tantangan, dan berinteraksi dengan hadiah.
Melissa Gallagher, pekerja sosial klinis berlisensi dan direktur eksekutif Victory Bay, melihat kontras antara permainan tahun 90-an versus masa kini melalui sudut pandang yang berbeda.
Gim dari tahun 90-an menawarkan “pengalaman hiburan yang terbatas”, yaitu awal dan akhir yang jelas, titik perhentian yang alami, dan desain yang mendorong interaksi sosial.
Gallagher juga menunjukkan bahwa filosofi desain tahun 1990-an berfokus pada kesenangan dan penyelesaian. Sementara itu, abad ke-21 semakin berfokus pada retensi dan monetisasi.
"Gim era 90-an merupakan tantangan untuk membangun keterampilan. Gim masa kini seringkali menjadi ujian bagi ketahanan psikologis. Banyak yang dirancang untuk melacak, mengeksploitasi, dan membuat ketagihan," jelas Gallagher, dilansir dalam Newsweek.
Veronica Lichtenstein, seorang konselor kesehatan mental berlisensi dan mantan guru, mengingat kepuasan mendalam yang dirasakannya saat mengalahkan permainan tahun 90-an. Hal ini dinilai sebagai "kemenangan sejati".
"Kita (yang bermain gim) berjuang melewati level-level, menghafal pola, dan akhirnya melihat akhir cerita," ujar Lichtenstein.
"Rasanya seperti kamu mencapai sesuatu. Otak memberikan dosis kepuasan yang solid dan bertahan lama, seperti menyelesaikan proyek yang sulit," lanjutnya.
Menurutnya, banyak gim modern justru membalikkan formula itu sepenuhnya. Apa yang tampak "gratis" seringkali merupakan umpan untuk transaksi mikro; contohnya tambah Rp50 ribu untuk sebuah skin atau Rp10 ribu untuk mempersingkat waktu menyelesaikan tantangan.
Banyak gim memantau setiap tindakan pemain, memasukkan data kembali ke dalam algoritma yang memicu dorongan tepat waktu. Kemudian hadirnya "penawaran khusus" yang dirancang untuk mencegah anak-anak berhenti bermain.
"Semua ini menciptakan lingkaran sempurna untuk kecanduan. Tidak ada 'akhir' yang nyata, jadi kamu tidak pernah mendapatkan penyelesaian," jelas Lichtenstein.
Lichtenstein juga prihatin dengan kurangnya keterampilan berpikir kritis yang dibutuhkan untuk gim video masa kini. Di tahun 90-an, untuk mencapai titik buntu, kita harus membaca buku panduan, menelepon teman, atau gagal berulang kali hingga menemukan solusi.
"Saat ini, jika orang mengalami kebuntuan dalam suatu permainan, yang perlu mereka lakukan hanyalah melakukan pencarian cepat di Google dan mereka akan mendapatkan jawaban tentang cara menyelesaikan bagian tersebut," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)