Ilustrasi hutan. Foto: MI/Aris Munandar
Ilustrasi hutan. Foto: MI/Aris Munandar

Guru Besar UGM Sebut KHDPK Inovasi, Ini Indikatornya

Media Indonesia.com • 26 Juli 2022 20:38
Jakarta: Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof San Afri Awang, menilai konsep Kawasan Hutan dalam Pengelolaan Khusus (KHDPK) punya nilai inovasi yang bernas. Meski, berdasarkan nama tidak punya nomenklatur ilmiah. 
 
Menurutnya, ada enam hal yang membuat KHDPK memiliki kebaruan. Pertama, KHDPK memungkinkan penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul, dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya.
 
Kedua, konsep ini bisa melanjutkan usaha menyejahterakan masyarakat berbasis potensi sumber daya hutan. Ketiga, bisa menyelesaikan konflik tenurial dengan masyarakat.

Keempat, bisa menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1.000 titik masalah. Kelima, menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan nonkehutanan dan ketahanan pangan nasional. Dan keenam, mendukung program strategis nasional. 
 
"Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh Perhutani yang statusnya hanya operator kebijakan," kata San Afri, Selasa, 26 Juli 2022.
 
Konsep KHDPK banyak dikhawatirkan bisa memperburuk kerusakan lingkungan saat diterapkan di hutan Jawa. San Afri melihat kekhawatiran itu salah kaprah.
 
Dia mencontohkan bencana banjir. Penyebab banjir di Jawa banyak, salah satunya adanya lahan kritis seluas 470 ribu hektare di kawasan hutan negara.
 
Baca: Saran Guru Besar IPB untuk Kebijakan KHDPK
 
"Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," jelas dia.
 
Menurut dia, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistik dari ekosistem pulau jawa. Hutan Pulau Jawa yang luasnya sekitar 13 juta hektare terdiri atas 3,4 juta hektare hutan negara, 3 juta hektare hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain. 
 
San Afri mengatakan hilangnya angka kecukupan luas hutan minimal 30 persen dari luas daratan atau daerah aliran sungai (DAS) dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, harus dibaca dengan cerdas dan inovatif. Khusus Pulau Jawa hilangnya angka 30 persen memang satu keniscayaan, sebab banyak masalah yang harus diselesaikan.
 
"Kekhawatiran publik bahwa Jawa akan kekurangan tutupan vegetasi terjawab dengan diakomodasinya hutan rakyat sebagai bagian dari tutupan vegetasi," kata dia.
 
Dengan hutan rakyat, lanjut Prof San Afri, maka Pulau Jawa memiliki tutupan vegetasi seluas 6,4 juta hektare atau 45 persen. Berasal dari areal Perhutani 1,4 juta hektare, areal hutan rakyat 3 juta hektare, areal konservasi 1 juta hektare, dan areal KHDPK 1 juta hektare. 
 
Dia menyimpulkan hutan rakyat menghasilkan kayu bulat lebih dari 20 juta m3 per tahun. Sementara Perhutani menghasilkan kayu bulat kurang dari 700 ribu m3 per tahun. 
 
"Mari kita melihat pulau jawa dan lingkungan serta ekosistem pulau jawa dalam satu kesatuan utuh pulau dan segala isinya, jangan hanya melihat dari sisi pandang hutan negara," kata San Afri.
 
Jika dikalkulasi, tambah dia, hutan rakyat dan hutan negara telah menjadikan daya dukung alam lingkungan di Pulau Jawa membaik. Kalkulasi jasa ekosistem penyedia air di Pulau Jawa menunjukkan bahwa hutan negara berada pada kelas tinggi sebagai komponen penyedia jasa air. 
 
Baca: Pemerintah Siapkan Terobosan Selamatkan Hutan Jawa
 
Hutan rakyat serta kebun campur berada pada kelas sedang sebagai komponen penyedia jasa air di Pulau Jawa. "Tanpa kontribusi hutan rakyat, maka pulau jawa akan mengalami defisit air lebih banyak," katanya. 
 

Segera pastikan peta KHDPK

Agar persoalan ini tak berlarut, San Afri menyarankan agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera memastikan peta KHDPK. Sehingga, sehingga informasinya tidak terpotong dan tidak dimanfaatkan oknum-oknum tidak bertanggung jawab. 
 
"Jika masyarakat mengetahui persis tata kelola dan pemanfaatan kawasan KHDPK, maka saya yakin perdebatan di tingkat masyarakat akan segera hilang. Masyarakat akan merasakan manfaat yang banyak dari konsep KHDPK ini," kata dia. 
 
Menurut San Afri, masa depan pengelolaan hutan di Pulau Jawa tidak dapat hanya menyandarkan pada peran hutan negara. Hutan rakyat pun harus dimasukkan dalam pengelolaan lanskap hutan di Jawa. 
 
"KHDPK harus dibangun dengan paradigma kemanusiaan dalam proses membangun hutannya. Integrasi ekologi, sosial, budaya dan kelembagaan, serta ekonomi produktif menjadi bahan utama mengelola dan membangun hutan di wilayah KHDPK," jelas dia.
 
San Afri juga berpendapat konsep perhutanan sosial sepenuhnya dapat diterapkan dalam KHDPK. Konsep perhutanan sosial adalah implementasi dari integrasi kepentingan ekologi, sosial kelembagaan, dan ekonomi produktif. 
 
Baca: Pegiat Lingkungan Tunggu Peta Kawasan Pengelolaan Khusus untuk Hutan Jawa
 
"Saatnya rakyat diberi kepercayaan mengelola kawasan hutan yang didukung oleh organisasi yang baik, tata kelola yang baik, dan sistem kelembagaan yang sesuai," jelasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan