Jakarta: Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof San Afri Awang, menilai konsep Kawasan Hutan dalam Pengelolaan Khusus (KHDPK) punya nilai inovasi yang bernas. Meski, berdasarkan nama tidak punya nomenklatur ilmiah.
Menurutnya, ada enam hal yang membuat KHDPK memiliki kebaruan. Pertama, KHDPK memungkinkan penanaman ulang lahan kritis, rusak, gundul, dan tidak produktif akibat pengelolaan sebelumnya.
Kedua, konsep ini bisa melanjutkan usaha menyejahterakan masyarakat berbasis potensi sumber daya hutan. Ketiga, bisa menyelesaikan konflik tenurial dengan masyarakat.
Keempat, bisa menyelesaikan masalah permukiman dalam kawasan hutan yang jumlahnya lebih dari 1.000 titik masalah. Kelima, menyelesaikan kebutuhan tanah untuk pembangunan nonkehutanan dan ketahanan pangan nasional. Dan keenam, mendukung program strategis nasional.
"Enam poin ini tidak mungkin diselesaikan oleh Perhutani yang statusnya hanya operator kebijakan," kata San Afri, Selasa, 26 Juli 2022.
Konsep KHDPK banyak dikhawatirkan bisa memperburuk kerusakan lingkungan saat diterapkan di hutan Jawa. San Afri melihat kekhawatiran itu salah kaprah.
Dia mencontohkan bencana banjir. Penyebab banjir di Jawa banyak, salah satunya adanya lahan kritis seluas 470 ribu hektare di kawasan hutan negara.
Baca: Saran Guru Besar IPB untuk Kebijakan KHDPK
"Lahan kritis ini bukan karena adanya KHDPK, justru KHDPK ingin memperbaiki lahan kritis ini. Perdebatan publik yang mengatakan KHDPK penyebab kerusakan lingkungan adalah salah total. Sebelum ada KHDPK lingkungan alamnya sudah rusak," jelas dia.
Menurut dia, lahirnya KHDPK di Jawa harus dilihat secara holistik dari ekosistem pulau jawa. Hutan Pulau Jawa yang luasnya sekitar 13 juta hektare terdiri atas 3,4 juta hektare hutan negara, 3 juta hektare hutan rakyat (tanah milik), dan sisanya adalah penggunaan lain.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan