Gedung OJK. FOTO: OJK
Gedung OJK. FOTO: OJK

Kaleidoskop 2021

Ramuan Mujarab Otoritas Kinclongkan Kinerja Perbankan

Husen Miftahudin • 28 Desember 2021 08:50
OTORITAS perbankan yang terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang dibantu pemerintah bahu-membahu mengelap kinerja perbankan yang terpuruk akibat berlanjutnya ketidakpastian imbas pandemi covid-19.
 
Maklum saja, di akhir 2020 kinerja intermediasi perbankan mengalami tekanan yang cukup signifikan seiring dengan pembatasan sosial yang mendorong perlambatan aktivitas di sektor riil. Kredit perbankan jadi tumbal lantaran terkontraksi sebesar minus 2,41 persen (yoy).
 
OJK menilai anjloknya kredit perbankan ini lebih disebabkan oleh korporasi besar yang cenderung masih belum beroperasi secara penuh. Beberapa korporasi juga memiliki kebijakan untuk mengurangi baki debet pinjaman dalam rangka mengurangi beban bunga.

Meski di sisi lain, rasio kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) gross perbankan pada periode yang sama terjaga di level 3,06 persen dan NPL net sebesar 0,98 persen. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan juga terjaga mencapai 23,78 persen, naik dibandingkan 23,31 persen pada 2019.
 
Sejalan dengan itu, likuiditas perbankan masih memadai yang ditandai alat likuid perbankan yang terus meningkat Rp2.111 triliun dibandingkan dengan tahun lalu yang sebesar Rp1.251 triliun, Dana Pihak Ketiga (DPK) juga tumbuh 11,11 persen (yoy). Alat Likuid per Non-Core Deposit 146,72 persen dan Liquidity Coverage Ratio 262,78 persen, lebih tinggi dari threshold.
 
Terkait hal tersebut, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada awal tahun ini langsung memantapkan koordinasi kebijakan yang erat antaranggota yang terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), BI, OJK, dan LPS. Langkah tersebut dilakukan guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
 
Fokus koordinasi kebijakan diarahkan pada mengatasi permasalahan sisi permintaan dan penawaran dalam penyaluran kredit atau pembiayaan dari perbankan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dalam rangka pemulihan ekonomi nasional.
 
Alhasil, sektor jasa keuangan semakin stabil dan terus bertumbuh, tercermin dari semakin meningkatnya fungsi intermediasi perbankan pada posisi Oktober 2021. Kondisi stabilitas serta kinerja sektor jasa keuangan terjaga dan terus bertumbuh positif seiring dengan upaya pemulihan ekonomi.
 
Diketahui per Oktober 2021, penyaluran kredit perbankan mengalami pertumbuhan sebesar 3,24 persen (yoy) atau 3,21 persen (ytd). Secara sektoral, kredit sektor utama tercatat mengalami peningkatan terutama pada sektor manufaktur dan rumah tangga dengan peningkatan masing-masing sebesar Rp5,3 triliun dan Rp8,8 triliun.
 
"Hal ini mencerminkan dukungan perbankan dalam pemulihan ekonomi nasional semakin membaik. Sementara itu, DPK mencatatkan pertumbuhan sebesar 9,44 persen (yoy)," ucap Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso.
 
Seiring dengan membaiknya kinerja sektor jasa keuangan domestik tersebut, profil risiko lembaga jasa keuangan tetap terjaga baik dengan rasio kredit macet atau NPL nett tercatat menurun sebesar 1,02 persen, sedangkan NPL gross 3,22 persen.
 
 

Selain itu, likuiditas industri perbankan masih berada pada level yang memadai. Hal ini terlihat dari rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit dan Alat Likuid/DPK masing-masing sebesar 154,59 persen dan 34,05 persen, yang berarti di atas ambang batas ketentuan masing-masing pada level 50 persen dan 10 persen.
 
Dari sisi permodalan, lembaga jasa keuangan juga mencatatkan permodalan yang semakin membaik. Industri perbankan mencatatkan peningkatan CAR menjadi sebesar 25,34 persen atau jauh di atas threshold.
 
"OJK secara konsisten melakukan asesmen terhadap perekonomian dan sektor jasa keuangan bersama dengan pemerintah dan otoritas terkait lainnya serta para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di tengah momentum akselerasi pemulihan ekonomi nasional," tegas Wimboh.

Langkah dan kebijakan OJK

OJK menyatakan masih akan fokus dalam melakukan pengawasan guna menjaga stabilitas sistem keuangan. OJK pun mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan untuk mendorong industri perbankan agar terus berinovasi dan berkontribusi bagi perekonomian nasional.
 
Selama periode 2017 hingga 2021, OJK telah mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan guna memperkuat industri perbankan, mendorong ekspor nasional, serta merespons berbagai peristiwa dan dinamika yang terjadi. Termasuk pandemi covid-19 dan akselerasi transformasi digital pada industri jasa keuangan.
 
Beberapa peraturan dan kebijakan dimaksud, antara lain POJK tentang Perlakuan Khusus bagi Daerah Bencana, Paket Kebijakan Agustus 2018 untuk mendorong  ekspor nasional, POJK Layanan Perbankan Digital, POJK Konsolidasi Bank Umum, POJK Stimulus Perekonomian, POJK Bank Umum, serta POJK Penyelenggaraan Produk Bank Umum.
 
Selain itu, dalam rangka memberikan pijakan dalam pengembangan ekosistem industri perbankan dan infrastruktur pengaturan, pengawasan, serta perizinan ke depan, OJK telah meluncurkan Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia (RP2I) 2020-2025.
 
OJK juga telah meluncurkan Roadmap Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia (RP2SI) 2020-2025 pada awal 2021, yang disusul dengan peluncuran Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia bagi Industri Bank Perkreditan Rakyat/Syariah (BPR/S) pada akhir November 2021.
 
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menekankan bahwa seluruh peraturan dan kebijakan dimaksud diterbitkan untuk memberikan landasan yang kuat bagi industri perbankan agar lebih resilien, memiliki daya saing yang tinggi, lincah, serta adaptif dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
 
Ia mengharapkan industri perbankan untuk dapat menangkap berbagai peluang yang diberikan dan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional. "Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan OJK tersebut serta didukung dengan kondisi perekonomian yang membaik berimplikasi positif terhadap stabilitas serta kinerja perbankan," tutur Heru.

Upaya dan strategi Bank Indonesia

Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan ketahanan sistem keuangan tetap terjaga dan fungsi intermediasi perbankan melanjutkan perbaikan secara bertahap. Rasio kecukupan modal atau CAR perbankan Oktober 2021 tetap tinggi sebesar 25,30 persen dan rasio kredit bermasalah atau NPL tetap terjaga di level 3,22 persen (bruto) dan 1,02 persen (neto).
 
Intermediasi perbankan terus membaik dengan pertumbuhan kredit sebesar 4,73 persen (yoy) pada November 2021. Menurutnya, pertumbuhan kredit lebih merata pada semua jenis penggunaan, baik kredit modal kerja, kredit investasi, maupun kredit konsumsi, yang masing-masing tumbuh sebesar 5,38 persen (yoy), 4,30 persen (yoy), dan 4,11 persen (yoy).
 
 

Dari sisi sektoral, pertumbuhan kredit juga lebih broad based di hampir seluruh sektor perekonomian dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), yang mengindikasikan bahwa permintaan kredit mengalami peningkatan sejalan dengan pemulihan aktivitas dunia usaha.
 
Dari sisi penawaran, Bank Indonesia terus menempuh kebijakan makroprudensial longgar, sementara perbankan menurunkan standar penyaluran kredit seiring dengan menurunnya persepsi risiko kredit.
 
"Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lainnya di sektor keuangan untuk mendorong lebih lanjut peningkatan kredit dan pembiayaan perbankan kepada dunia usaha, terutama dari sisi permintaan sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi," urai dia.
 
Adapun dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Desember 2021, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
 
Perry menjelaskan, keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan sistem keuangan, di tengah prakiraan inflasi yang rendah dan upaya mendukung pertumbuhan ekonomi. BI terus mengoptimalkan seluruh bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta mendukung upaya perbaikan ekonomi lebih lanjut.
 
Pertama, menegaskan arah bauran kebijakan Bank Indonesia pada 2022 yang akan akan lebih diarahkan untuk menjaga stabilitas. Sementara kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau, tetap untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
 
Kedua, melanjutkan kebijakan nilai tukar rupiah untuk menjaga stabilitas nilai tukar yang sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Ketiga, melanjutkan penguatan strategi operasi moneter untuk memperkuat efektivitas stance kebijakan moneter akomodatif.
 
Keempat, memperkuat kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) dengan pendalaman perkembangan spread suku bunga kredit terhadap suku bunga deposito per kelompok bank.
 
Kelima, melanjutkan masa berlaku tarif SKNBI sebesar Rp1 dari Bank Indonesia ke bank dan maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah, dari semula berakhir 31 Desember 2021 menjadi sampai dengan 30 Juni 2022 untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
 
Keenam, menargetkan 15 juta pengguna baru QRIS pada 2022 untuk mendorong peningkatan transaksi QRIS melalui koordinasi dengan Penyelenggara Jasa Pembayaran dan Kementerian/Lembaga terkait.
 
Ketujuh, memfasilitasi penyelenggaraan promosi perdagangan dan investasi serta melanjutkan sosialisasi penggunaan Local Currency Settlement (LCS) bekerja sama dengan instansi terkait.
 
"Bank Indonesia terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan KSSK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan meningkatkan kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan," tegas Perry.

Sentimen global

Langkah serta kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tersebut sejalan dengan situasi berlanjutnya ketidakpastian global. Pemulihan yang tengah berlangsung di hampir sebagian besar negara maju di dunia mendorong kenaikan tingkat inflasi yang juga telah diwaspadai otoritas perbankan domestik.
 
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengakui para pelaku pasar juga tengah mengkhawatirkan penyebaran covid-19 varian omicron. Varian baru ini sendiri akan menjadi bahasan utama pada pertemuan kebijakan bank sentral, dengan enam bank sentral G10 dan sejumlah bank sentral pasar berkembang.
 
"Sementara itu, ada pula pertemuan penting Federal Reserve yang berlangsung selama dua hari. Investor saat ini mengharapkan The Fed untuk memberi sinyal pengurangan pembelian aset yang lebih cepat dan menaikkan suku bunga acuan," pungkas Ibrahim.
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan