Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya yang dinilai mencapai swasembada beras dan meningkatkan sistem ketahanan pangan baik. Foto: BPMI Setpres
Indonesia menerima penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas keberhasilannya yang dinilai mencapai swasembada beras dan meningkatkan sistem ketahanan pangan baik. Foto: BPMI Setpres

Strategi Sukses Swasembada Beras Perlu Diadopsi Komoditas Pangan Lain

Juven Martua Sitompul • 15 Agustus 2022 21:38
Jakarta: Penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) untuk Indonesia patut diapresiasi. Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menekankan tidak ada impor untuk beras berbuah manis, yakni memiliki ketahanan pangan yang baik.
 
Penghargaan itu bahkan disebut bagian dari implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahum 2012 tentang Pangan yang tidak membolehkan impor pangan selagi masih bisa diproduksi oleh petani di dalam negeri. Termasuk, Undang-Undang 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
 
"Jadi, karena itulah sejak Presiden Jokowi, dia memang menekankan tidak akan impor beras. Itu saya pikir satu yang harus dihargai komitmen dia itu. Jadi karenanya, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak mau impor beras, tidak bisa," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih di Jakarta, Senin, 15 Agustus 2022.

Menurut Henry, kebijakan beras itu seharusnya bisa diimplementasikan untuk komoditas pangan lain. "Ya harusnya di komoditas yang lain, termasuk daging, untuk semuanya. Karena sesungguhnya Indonesia bisa untuk kacang kedelai bahkan juga terigu," ujarnya.
 
Swasembada beras juga didukung oleh pembangunan banyak irigasi pertanian oleh pemerintah. Meski demikian, kata dia, masih banyak yang harus dilakukan pemerintah terkait beras.
 
"PR-nya begini, petani yang produsen beras itu kehidupan kesejahteraannya belum membaik. Itu bisa dilihat secara sederhana dari nilai tukar petani (NTP) di mana NTP tiga tahun ini menurun," tegas Henry.
 

Baca: Raih Penghargaan IRRI, Pengamat Apresiasi Pemerintah Wujudkan Swasembada Beras


Penurunan NTP menjadi indikator kerugian yang dialami petani pangan. Penurunan itu dipengaruhi mahalnya ongkos produksi tanaman padi.
 
"Jadi sebenarnya petani pangan dalam hal ini padi, ya semuanya merugi di sini. Mengapa terjadi penurunan? Karena harga pupuk-pupuk mahal, terus juga benih-benih juga naik," ucapnya.
 
 

Henry menyarankan agar program Reforma Agraria menyasar petani penanam padi yang kini dihadapkan pada penyempitan lahan tanam dan kenaikan harga sewa lahan.
 
"Program Reforma Agraria yang membagikan tanah 9,7 juta hektare itu harusnya menyasar pada petani tanaman padi. Karena itu yang harus ditambah luas lahannya," ucap dia.
 
Selain itu, Indonesia baru surplus beras 10 juta ton. Angka itu setara dengan kebutuhan nasional selama 3 bulan.
 
"Karena Indonesia baru surplus 10 juta, itu hanya kebutuhan untuk 3 bulan, enggak sampai satu kali panen. Jadi sebenarnya kita harus tingkatkan lagi," kata dia.
 
Henry juga mewanti-wanti agar para produsen beras dalam negeri menggunakan benih lokal. Hal itu mesti dilakukan untuk menjamin kedaulatan pangan Indonesia.
 
"Kita harus terus menggunakan benih yang diproduksi oleh petani, pemerintah, dan lembaga-lembaga kita," tegas dia.

Karena la nina

Hal senada disampaikan Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso. Dia menilai semua keberhasilan itu berkat la nina.
 
"Yang memang jelas, dua tahun kita diselamatkan iklim, karena iklim la nina. Jadi produksi padi meski tidak naik, turun sedikit, itu diselamatkan oleh la nina," kata Andreas dihubungi terpisah.
 
Jika mengamati data 20 tahun terakhir, fenomena iklim la nina atau kemarau basah biasanya meningkatkan produksi padi dengan sangat signifikan. Namun, pada periode 2019- sampai saat ini, kenaikan produksi padi dianggap lebih dari cukup untuk konsumsi dalam negeri.
 
 

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Produksi padi pada 202, yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG. Selama tiga tahun, Indonesia juga disebut sudah tidak mengimpor beras.
 
"Betul kita tidak impor, penyebabnya? Terjadi penurunan konsumsi beras. Kalau penurunan konsumsi beras maka beralih kemana, yang paling nyata ke gandum," kata Andreas.
 
Pemerintah mengeklaim prognosis pangan nasional pada 2022, khususnya pada komoditas beras menunjukkan adanya surplus 7,5 juta ton atau melanjutkan tren positif swasembada beras dengan produksi beras pada 2020 sebesar 31,4 juta ton dan tahun 2021 sebesar 31,2 juta ton. Ini menunjukkan bahwa kondisi produksi beras yang relatif stabil dari tahun ke tahun berdampak positif terhadap terjaganya harga beras nasional di tingkat konsumen.
 
Andreas mengingatkan pemerintah untuk terus memperhatikan kesejahteraan petani. Bagi petani dengan lahan kecil, bercocok tanam padi malah bikin mereka rugi. Berbagai insentif dan bantuan macam pupuk subsidi yang diberikan pemerintah tidak banyak berpengaruh pada kehidupan mereka.
 
"Bahwa usaha tani sekarang rugi, (insentif) tidak banyak membantu. Ada masalah yang krusial disitu. Yang harus kita atasi bersama," ucap Andreas.
 
Belum lagi Nilai Tukar Petani (NTP) yang terus turun di sepanjang 2022. Data terkini, BPS melaporkan nilai tukar petani (NTP) Indonesia pada Juli 2022 sebesar 104,2. Nilai ini turun 1,61 persen dibanding NTP bulan sebelumnya yang sebesar 105,96.
 
Indonesia menerima penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) karena telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021. Penghargaan diserahkan Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden Jokowi.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(JMS)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan