Meski menuai pro dan kontra, tetapi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap tegas dengan pendirian. Pemerintah mengerahkan semua perangkat yang ada agar harga minyak goreng terkendali, termasuk memberantas para mafia minyak goreng. Tak tanggung-tanggung, level pejabat di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pun juga disikat.
Bahkan, Muhammad Lutfi yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan harus turun takhta dan digantikan Zulkifli Hasan. Perombakan ini dengan harapan agar Lutfi bisa fokus menyelesaikan persoalan yang menimpanya terkait dugaan tindak pidana korupsi mafia minyak goreng. Selain itu, diharap harga minyak goreng terkendali dan para petani kelapa sawit sejahtera.
Persoalan minyak goreng memang pelik. Pasalnya di sisi lain pemerintah mencoba mengendalikan harga minyak goreng dengan menghentikan ekspor kelapa sawit. Tapi di sisi lain, harga kelapa sawit turun dan memberi tekanan tersendiri terhadap para petani. Pada aspek ini pemerintah harus jeli dan cermat agar tidak merugikan para petani dan masyarakat.
Baca: Sri Mulyani Taksir PNBP SDA 2022 Lampaui Realisasi 2021 |
Namun, masalah lain muncul ketika pemerintah mengenakan pungutan ekspor untuk seluruh produk minyak kelapa sawit dan turunannya. Untungnya, tak berapa lama kebijakan itu dicabut. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan penghapusan pungutan ekspor untuk seluruh produk CPO dan turunannya memberikan dampak positif.
Salah satunya adalah ekspor CPO yang telah meningkat. Adapun penghapusan pungutan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 103 Tahun 2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang mulai berlaku 15 Juli hingga 31 Agustus 2022.
"Kita bisa melihat dari produksi dunia CPO, ekspor CPO naik mencapai 100 ribu hingga 140 ribu ton per hari, dibandingkan dengan (sebelum) 15 Juli hanya 60 hingga 90 ribu ton. Jadi ada lonjakan ekspor CPO," kata dia.
Tak cuma ekspor saja yang meningkat, harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani juga mengalami kenaikan seiring dengan penghapusan pungutan tersebut. Artinya, kebijakan pemerintah juga turut membantu petani maupun masyarakat.
"Dari harga TBS per 25 Juli itu Rp1.500 lebih per kilogram, jauh lebih tinggi dari harga pada 15 Juli yang masih sekitar Rp1.000 per kilogram. Selain itu, produksi dari minyak goreng curah mencapai Rp15 ribu untuk se-Indonesia," ungkapnya.
Kebijakan pemerintah tentunya berhasil membantu stabilisasi harga baik di tingkat petani maupun harga minyak goreng bagi masyarakat. Apalagi saat ini kenaikan harga komoditas termasuk CPO juga memberikan keuntungan.
Menindaklanjuti
Meski sempat tertekan, namun pemerintah mulai tancap gas untuk meningkatkan pesona kelapa sawit di Indonesia. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan, misalnya, mengaku siap menindaklanjuti persetujuan hasil pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri RRT Li Keqiang di Beijing untuk menambah ekspor satu juta ton CPO.
Saat ini, Kementerian Perdagangan tengah mempercepat ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. Tujuannya untuk mengosongkan tangki-tangki penampung CPO yang penuh sehingga industri CPO dapat menyerap TBS petani sawit. Melalui percepatan ekspor itu, harga TBS diharapkan bisa di atas Rp2.000 per kilogram (kg).
"Komitmen ini diharapkan dapat memperlancar ekspor CPO Indonesia dan memperbaiki harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani hingga di atas Rp2.000 per kilogram," ucap Zulkifli.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Li Keqiang, Jokowi menyampaikan RRT adalah mitra strategis Indonesia. Selama ini, kedua negara berhasil membangun kemitraan tersebut dengan kerja sama yang saling menguntungkan. Nilai perdagangan kedua negara mencapai USD100 miliar. Presiden Jokowi menginginkan nilai perdagangan Indonesia dan RRT terus meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor CPO dan turunannya (HS 15) pada Juni 2022 sebanyak 2,17 juta ton, meningkat pesat dari Mei 2022 yang sebesar 0,51 juta ton. Nilai ekspor CPO dan Turunannya pada Juni 2022 juga naik 300,66 persen menjadi USD3,38 miliar dibandingkan Mei 2022.
Pada Juni 2022, Indonesia paling banyak mengekspor CPO dan turunannya ke RRT senilai USD591,57 juta, Pakistan USD454,47 juta, India USD273,97 juta, dan Bangladesh USD163,75 juta.
Saat ini, Kementerian Perdagangan tengah mempercepat ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. Tujuannya untuk mengosongkan tangki-tangki penampung CPO yang penuh sehingga industri CPO dapat menyerap TBS petani sawit. Melalui percepatan ekspor itu, harga TBS diharapkan bisa di atas Rp2.000 per kilogram (kg).
"Komitmen ini diharapkan dapat memperlancar ekspor CPO Indonesia dan memperbaiki harga tandan buah segar kelapa sawit di tingkat petani hingga di atas Rp2.000 per kilogram," ucap Zulkifli.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Li Keqiang, Jokowi menyampaikan RRT adalah mitra strategis Indonesia. Selama ini, kedua negara berhasil membangun kemitraan tersebut dengan kerja sama yang saling menguntungkan. Nilai perdagangan kedua negara mencapai USD100 miliar. Presiden Jokowi menginginkan nilai perdagangan Indonesia dan RRT terus meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor CPO dan turunannya (HS 15) pada Juni 2022 sebanyak 2,17 juta ton, meningkat pesat dari Mei 2022 yang sebesar 0,51 juta ton. Nilai ekspor CPO dan Turunannya pada Juni 2022 juga naik 300,66 persen menjadi USD3,38 miliar dibandingkan Mei 2022.
Pada Juni 2022, Indonesia paling banyak mengekspor CPO dan turunannya ke RRT senilai USD591,57 juta, Pakistan USD454,47 juta, India USD273,97 juta, dan Bangladesh USD163,75 juta.
Wajib beli dari petani
Langkah Zulkifli -yang punya tugas khusus untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng- tak berhenti sampai di situ. Zulhas, panggilan akrabnya, pun meminta kepada para pengusaha perkebunan kelapa sawit untuk wajib membeli TBS petani maupun mitranya dengan harga di atas Rp2.000 per kilogram (kg).
"Saya minta mulai minggu depan, harga TBS harus di atas Rp2.000 per kg dan para pengusaha wajib menaati aturan yang telah disepakati," katanya, Selasa, 2 Agustus 2022.
Saat berdialog dengan petani kelapa sawit dan para pengusaha, ia menegaskan, dalam waktu minggu depan harga TBS sawit sudah harus di atas Rp2.000 per kg. "Ini Instruksi langsung dari Bapak Presiden, saya selaku Mendag menyampaikan bahwa minggu depan harga TBS sudah di atas Rp2.000 per kg," ujar Mendag.
Baca: Ketertarikan Investor Tiongkok Berinvestasi di AS Makin Kuat |
"Saya minta mulai minggu depan, harga TBS harus di atas Rp2.000 per kg dan para pengusaha wajib menaati aturan yang telah disepakati," katanya, Selasa, 2 Agustus 2022.
Saat berdialog dengan petani kelapa sawit dan para pengusaha, ia menegaskan, dalam waktu minggu depan harga TBS sawit sudah harus di atas Rp2.000 per kg. "Ini Instruksi langsung dari Bapak Presiden, saya selaku Mendag menyampaikan bahwa minggu depan harga TBS sudah di atas Rp2.000 per kg," ujar Mendag.
Tingkatkan kesejahteraan petani sawit
Sementara itu, Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin mengatakan pemerintah terus berupaya melakukan langkah-langkah perbaikan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sawit. Salah satunya dengan pencabutan larangan ekspor semua jenis produk minyak sawit atau minyak goreng.
Wapres menyampaikan beberapa upaya konkret lain yang telah diambil pemerintah dalam meningkatkan harga TBS sawit dan menurunkan harga minyak goreng, antara lain dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan yakni menghapus sementara pungutan ekspor minyak sawit mentah beserta produk turunannya.
"Menetapkan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) yang baru. Perusahaan wajib mendistribusikan minyak goreng, baru mendapatkan perhitungan hak ekspor, dan percepatan penyaluran ekspor untuk komoditas CPO dan turunannya," kata Wapres.
Sementara di sisi hilir, Wapres menjelaskan telah dilakukan diskusi pada rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Juli 2022 tentang wacana pembentukan pabrik CPO mini berbasis koperasi. Dengan demikian, ke depan diharapkan dapat meningkatkan harga TBS dan para petani tidak hanya bergantung pada pabrik besar saja.
"Telah dibahas mengenai hilirisasi sawit dengan salah satu pasal usulan pembentukan pabrik CPO mini dan pabrik red palm oil atau minyak makan merah yang berbasis koperasi. Harapannya akan dapat menjadi solusi bagi petani untuk meningkatkan harga dan volume penjualan TBS, hal ini masih dalam pembahasan," urai Wapres.
"Memang beberapa kali juga Presiden minta supaya ada pabrik-pabrik mini sehingga tidak tergantung semuanya kepada pabrik-pabrik besar," imbuhnya.
Wapres pun mengimbau kepada jajaran Apkasindo untuk terus mengawal implementasi kebijakan di lapangan dan berkontribusi dalam upaya peningkatan kualitas SDM petani sawit. "Saya berharap petani sawit rakyat ini akan bisa tumbuh dengan baik," ujar Wapres.
Sementara itu, Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyebutkan peningkatan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dalam jumlah yang besar dapat meningkatkan harga TBS kelapa sawit.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha mengungkapkan bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Oleh karena itu, menurut dia, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
"Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari Rp861 per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kilogram," kata Eugenia.
Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.
"Kalau kita memulai dari harga awal TBS Rp1.380 per kg maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani," katanya.
Namun, Euginia menjelaskan, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini. Menurutnya semakin tinggi harga CPO maka semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO.
Dia menerangkan bahwa kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Namun penetapan biaya bertingkat diterapkan sesuai dengan kenaikan harga.
LPEM UI berpendapat penghapusan kebijakan seperti DMO (Domestic Market Obligation) serta DPO (Domestic Price Obligation) untuk meningkatkan volume ekspor. Solusinya, menurut Eugenia, pemerintah menjadikan pungutan ekspor dan bea keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.
"Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor," pungkas Eugenia.
Wapres menyampaikan beberapa upaya konkret lain yang telah diambil pemerintah dalam meningkatkan harga TBS sawit dan menurunkan harga minyak goreng, antara lain dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Keuangan yakni menghapus sementara pungutan ekspor minyak sawit mentah beserta produk turunannya.
"Menetapkan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) yang baru. Perusahaan wajib mendistribusikan minyak goreng, baru mendapatkan perhitungan hak ekspor, dan percepatan penyaluran ekspor untuk komoditas CPO dan turunannya," kata Wapres.
Sementara di sisi hilir, Wapres menjelaskan telah dilakukan diskusi pada rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo pada 17 Juli 2022 tentang wacana pembentukan pabrik CPO mini berbasis koperasi. Dengan demikian, ke depan diharapkan dapat meningkatkan harga TBS dan para petani tidak hanya bergantung pada pabrik besar saja.
"Telah dibahas mengenai hilirisasi sawit dengan salah satu pasal usulan pembentukan pabrik CPO mini dan pabrik red palm oil atau minyak makan merah yang berbasis koperasi. Harapannya akan dapat menjadi solusi bagi petani untuk meningkatkan harga dan volume penjualan TBS, hal ini masih dalam pembahasan," urai Wapres.
"Memang beberapa kali juga Presiden minta supaya ada pabrik-pabrik mini sehingga tidak tergantung semuanya kepada pabrik-pabrik besar," imbuhnya.
Wapres pun mengimbau kepada jajaran Apkasindo untuk terus mengawal implementasi kebijakan di lapangan dan berkontribusi dalam upaya peningkatan kualitas SDM petani sawit. "Saya berharap petani sawit rakyat ini akan bisa tumbuh dengan baik," ujar Wapres.
Sementara itu, Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyebutkan peningkatan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dalam jumlah yang besar dapat meningkatkan harga TBS kelapa sawit.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha mengungkapkan bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Oleh karena itu, menurut dia, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
Baca: Jokowi Jaga Subsidi Energi Dinilai Sejalan dengan Amanah Konstitusi |
"Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari Rp861 per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kilogram," kata Eugenia.
Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.
"Kalau kita memulai dari harga awal TBS Rp1.380 per kg maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani," katanya.
Namun, Euginia menjelaskan, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini. Menurutnya semakin tinggi harga CPO maka semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO.
Dia menerangkan bahwa kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Namun penetapan biaya bertingkat diterapkan sesuai dengan kenaikan harga.
LPEM UI berpendapat penghapusan kebijakan seperti DMO (Domestic Market Obligation) serta DPO (Domestic Price Obligation) untuk meningkatkan volume ekspor. Solusinya, menurut Eugenia, pemerintah menjadikan pungutan ekspor dan bea keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.
"Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor," pungkas Eugenia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News