"Telah dibahas mengenai hilirisasi sawit dengan salah satu pasal usulan pembentukan pabrik CPO mini dan pabrik red palm oil atau minyak makan merah yang berbasis koperasi. Harapannya akan dapat menjadi solusi bagi petani untuk meningkatkan harga dan volume penjualan TBS, hal ini masih dalam pembahasan," urai Wapres.
"Memang beberapa kali juga Presiden minta supaya ada pabrik-pabrik mini sehingga tidak tergantung semuanya kepada pabrik-pabrik besar," imbuhnya.
Wapres pun mengimbau kepada jajaran Apkasindo untuk terus mengawal implementasi kebijakan di lapangan dan berkontribusi dalam upaya peningkatan kualitas SDM petani sawit. "Saya berharap petani sawit rakyat ini akan bisa tumbuh dengan baik," ujar Wapres.
Sementara itu, Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyebutkan peningkatan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dalam jumlah yang besar dapat meningkatkan harga TBS kelapa sawit.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI Eugenia Mardanugraha mengungkapkan bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Oleh karena itu, menurut dia, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
Baca: Jokowi Jaga Subsidi Energi Dinilai Sejalan dengan Amanah Konstitusi |
"Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari Rp861 per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kilogram," kata Eugenia.
Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.
"Kalau kita memulai dari harga awal TBS Rp1.380 per kg maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani," katanya.
Namun, Euginia menjelaskan, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini. Menurutnya semakin tinggi harga CPO maka semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO.
Dia menerangkan bahwa kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Namun penetapan biaya bertingkat diterapkan sesuai dengan kenaikan harga.
LPEM UI berpendapat penghapusan kebijakan seperti DMO (Domestic Market Obligation) serta DPO (Domestic Price Obligation) untuk meningkatkan volume ekspor. Solusinya, menurut Eugenia, pemerintah menjadikan pungutan ekspor dan bea keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.
"Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor," pungkas Eugenia.