Sedangkan di Indonesia, pemerintah telah meningkatkan stimulus fiskal melalui anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp699 triliun atau lebih besar 21 persen dari realisasi pada tahun lalu. Demikian juga anggaran kesehatan 2021 sebesar Rp178 triliun yang harapannya bisa membiayai program vaksinasi gratis untuk seluruh rakyat Indonesia.
Namun, dana jumbo yang dialokasikan Pemerintah Indonesia memiliki risiko. Misalnya utang akan membengkak dan defisit anggaran melebihi angka yang sudah diatur pada tahun-tahun sebelumnya yang akhirnya menjadi alasan dikeluarkan aturan baru terkait defisit anggaran untuk menyesuaikan kondisi di saat pandemi covid-19 seperti sekarang ini.
Mengutip data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Rabu, 24 Maret 2021, tercatat anggaran negara selama 2020 mengalami defisit sebesar Rp956,3 triliun. Defisit terjadi karena belanja negara mencapai Rp2.589,9 triliun, sedangkan penerimaan hanya Rp1.633,6 triliun. Meski defisit, defisit tersebut masih lebih baik.
"Angka ini lebih baik dari yang kita tulis dalam Perpres 72 yaitu Rp82,9 triliun lebih kecil dari Perpres 72 yang tadinya defisitnya Rp1.039,2 triliun," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, awal Januari 2021.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 itu setara dengan 6,09 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi ini juga lebih kecil dari yang ditargetkan dalam Perpres 72 sebesar 6,34 persen dari PDB.

Dalam APBN 2020, pemerintah masih memiliki Sisa Lebih Anggaran (SILPA) sebesar Rp234,7 triliun. Hal ini karena selama tahun lalu pemerintah menerbitkan pembiayaan anggaran mencapai Rp1.190,9 triliun atau di atas target Rp1.039,2 triliun.
Defisit APBN 2021
Sementara itu, pemerintah menetapkan defisit APBN 2021 sebesar Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Defisit itu akan dipenuhi melalui strategi pembiayaan yang terukur dengan harapan bisa terjaga guna menunjang perekonomian.
Untuk mengendalikan defisit, pemerintah menggunakan pembiayaan anggaran melalui dua sumber utama, yaitu penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. "Dalam kondisi penuh ketidakpastian fleksibilitas antar instrumen pembiayaan sangat penting," kata Direktur Surat Utang Negara (SUN) Ditjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko Kemenkeu Deni Ridwan.
Ia mengungkapkan kebijakan SBN masih akan mengandalkan penerbitan SBN rupiah untuk tenor jangka menengah panjang. Melalui strategi ini, Deni menyebut, pemerintah ingin memitigasi risiko yang kemungkinan terjadi ke depan.
"Proporsinya 80 sampai 85 persen. Sedangkan SBN valas untuk pelengkap menghindari crowding fund effect, dan proporsi 12 sampai 15 persen," ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga masih akan menerbitkan SBN ritel tahun ini dengan target antara Rp70 triliun hingga Rp80 triliun baik konvensional maupun syariah. Tujuannya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan anggaran.
"Kemudian koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) 2021 ini masih berlaku SKB pertama. BI akan menjadi backstop atau standby buyer di pasar perdana SBN," kata dia.
Mencari utang
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan negara-negara di dunia tengah berlomba untuk mencari utang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, khususnya dalam pengadaan vaksin covid-19 saat ini. Untuk Indonesia, hingga akhir Desember 2020 tercatat memiliki utang sebesar Rp6.074,56 triliun.
"Negara berlomba-lomba mengamankan diri dengan cara utang. Semua negara berlomba mengamankan diri dengan harus punya cash. Kalau ada vaksin harus bisa beli vaksin," ujar Suahasil.
Dia membandingkan defisit Indonesia dengan negara lain yang dianggap lebih baik, seperti dengan India dan Malaysia. APBN 2020 diketahui mengalami defisit Rp956,3 triliun atau setara dengan 6,1 persen dari PDB dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut IMF terkontraksi 1,9 persen pada tahun lalu.

"Kita bandingkan dengan India yang defisit minus 13 persen dan pertumbuhan ekonomi minus delapan persen. Defisit mereka lebih dalam, utang lebih banyak terhadap PDB dan growth turun lebih dalam. Negara seperti Jerman dan Malaysia juga begitu," jelasnya.
Dia mengungkapkan alasan defisit Indonesia hingga minus 6,1 persen disebabkan penerimaan negara yang berkurang selama pandemi. Sementara anggaran belanja negara membengkak. Dengan demikian utang pun menjadi naik.
"Pasti utang naik. Sekarang sekitar 28,5 persen PDB. Mungkin 2021, ke 41 persen PDB. Tapi kita bandingkan dengan negara lain kalau semua negara ribut soal utang. Keamanan utang kita relatively modest," tutur Suahasil.
Defisit akhir Februari
Sementara itu, Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN adalah sebesar Rp63,6 triliun hingga akhir Februari 2021. Defisit terjadi karena penerimaan negara sebesar Rp219,2 triliun, sedangkan belanja mencapai Rp282,7 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan defisit anggaran tahun ini sedikit lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun secara persentase terhadap PDB angkanya justru lebih kecil.
"Ini kalau dibandingkan dengan tahun lalu Rp61,8 triliun itu terjadi kenaikan 2,8 persen. Namun kita lihat defisitnya dari PDB, 0,36 persen dari PDB dan ini lebih rendah dari tahun lalu yang 0,40 persen dari PDB," kata dia.
Hingga akhir Februari, penerimaan negara tercatat sebesar Rp219,2 triliun atau sedikit lebih baik 0,7 persen dibandingkan Rp217,6 triliun pada periode sama tahun lalu. Realisasi pendapatan negara tercatat 12,6 persen dari target Rp1.743,6 triliun di APBN 2021.
"Pendapatan negara tumbuh positif terutama ditopang dari peningkatan penerimaan kepabeanan dan cukai didukung oleh pertumbuhan cukai dan bea keluar akibat kenaikan harga komoditas serta mulai naiknya bea masuk," jelas dia.
Sementara itu, belanja negara Rp282,7 triliun mengalami kenaikan 1,2 persen dari Februari 2019 yang sebesar Rp279,4 triliun. Realisasi belanja negara ini tercatat baru 10,3 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2021 sebesar Rp2.750 triliun.
"Belanja negara tumbuh positif didorong pertumbuhan belanja barang dan modal. Belanja pemerintah pusat tumbuh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Belanja K/L melanjutkan tren pertumbuhan cukup tinggi di awal tahun ini," tuturnya.
Adapun pembiayaan anggaran tercatat sebesar Rp273,1 triliun atau naik 140,5 persen dan mencapai 27,1 persen dari target Rp1.006,4 triliun. Pembiayaan anggaran ini dinilai dapat memenuhi target, sehingga menunjukan kecukupan buffer likuiditas pemerintah.
Masih aman
Lebih lanjut, Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah mencapai Rp6.361 triliun hingga akhir Februari 2021. Jumlah ini mengalami kenaikan Rp127,87 triliun dibandingkan dengan posisi utang pada akhir Januari lalu yang sebesar Rp6.233,13 triliun. Meski membengkak, tetapi rasionya terbilang masih aman.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan realisasi utang pemerintah masih sejalan dengan pengelolaan APBN tahun ini. Artinya utang masih tetap aman dan terjaga. "Itu sesuai dengan bagaimana kita rumuskan di APBN bersama antara pemerintah dan DPR bagaimana merancang dan mengelola APBN ini," katanya.
Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, jumlah utang pemerintah mengalami kenaikan mencapai Rp1.413 triliun. Pasalnya pada Februari 2020 utang pemerintah tercatat Rp4.948 triliun. Kenaikan ini didorong meningkatnya belanja pemerintah.
"Perlu dicatat, kami pembiayaan bagian dari pengelolaan APBN keseluruhan, tadi kami sampaikan untuk APBN 2021 kita punya defisit anggaran 5,7 persen PDB atau Rp1.006,4 triliun dan itu coba dikelola dan kita carikan pembiayaan sepanjang tahun," ungkapnya.
Sementara untuk realisasi pembiayaan utang hingga akhir Februari 2021 mencapai Rp273 triliun. Realisasi pembiayaan utang terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp271,4 triliun dan pinjaman neto sebesar Rp1,6 triliun.
Kebijakan fiskal dan moneter
Lebih lanjut, Menkeu menyebut, kebijakan countercyclical baik dari sisi fiskal maupun moneter harus terus dilakukan agar dapat meminimalisir implikasi covid-19 yang sangat signifikan. Pasalnya covid-19 tak hanya berdampak bagi kehidupan masyarakat tetapi juga terhadap perekonomian.
"Menurut saya situasinya sekarang sudah membaik setelah tahun lalu kita menerapkan stimulus fiskal. Kami mampu meminimalisir kerusakan ekonomi karena covid," kata dia.
Sri Mulyani menambahkan Indonesia mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi sebesar minus 2,1 persen. Meski demikian, kontraksi ini relatif kecil dibandingkan dengan negara Asia lain atau negara-negara G20 dalam hal kontraksi akibat covid-19.
Tahun ini, Indonesia terus berusaha melakukan percepatan pemulihan ekonomi didukung program vaksinasi. Kendati pemulihan sudah terjadi, namun hal ini masih berjalan seiring dengan penanganan pandemi covid-19 yang selalu menjadi tantangan.
"Kami berharap dapat mempertahankannya dengan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, serta mencuci tangan dan dengan vaksinasi, maka kita akan dapat mengontrol covid-19 sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi," ungkapnya.
Berbagai lembaga internasional saat ini memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh antara empat sampai 4,9 persen. Sri Mulyani meyakini proyeksi ini didukung kontribusi signifikan dari sisi permintaan, pemulihan konsumsi, ekspor, serta investasi.
"Jika itu terjadi tentunya maka kami harus melakukannya. menyesuaikan kebijakan artinya stimulus dan dukungan yang datang dari fiskal dan moneter tentu akan disesuaikan tergantung pada percepatan dan kekuatan pemulihan ekonomi, tetapi kami sangat berharap dan optimistis," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News