Sejumlah langkah sudah dilakukan untuk menekan penyebaran covid-19. Namun, semuanya belum efektif memutus mata rantai penyebaran. Karenanya, jurus utama berupa program vaksinasi disertai langkah lain seperti pembatasan sosial dan wilayah diharapkan berhasil mematikan virus yang awalnya muncul di Kota Wuhan, Tiongkok itu.
Program vaksinasi massal dilakukan di hampir negara di dunia. Di Indonesia, program vaksin sudah dimulai pada medio Januari 2021 dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi orang pertama yang divaksin. Kesediaan orang nomor satu di Indonesia itu divaksin pertama tentu menjawab sejumlah keresahan mengenai tingkat keamanan vaksin covid-19.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi bukan sekadar memberi kepercayaan kepada masyarakat. Keputusan Presiden menjadi orang nomor satu yang disuntik vaksin covid-19 juga menjadi momentum untuk mengembalikan ekonomi Indonesia di jalur pemulihan. Akselerasi pemulihan menjadi penting mengingat pertumbuhan ekonomi di 2020 minus 2,07 persen.
"Sejak 1998 untuk pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi. Di 1998 karena adanya krisis moneter, krisis global, dan di 2020 ini Indonesia mengalami kontraksi minus 2,07 persen karena pandemi covid," kata Kepala BPS Suhariyanto, awal Februari 2021.

Tidak dipungkiri, angka covid-19 yang terus melonjak di Tanah Air menyebabkan tekanan terhadap perekonomian. Kondisi itu yang membuat pemerintah sepertinya memiliki pemikiran bahwa menurunkan angka covid-19 bakal berdampak terhadap meningkatnya pertumbuhan ekonomi di masa mendatang.
Meski demikian, Indonesia tak sendirian yang mengalami kontraksi ketika angka covid-19 terus menanjak. Berdasarkan data yang dihimpun, pada 2020 pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat minus 3,5 persen, Singapura minus 5,8 persen, Korea Selatan minus satu persen, Hong Kong minus 6,1 persen, dan Uni Eropa minus 6,4 persen.
"Ini adalah angka-angka yang sudah resmi dirilis oleh kantor statistik negara masing-masing. Sementara kalau kita lihat prediksi akan banyak negara-negara yang pada 2020 ini juga mengalami kontraksi yang cukup dalam. Jadi Indonesia tidak sendiri," kata Kepala BPS Suhariyanto.
Turun
Selain Indonesia tidak sendirian, ada kabar gembira lainnya. Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengungkapkan, kasus aktif covid-19 di Indonesia mulai mengalami penurunan. Penurunan kasus mencapai 15 ribu. Tak hanya itu, kini jumlah penambahan kasus aktif sudah berada di bawah angka 10 ribu.
"Dalam waktu satu minggu terakhir ada hal yang menggembirakan, pada saat pertemuan seminggu yang lalu angkat kasus aktif kita berada pada posisi 176 ribu. Kasus aktif kita telah turun menjadi 161 ribu orang," kata Doni, dalam Rapat Koordinasi Satgas Penanganan Covid-19 melalui akun YouTube Pusdalops BNPB, Senin, 15 Februari 2021.
Doni menuturkan penurunan lantaran kontribusi semua pihak dalam penanganan covid-19 termasuk penerapan PPKM. "Mudah-mudahan dengan inovasi dan kerja keras yang tiada henti kita semua bisa semakin mampu menekan kasus ini," ujar Doni.
Juru bicara pemerintah untuk vaksinasi dari Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan jumlah kasus positif covid-19 konsisten di bawah 10 ribu sejak 8 Februari 2021. Capaian tersebut diklaim sebagai dampak pelaksanaan PPKM sejak 11 Januari 2021.
"Untuk menurunkan laju penularan (covid-19) itu tidak instan tapi proses dua sampai tiga minggu setelahnya," ujarnya.
Sementara itu, sebanyak 7.300 kasus baru tercatat per Minggu, 21 Februari 2021. "Total ada 1.278.653 kasus covid-19 terkonfirmasi di Indonesia," tulis data yang tertera pada laman resmi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, covid19.go.id, Minggu, 21 Februari 2021.
Total kasus suspek di Indonesia mencapai 77.424. Sebanyak 42.837 spesimen covid-19 diperiksa per hari itu. Pasien covid-19 yang dinyatakan sembuh bertambah 8.236 hari ini. Total pasien sembuh menjadi 1.087.076 orang. Sementara itu, pasien meninggal menjadi 34.489 orang. Sebanyak 173 orang meninggal per hari ini.
Pulih bertahap
Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyatakan meski dampak krisis covid-19 masih terus berlanjut, namun pertumbuhan ekonomi RI diperkirakan pulih secara bertahap di tahun ini.
"Ini didukung oleh serangkaian kebijakan yang substansial untuk meningkatkan kepercayaan rumah tangga dan bisnis serta pemberian bantuan sosial yang memadai dan peluncuran vaksin untuk mengurangi tingkat penyebaran infeksi," ujar Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Bahkan, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Sovereign Wealth Fund atau Lembaga Pengelola Investasi (LPI) untuk mendorong investasi asing substansial agar masuk ke Indonesia. Lembaga baru ini juga dapat menciptakan lebih banyak peluang kerja dengan tujuan menyeluruh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Namun, di tengah ketidakpastian yang masih terus membayangi akibat meningkatnya kasus covid-19, pemulihan ekonomi mungkin terhambat oleh penerapan kembali pembatasan mobilitas masyarakat. Ditambah dengan lambatnya ketersediaan vaksin yang akan menurunkan kepercayaan konsumen dan pelaku usaha serta menunda aktivitas ekonomi lebih lama.
"Oleh karena itu, untuk menjaga agar roda kegiatan ekonomi tetap berputar, memberikan stimulus dengan cakupan yang lebih luas dan perbaikan target kepada rumah tangga dan pelaku usaha yang rentan serta mempersiapkan pengadaan dan distribusi vaksin yang efektif merupakan pendorong dan kunci utama untuk percepatan pemulihan," paparnya.
Tetap optimistis
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku masih optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini. Ia meyakini angka pertumbuhan ekonomi bisa mencapai lima persen sesuai dengan target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021.
Adapun dalam kerangka APBN tahun ini, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi antara 4,5-5,5 persen. Namun, target pertumbuhan ekonomi tetap akan bergantung pada pencapaian di kuartal I-2021. "Jadi kita nanti akan lihat kuartal I ini. Tapi kisaran ini menggambarkan kita akan masih optimistis di sekitar lima persen untuk 2021," tuturnya.
Dirinya memandang berbagai indikator perekonomian bakal mengalami perbaikan pada kuartal I tahun ini meski masih ada pembatasan kegiatan masyarakat. Pemerintah pun berupaya menjaga momentum pemulihan ekonomi dari kuartal sebelumnya.
"Dengan kuartal I yang cukup solid, kita akan jaga supaya di kuartal II dan kuartal II akan bangkit kembali, atau perbaikannya makin dipercepat. Sekarang kisarannya agak bergeser, tapi poin estimasi kita ada di lima persen. Kita berharap tahun ini, 2021, pertumbuhan ekonomi bisa kembali pada kisaran 4,3-5,5 persen," tuturnya.
Game changer
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI MH Said Abdullah menegaskan keberhasilan program vaksinasi menjadi game changer atau pengubah permainan baru bagi pemulihan ekonomi nasional. Pasalnya, dampak vaksinasi tidak hanya bagi penanganan covid-19 semata, tetapi juga faktor penentu dalam keberhasilan pemulihan ekonomi.
Karenanya, program vaksinasi nasional harus sukses. "Kita punya kepentingan untuk pulih lebih cepat agar mampu memanfaatkan aliran modal masuk ke pasar dalam negeri dan memperkuat fundamental ekonomi, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, sebelum badai kembali datang," ujar Said.
Menurutnya keberhasilan vaksinasi bisa mempercepat pengendalian penyebaran covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Akan tetapi sebaliknya kegagalan vaksinasi akan membuat covid-19 semakin tidak terkendali. Hal itu akan membuat bangsa ini semakin sulit untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi.
"Pada titik ini, kita harus yakin program vaksinasi akan berhasil dengan baik," jelasnya.
Selain program vaksinasi, masih kata Said, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tetap akan berlanjut pada 2021. Hal itu Said anggap penting guna membantu masyarakat yang terpapar dampak covid-19.
"Kita akan terus mengawal agar program PEN 2021 agar jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan di 2020. Serapan anggaran untuk program yang kurang efektif, perlu dievaluasi ulang untuk memperkuat program perlindungan sosial dan pemulihan sektor UMKM," tuturnya.
Jurang lebar si kaya dan miskin
Terlepas dari itu semua, keberadaan pandemi covid-19 memperlihatkan adanya jurang yang lebar antara negara kaya dengan negara miskin. Pasalnya negara kaya menguasai vaksin covid-19 yang beredar di pasaran. Alhasil, negara miskin sulit mendapatkan vaksin untuk rakyat mereka.
Negara anggota G7 dan Uni Eropa (UE) tercatat memborong lebih dari 50 persen vaksin covid-19 yang tersedia. Padahal, mereka hanya mewakili 13 persen populasi dunia. Dengan stok yang berlimpah tersebut, mereka bisa melakukan vaksinasi dengan sangat cepat.
Awal bulan ini, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam keras distribusi vaksin covid-19 di tingkat global yang tidak adil. Di satu sisi, beberapa negara kaya telah memvaksin sebagian besar penduduknya. Di sisi lain, lebih dari 100 negara berkembang belum memulai vaksinasi sama sekali.
Kecaman serupa diutarakan Presiden Afrika Selatan (Afsel) Cyril Ramaphosa. Dia memohon agar negara kaya tidak menimbun vaksin covid-19. Pemimpin Afrika tersebut heran ada negara yang membeli vaksin hingga empat kali lipat dari jumlah yang mereka butuhkan.
"Mereka sengaja menimbun vaksin dan hal ini merugikan negara yang lebih membutuhkan," kata Ramaphosa.
Sebenarnya banyak pihak telah memprediksi situasi ini sejak awal pandemi. Untuk mengatasi ketimpangan distribusi vaksin virus korona, Badan Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan program multilateral bernama Covax. Namun, kinerja Covax sampai saat ini masih jauh dari maksimal.
Setelah mendapatkan tekanan dari berbagi penjuru, negara anggota G7 mengumumkan mereka akan meningkatkan bantuan finansial untuk Covax. Sebelumnya, Inggris dan Kanada mengatakan, mereka akan menyumbangkan sisa vaksin yang tak terpakai melalui Covax.
Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengajak negara kaya lain untuk memberikan lima persen dari stok vaksin yang mereka punya kepada negara berkembang. Meskipun demikian, banyak yang meragukan janji-janji manis yang dikeluarkan negara-negara kaya tersebut.
Pasalnya, beberapa anggota G7 menolak pelonggaran perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) soal hak paten yang dapat mempermudah pengadaan vaksin di negara berkembang. Tidak hanya itu, perusahaan farmasi dan produsen vaksin asal negara Barat disebut-sebut enggan berbagi data dan teknologi dengan WHO.
"Bukan hanya memborong pasokan vaksin dunia, negara kaya juga menghalangi negara lain memproduksi vaksin," kritik Amnesty International.
Tidak mau menunggu belas kasihan negara Barat, negara berkembang berusaha mendapatkan vaksin dari sumber lain. Melihat peluang itu, Tiongkok, Rusia, dan India gencar menawarkan vaksin buatan mereka. Walaupun media Barat meragukan vaksin yang dibuat Tiongkok dan Rusia, banyak negara tidak punya pilihan lain karena vaksin buatan Barat sulit didapatkan.
Jika situasi ini terus berlanjut, pamor Barat di mata negara berkembang bisa makin turun. Prinsip-prinsip yang dipromosikan Barat seperti multilateralisme bisa saja dianggap sebagai omong kosong belaka. Yang paling diuntungkan adalah negara yang dianggap ‘tidak demokratis’ oleh Barat seperti Tiongkok dan Rusia.
Hasil dari ‘perang vaksin’ ini tergantung langkah Barat ke depannya. Apakah Barat akan terus bersikap egois dan merelakan posisi mereka digantikan Tiongkok dan Rusia? Ataukah mereka akan kembali ke prinsip multilateralisme yang selama ini mereka promosikan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id