Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal ketiga tahun ini, maka Indonesia mengalami pertumbuhan minus dalam dua kuartal berturut-turut yang artinya besar kemungkinan masuk dalam jurang resesi. Tentu harapannya ekonomi Indonesia tidak negatif cukup dalam dan bisa kembali rebound untuk waktu yang tidak lama.
Proyeksi pemerintah ini juga senada dengan pandangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memandang perekonomian Indonesia belum positif di kuartal III. Bahkan, Anggota Dewan Komisioner LPS Didik Madiyono memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 akan terkontraksi minus satu persen.
Namun tidak ditampik, kondisi perlambatan ekonomi nasional pada Juli-Agustus 2020 masih lebih baik daripada kuartal sebelumnya. "Kuartal dua terjadi kontraksi sampai minus 5,32 persen. Kuartal ketiga ini ada prediksi juga, walaupun positif akan berat sekali perjuangannya. Barangkali (di kuartal III-2020) ada kontraksi juga sampai minus satu persen," ujar Didik.
Kendati demikian, masyarakat perlu mengetahui bahwa Indonesia tidak sendirian. Pasalnya, kontraksi yang cenderung mengarah ke resesi perekonomian ini juga dialami oleh sejumlah negara. Bahkan 20 negara lainnya sudah lebih dulu mengumumkan perekonomian nasionalnya telah mengalami resesi imbas covid-19.
"Indonesia memang tidak sendirian. Pada pertengahan Agustus kemarin sudah ada 20 negara yang mendeklarasi bahwa secara teknikal sudah mengalami kontraksi atau resesi ekonomi," paparnya.

Meski berpeluang masuk ke gerbang resesi, namun diharapkan kebijakan stimulus yang digelontorkan pemerintah, LPS, Bank Indonesia (BI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat mendorong denyut nadi perekonomian nasional. Berbagai upaya seperti restrukturisasi kredit dan suntikan likuiditas diharap memitigasi dan mengurangi beban ekonomi imbas pandemi.
"Mudah-mudahan ada bottom up atau perbaikan, karena kita melihat posisi terbawahnya (dampak risiko ekonomi) ada di 9 Maret. Kita harapkan sudah mulai ada kenaikan atau rebound meskipun ada kecenderungan masih volatile (mudah berubah)," kata Didik.
Jurang Resesi
Secara teknikal, kontraksi ekonomi RI pada kuartal III-2020 menandakan bahwa Indonesia akan masuk pada jurang resesi. Sebab secara dua kuartal beruntun perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan minus. Namun perlu diketahui, kondisi ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain, terutama Amerika Serikat (AS).
Meluasnya dampak covid-19 menjadi musabab pertumbuhan ekonomi RI belum mampu mencetak level positif. Relaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mulai menggeliatnya aktivitas perekonomian belum mampu menopang konsumsi rumah tangga yang masih rendah. Pekerjaan Rumah (PR) ini tentu sangat berat dan perlu dicarikan segera jalan keluarnya.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah kesempatan memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2020 akan berada pada kisaran minus dua persen hingga nol persen. Prediksi itu juga dengan kata lain Indonesia kini berada di jalur atau berada di tengah-tengah resesi.
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menguraikan resesi terjadi ketika pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif. Sementara di Indonesia, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I masih tumbuh 2,97 persen, namun kemudian minus 5,32 persen di kuartal II-2020. Jika di kuartal III negatif, maka resesi terjadi.
"Kita tinggal menunggu September saja. Di Oktober ketika BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi, kita baru dinyatakan resmi mengalami resesi, yang sesungguhnya sudah kita jalani saat ini," kata kata Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah.
Menilik pernyataan Piter, resesi sudah terasa karena terjadi penurunan perekonomian akibat pandemi covid-19. Hal ini bisa dilihat dari penurunan konsumsi rumah tangga, penurunan aktivitas industri, hingga bertambahnya jumlah Pemutusan Hubungan kerja (PHK).
Jika kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka akan menyebabkan depresi. Namun demikian, Piter meyakini Indonesia tidak akan mengalami depresi karena kemungkinan besar vaksin covid-19 ditemukan dan diproduksi pada tahun depan.
"Wabah berhenti perekonomian berangsur kembali normal. Masyarakat tidak perlu panik. Resesi adalah kenormalan baru, bersikap biasa-biasa saja. Yang penting jaga kesehatan, itu yang utama," ucapnya.

Meski secara teknis pertumbuhan ekonomi nasional akan masuk ke dalam jurang resesi, namun Direktur CORE Indonesia Muhammad Faisal lebih menitikberatkan pada tren pemulihan. Pun terhadap esensi pertumbuhan perekonomian yang secara perlahan mengalami perbaikan.
"Jangan terjebak dari sisi teknis apalagi di kuartal ketiga saja, saya khawatir kehilangan esensinya. Esensi yang terjadi di lapangan, terutama di masyarakat kelas bawah. Itu tidak banyak berbeda terhadap realisasi pertumbuhan ekonomi yang minus 0,5 persen dengan pertumbuhan ekonomi yang positif 0,5 persen," paparnya.
Pemerintah seharusnya memfokuskan pemulihan ekonomi agar resesi tidak jatuh ke jurang yang lebih dalam. Bukan hanya untuk kuartal ketiga, melainkan berkelanjutan di kuartal-kuartal seterusnya. Jika hanya melihat dua kuartal, yakni kuartal II dan III, maka sebenarnya negara-negara lain di dunia juga merasakan hal yang sama.
Hanya Tiongkok dan Vietnam yang mampu terlepas dari jurang resesi karena sudah siaga sedari awal munculnya pandemi. "Sedikit negara yang bisa menghindari, dan itu adalah negara-negara yang tidak terlepas dari penanganan covid-19 sejak awal, yaitu Tiongkok dan Vietnam. Mereka sejak awal memang sigap, dan sangat-sangat serius (menangani pandemi)," ucapnya.
Berangkat dari hal itu, Faisal menyarankan agar pemerintah fokus untuk mempercepat implementasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program ini diharap mampu meningkatkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang jeblok imbas pandemi.
Sektor ini pula yang bisa diandalkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi domestik. Sebab akan sulit bila pemerintah memaksakan untuk meningkatkan ekspor dan impor lantaran negara-negara lainnya juga mengalami hal yang serupa.
"Dari sisi kecepatan implementasi, memastikan bantuan sosial (bansos) tepat sasaran itu penting. Tapi tidak kalah penting juga adalah memastikan distribusinya cepat. Kita sekarang memang kondisinya tidak ideal, dua-duanya mesti jalan," tegas Faisal.
Langkah tersebut harus dilakukan, karena banyak masyarakat kalangan bawah yang tidak bisa menunggu lama-lama menerima penyaluran bansos dari pemerintah. "Dia kan bergantung pada pendapatan harian, bahkan banyak yang bergantung pada BLT (Bantuan Langsung Tunai), bahkan sebelum adanya wabah," kata Faisal.
Waktunya Investasi
Ketika berbicara resesi atau krisis akibat covid-19, ternyata tidak melulu hal negatif semata. Pasalnya, pandemi covid-19 justru memberikan angin segar bagi masyarakat untuk berinvestasi. Tidak ditampik, ketidakpastian seperti sekarang menjadi momen waktunya investasi, baik di komoditas logam mulia maupun di pasar saham.
Direktur Utama PT Bursa Berjangka Jakarta Stephanus Paulus Lumintang membenarkan pada masa pandemi covid-19 seperti sekarang telah terjadi peningkatan signifikan investasi di komoditas, terutama pada kontrak emas. Meski tidak dipungkiri, virus mematikan itu telah menimbulkan kerugian dari aspek perekonomian.
"Pandemi covid-19 ini sangat luar biasa. Bagi bisnis penerbangan, hotel, retail dan lain-lain banyak sekali mengalami penurunan, bahkan mengalami penutupan. Tapi di industri kita ini (komoditas berjangka) khususnya enam bulan ini peningkatan sangat signifikan," kata Stephanus.
Pimpinan Cabang PT Solid Gold Berjangka cabang Jakarta Dikki Soetopo meyakini tren emas tetap stabil di atas level USD1.900 per ons hingga akhir tahun. Hal itu sesuai dengan keyakinan para analis global yang menyatakan harga emas berpotensi menembus kembali rekor tertinggi di level USD2.100 per ons di akhir 2020 ini.
Ia menjelaskan alasan fundamental yang memperkuat hal ini adalah ketidakpastian ekonomi global dan resesi yang meluas ke banyak negara. Meski optimisme terhadap vaksin covid-19 cukup tinggi, lanjutnya, namun ekspektasi investor terhadap pemulihan ekonomi belum menyeluruh.
"Di tengah situasi pandemi, peluang investasi emas menjadi sangat menarik karena sifatnya yang safe haven. Artinya memiliki nilai yang stabil di tengah ketidakpastian ekonomi yang diakibatkan berbagai faktor. Kami tetap optimistis target volume transaksi 100 ribu lot dan 600 nasabah baru akan tetap terkejar meski dalam kondisi pandemi sekarang," kata Dikki.
Meski demikian, bukan berarti pandemi covid-19 sembarangan dalam berinvestasi. Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi) Mardani H Maming mengatakan tidak ada jalan lain untuk pengusaha berhemat dan memperhitungkan investasi di masa pandemi covid-19 jika ingin terus bertahan.
"Tidak ada jalan lain kecuali berhemat dan memperhitungkan investasi jangka pendek dan panjang. Di masa pandemi ini bertahan sudah bagus dan sebuah keberhasilan," kata Mardani.
Pasar Saham
Selain di logam mulia berupa emas, kondisi pandemi covid-19 seperti sekarang juga waktu yang tepat untuk berinvestasi di pasar saham. Pasalnya pasar modal sedang mengalami penurunan akibat pandemi virus korona (covid-19), sehingga harganya menjadi lebih murah.
Prospek itu bisa dilihat dari usai Hari Ulang Tahun ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada periode sepekan perdagangan yang singkat dari 18 Agustus hingga 19 Agustus 2020, pasar modal Indonesia masih mencatatkan peningkatan. Peningkatan tertinggi sebanyak 15,17 persen terjadi pada rata-rata volume transaksi harian bursa menjadi 11,912 miliar saham.
"Dibandingkan dengan pekan lalu sebesar 10,343 miliar saham," sebut Sekretaris Perusahaan BEI Yulianto Aji Sadono.
Peningkatan selanjutnya terjadi pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,48 persen atau pada level 5.272,810 dari 5.247,690 pada pekan sebelumnya. Kapitalisasi pasar bursa turut mengalami peningkatan sebanyak 0,47 persen pada pekan ini, menjadi sebesar Rp6.112,631 triliun dibandingkan pekan lalu sebesar Rp6.083,723 triliun.
Sedangkan rata-rata nilai transaksi harian mengalami perubahan sebesar 1,40 persen menjadi sebesar Rp9,106 triliun dari Rp9,235 triliun pada penutupan pekan sebelumnya. Rata-rata frekuensi transaksi harian juga mengalami perubahan sebesar 1,83 persen menjadi 686.170 kali transaksi dibandingkan pada pekan lalu sebesar 698.964 kali transaksi.
"Kalau memang punya cukup uang, sekarang ini saatnya untuk beli saham karena harganya lagi murah-murah. Kalau kita melihat ke depan usahanya punya prospek. Meskipun saat ini kita beli murah, itu enggak apa-apa," kata Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani.
Aviliani menambahkan jika masyarakat tak ingin investasi maka uang yang dimiliki bisa tetap disimpan di perbankan. Selain mendapatkan bunga simpanan, upaya ini bisa menghindari terjadinya banyak dana yang keluar dari sistem perbankan.
"Pasti pemerintah dengan kondisi seperti ini akan memberikan jaminan. Justru kalau banyak uang yang keluar dari sistem perbankan, ini akan memengaruhi sistem moneter kita dan menyebabkan ekonomi akan goyang," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id