Begitulah manusia. Padahal, di dalam agama Islam telah ada peringatan kepada manusia agar tidak merusak Bumi. Dengan menjaga kelestarian dan keseimbangan Bumi maka sama saja kita mewariskan dunia yang lebih baik bagi para generasi penerus. Namun sayangnya, sikap serakah dan tamak manusia tetap mendominasi kerusakan Bumi.
Di dalam agama Islam, Allah Subhanahu wa ta'ala telah memberikan peringatan kepada manusia. "Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah berbuat kerusakan di bumi', mereka menjawab, 'Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak merasa." (QS Al-Baqarah [2]:11-12).
Kemudian di dalam QS. Ar-Rum ayat 41, disebutkan "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Lantas apakah peringatan dari Allah Subhanahu wa ta'ala sudah dijalankan? Setiap orang pasti bisa menjawab dengan melihat situasi dan kondisi di Bumi sekarang ini.
Untungnya, negara-negara di dunia termasuk Indonesia mulai menyadari arti pentingnya kelestarian alam di Bumi. Pasalnya, perubahan iklim adalah ancaman yang sangat nyata di depan mata. Jika tidak diantisipasi sedini mungkin bukan tidak mungkin Bumi dan seisinya bakal merasakan efek negatif dari ketidakseimbangan alam.
%20bumi.jpg)
Pemanasan global pada 2020. Sumber: Medcom.id
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berpandangan dampak perubahan iklim dan pandemi covid-19 memiliki guncangan dan tekanan yang sama baik secara global maupun domestik. "Perubahan iklim adalah global disaster yang magnitude-nya diperkirakan sama dengan pandemi," kata Ani, sapaan akrabnya.
Ani menjelaskan semakin banyak negara melakukan pembangunan, semakin besar pula potensi terhadap kenaikan suhu dunia. Hal tersebut karena pembangunan akan mendorong penggunaan energi seiring tingginya mobilitas masyarakat sehingga berimbas terhadap SDA.
"Seluruh kegiatan manusia juga semakin menghasilkan CO2 emission atau emisi karbon yang mengancam dunia dalam bentuk kenaikan suhu," terang dia.
Karena itu, lanjutnya, banyak negara di dunia tengah berupaya menekan potensi kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat agar terhindar dari dampak perubahan iklim yang tidak menentu. Dari sisi pandemi, negara yang tidak siap sistem kesehatan, kemampuan fiskal, kedisiplinan, dan kemampuan untuk mendapatkan vaksin akan terkendala dampak paling berat.
"Momentum ini sekarang meningkat dalam beberapa pertemuan para pemimpin-pemimpin dunia," tambahnya.
Ia mengajak semua pihak menangani pandemi sekaligus perubahan iklim lantaran menjadi tanggung jawab ekosistem di seluruh dunia. "Tidak hanya bergantung pada satu aktor apakah pemerintah, satu negara meskipun dia powerfull sekalipun tidak akan bisa. Satu perusahaan tidak akan bisa, satu sektor tidak akan bisa. Ekosistem seluruh dunia harus berubah," tuturnya.
Hari Bumi
Pada peringatan Hari Bumi, seluruh dunia menghadapi tantangan global baru dan tidak dapat disangka yaitu virus korona covid-19. Duta Besar Inggris untuk Indonesia Owen Jenkins menyebutkan, sudah sepatutnya pemerintah dan warga dunia fokus untuk mengatasi pandemi global covid-19.
"Tetapi dunia tidak boleh lengah atas tantangan lain yang juga dihadapi oleh manusia yakni perubahan iklim. Aksi internasional juga tidak boleh mengendur," tegas Dubes Jenkins.
"(22 April) adalah peringatan ke-50 tahun Hari Bumi dan lebih dari satu miliar orang akan memperingatinya secara global. Sangat pantas bagi saya merayakan Hari Bumi di Indonesia. Sebuah negara yang berada di teratas terkait keragaman alam," imbuhnya.
Sebagai negara kepulauan, seperti halnya Inggris, Indonesia terancam akan meningkatnya permukaan laut. Indonesia dihadapkan pada ancaman kerusakan lingkungan lainnya, seperti hancurnya terumbu karang.
Banyak bukti memperlihatkan, masyarakat bisa meningkatkan ekonomi sekaligus melindungi lingkungan di saat bersamaan. Kadang cara ini lebih cepat dan murah untuk dilakukan.
Energi terbarukan saat ini dianggap lebih mudah dibanding bahan bakar dari fosil. Itu sebabnya manusia harus menggunakan sumber daya secara efisien mungkin. Energi bersih berarti pula udara dan air yang bersih. Di lain pihak, menunda tindakan mengatasi perubahan iklim akan menimbulkan akibat yang lebih besar di masa mendatang.
"Sukses dalam konteks berarti semua negara di dunia bisa memberikan masukan baru untuk mengurangi emisi yang memengaruhi atmosfer dan pada akhirnya menyebabkan perubahan iklim,” kata Dubes Jenkins.
Mencapai net zero emission
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar mengatakan, Pemerintah Indonesia terus berupaya mencari cara untuk mempercepat pencapaian net zero emission. Dalam peta jalan yang telah dibuat, Indonesia menargetkan bisa mencapai net zero emission pada 2060.
Dalam acara Media Group News Summit Series bertajuk 'Indonesia Green Summit 2021', Siti mengatakan pihaknya bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta stakeholder di sektor energi seperti PT Pertamina, PT PLN, Dewan Energi Nasional (DEN) beserta dunia usaha, mencapai net zero emission lebih awal menuju 2060.
"Indonesia berusaha mencari peluang untuk mempercepat pencapaian net zero emission di 2060 atau bahkan lebih cepat," kata Siti.
%20bumi.jpg)
Adapun Indonesia baru saja menyampaikan dokumen strategi jangka panjang atau Long Term Strategy (LTS) dan Long Carbon and Climate Resilience (LCCR) 2050 seperti yang dimandatkan dalam Perjanjian Paris pada negara-negara di dunia sebagai upaya bersama untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
LTS dan LCCR 2050 merefleksikan arahan jangka panjang yang akan menjadi pedoman dalam implementasi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dokumen tersebut menegaskan pencapaian untuk menuju net zero emission akan dicapai dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh.
Dokumen LTS LCCR 2050 disusun berdasarkan kondisi perekonomian, dan dengan mempertimbangkan semakin menurunnya kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta dengan meyakini pembelajaran atas rentannya kondisi sosio global menghadapi pandemi covid-19 dan tetap optimistis mengacu pada prospek pemulihan pascapandemi.
"Serta kebijakan nasional seluruh sektor saat ini sampai 2050," ujar dia.
Jakarta tenggelam
Adapun berita paling baru terkait ancaman perubahan iklim adalah prediksi Kota Jakarta bakal tenggelam dalam 10 tahun ke depan. Tak main-main, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden turut menyinggung prediksi kemungkinan Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun ke depan.
Ia menyinggung kondisi Jakarta dalam pidato mengenai perubahan iklim di kantor Direktorat Intelijen Nasional AS pada Selasa, 27 Juli lalu. Biden mengatakan, perubahan iklim menjadi salah satu ancaman terbesar Kementerian Pertahanan AS saat ini.
"Jika, pada kenyataannya, permukaan laut naik dua setengah kaki lagi, Anda akan memiliki jutaan orang yang bermigrasi memperebutkan tanah subur. Tapi apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya benar, bahwa dalam 10 tahun ke depan, mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena akan berada di bawah air," ucap Biden.
"Hal tersebut penting untuk diketahui dan dicari solusinya," tambahnya.
Biden meminta AS untuk bekerja sama dengan dunia dalam upaya mencegah dampak perubahan iklim lebih jauh. Ucapan Biden kemungkinan besar terkait dengan penelitian yang dikeluarkan oleh Badan Antariksa AS, (NASA). Lembaga itu juga pernah menyatakan bahwa Jakarta kian tenggelam akibat perubahan iklim dan sejumlah masalah lainnya.
Prediksi Jakarta tenggelam berdasarkan kondisi berbagai faktor. Beberapa faktor itu seperti, perubahan iklim, jumlah penduduk yang terus bertambah, eksploitasi air, kenaikan permukaan air laut, dampak pemanasan global, hingga pencairan lapisan es.
"Dalam beberapa dekade terakhir, masalah banjir semakin buruk. Sebagian terjadi karena pemompaan besar-besaran air tanah yang menyebabkan dataran tenggelam atau menyusut dalam waktu yang cepat," seru NASA.
Pemprov DKI Jakarta menepis
Merespons pernyataan orang nomor satu di AS, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menepisnya. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) menyebut DKI Jakarta memiliki program penanganan untuk mencegah hal itu. "Saya kira tidak seperti yang disampaikan demikian bahwa Jakarta akan tenggelam," kata Ariza.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria atau Ariza. Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Kendari demikian, Ariza tak memungkiri Jakarta berada di dataran rendah dan terjadi penurunan muka tanah setiap tahun. Namun, ia meyakini hal itu tidak berarti 10 tahun lagi Jakarta tenggelam. Ia menuturkan Pemprov DKI Jakarta tetap mengupayakan agar Jakarta tidak tenggelam.
Upaya itu mulai dari penyedotan air tanah hingga peningkatan pipanisasi oleh PAM Jaya untuk kebutuhan air bersih masyarakat. "Agar kebutuhan air bersih semua dari PAM, kami bersama Kementerian PUPR terus membuat program percepatan pipanisasi, air bersih, air minum di Jakarta terus ditingkatkan," ucap Ariza.
Penanganan banjir rob di utara Jakarta juga terus berjalan. Dirinya yakin formula-formula itu mampu mengurangi penurunan muka air tanah di Jakarta. "Insyaallah Jakarta tidak tenggelam 10 tahun lagi," ucap Ariza.
Pendanaan iklim
Terlepas dari persoalan tersebut, berbagai macam pihak terkait mulai menyadari dan bergotong-royong menyelesaikan persoalan perubahan iklim. Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB), misalnya, menyediakan USD80 miliar atau setara Rp1.168 triliun (kurs Rp14.600 per USD) untuk pendanaan iklim dari 2019 hingga 2030.
"ADB menyediakan setidaknya USD80 miliar dalam pendanaan iklim dari 2019 hingga 2030 secara kumulatif," kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa.
Asakawa menuturkan dana tersebut digunakan untuk membantu negara berkembang yang merupakan anggota dalam upaya mencapai net zero emission dan pembangunan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Asia Pasifik, lanjutnya, bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen emisi gas rumah kaca global.
Kemudian pada saat yang sama kawasan ini juga sedang menghadapi dampak perubahan iklim. Adapun beberapa langkah respons negara anggota dalam menanggulangi hal itu adalah dekarbonisasi secara cepat, adaptasi perubahan iklim, dan pembangunan ketahanan.
Upaya tersebut membutuhkan kerja sama internasional serta keuangan publik dan swasta yang kuat terutama di tengah pandemi yang menyebabkan ruang fiskal terbatas. Menerapkan hal tersebut dalam keadaan saat ini akan menjadi tantangan terutama karena ruang fiskal yang terbatas yang dimiliki negara-negara anggota berkembang sebagai akibat dari pandemi.
Oleh sebab itu, ADB berkomitmen untuk menyelaraskan operasinya dengan tujuan Perjanjian Paris dengan penyelarasan penuh terhadap sovereign operations pada 1 Juli 2023. Kemudian untuk penyelarasan nonsovereign operations akan mencapai 85 persen pada 1 Juli 2023 dan 100 persen persen pada 1 Juli 2025.
Senada dengan ADB, para pemimpin keuangan G20 mengakui penetapan harga karbon sebagai alat potensial untuk mengatasi perubahan iklim untuk pertama kalinya. Para pemimpin G20 mengambil langkah tentatif untuk mempromosikan gagasan tersebut dan mengoordinasikan kebijakan pengurangan karbon.
Langkah itu menandai perubahan besar-besaran dari empat tahun sebelumnya ketika pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara rutin menentang penyebutan perubahan iklim sebagai risiko global. Komunike memasukkan penyebutan penetapan harga karbon di mana negara harus berkoordinasi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Sementara itu, mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batu bara untuk menghasilkan listriknya -satu tahun lebih cepat dari rencana awal. Hal ini diumumkan oleh Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris Anne-Marie Trevelyan pada Rabu, 30 Juni.
Langkah ini merupakan bagian dari komitmen ambisius Pemerintah Inggris untuk melakukan transisi dari bahan bakar fosil dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan dalam rangka menghapus peran serta Inggris terhadap perubahan iklim pada 2050.
Ini juga berarti bahwa Pemerintah Inggris mempercepat batas waktu penghapusan batu bara dari sistem energi Inggris satu tahun lebih cepat. Tekad ini menegaskan kepemimpinan Inggris untuk bergerak lebih jauh dan lebih cepat dalam menurunkan emisi serta memimpin dengan memberikan keteladanan dalam memerangi perubahan iklim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News