Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu, 16 Desember 2020, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 terhadap triwulan III-2019 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 3,49 persen secara tahun ke tahun. Jika dirinci, tercatat konsumsi pemerintah pada kuartal III-2020 tumbuh 9,76 persen. Sementara konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen.
Sedangkan realisasi penanaman modal yang tercatat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) selama kuartal III sebesar Rp209,0 triliun atau naik sebanyak 8,9 persen secara kuartal ke kuartal dan naik 1,6 persen secara tahun ke tahun.

Sumber: BPS
"Satu-satunya komponen yang mengalami pertumbuhan positif dan sangat tinggi adalah konsumsi pemerintah yaitu sebesar 9,76 persen (di kuartal III). Konsumsi rumah tangga masih kontraksi, tapi tidak sedalam kuartal II, di mana konsumsi rumah tangga minus 4,04 persen," kata Kepala BPS Suhariyanto, November lalu.
Kondisi itu lantaran pandemi covid-19 yang mulai menghantam Indonesia pada awal tahun atau tepatnya covid-19 mulai masuk bumi Indonesia pada Maret 2020. Ketika masuk, sejumlah indikator ekonomi langsung tertekan drastis, mulai dari melemahnya konsumsi masyarakat, tertekannya investasi, tumbangnya laju bisnis, hingga ambruknya pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah upaya terus dilakukan pemerintah agar bisa keluar dari hantaman pandemi covid-19. Apalagi, pertumbuhan ekonomi yang minus di kuartal III membuat Indonesia menyandang gelar resesi karena mencatat pertumbuhan ekonomi minus dua kali berturut-turut yakni di kuartal II dan di kuartal III.
Lembaga Pengelola Investasi
Di antara upaya yang dilakukan pemerintah agar 'memanaskan' kembali mesin pertumbuhan ekonomi adalah membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF). Pemerintah akan meniru lembaga serupa yang sudah ada di berbagai negara dengan tujuan mengelola dana-dana investasi yang masuk.
Salah satu negara yang mempunyai lembaga pengelola investasi adalah Norwegia. Melalui Norway Oil Fund, lembaga ini memiliki dana kelolaan yang telah mencapai USD1.099 miliar atau merupakan yang paling tinggi di antara lembaga serupa di dunia.
Terkait lembaga yang akan mirip atau ditiru oleh lembaga yang dibentuk Pemerintah Indonesia adalah Russian Direct Investment Fund milik Rusia. Pasalnya lembaga ini memiliki tugas untuk menarik dana dari luar negeri untuk diinvestasikan di negaranya.
Saat ini Russian Direct Investment Fund mengelola dana mencapai USD10 miliar dengan investasi asing langsung empat kali lipat dari dana kelolaannya. Namun demikian, pemerintah tidak serta merta meniru 100 persen. Pemerintah, Dirjen Kekayaan Negara Kemenkeu Isa Rachmatarwata mengatakan akan mengambil best practice dari berbagai negara.
"Pada akhirnya tidak semuanya memang aplikabel di Indonesia, tapi kita juga banyak mengambil yang baik-baik dari sana karena memang kita ingin menciptakan satu SWF atau lembaga pengelolaan investasi yang berkelas dunia, berstandar internasional terutama untuk governance-nya," kata Isa.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan kehadiran SWF diharapkan bisa mendorong minat investasi. Dana yang terkumpul bisa digunakan untuk stimulus perekonomian.
Ia menambahkan selama ini Indonesia sangat bergantung pada sumber pembiayaan pembangunan jangka pendek saja. Akibatnya ketika terjadi tekanan di global, ada kemungkinan dana yang sudah masuk kembali keluar dari Indonesia.
"Ketika jangka pendek terjadi capital fly, kita kelimpungan semua, nilai tukar rupiah melemah, IHSG melemah, yang bisa memicu krisis. Kalau kita buat SWF maka investor asing ada kepastian menempatkan uangnya di Indonesia," jelas dia.
Pembentukan SWF ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Saat ini pemerintah tengah menyusun aturan pelaksana yang meliputi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai modal LPI, RPP tata kelola LPI, dan RPP perpajakan LPI.
Pemerintah menargetkan LPI bisa dibentuk pada awal 2021 seusia dengan target penyelesaian RPP-nya. Sementara itu, dana kelolaan dari LPI diharapkan bisa mencapai USD15 miliar atau tiga kali lipat dari modal awalnya sebesar USD5 miliar.
Promosi
Meski belum resmi terbentuk, pemerintah terus melakukan strategi marketing dan promosi kepada negara lain untuk menanamkan investasinya di Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir, misalnya, sudah berkunjung ke beberapa negara menawarkan SWF.
Bahkan di awal Desember ini, Luhut dan Erick yang melakukan kunjungan ke Tokyo, Jepang, menyatakan Gubernur Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Maeda Tadashi berkomitmen untuk memberikan pendanaan melalui SWF Indonesia. JBIC siap mendukung pendanaan SWF Indonesia sebesar USD4 miliar atau Rp57 triliun.
Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan komitmen yang disampaikan oleh Gubernur JBIC tersebut akan segera ditindaklanjuti di tingkat teknis dan harapannya investasi JBIC dapat mulai masuk ke Indonesia pada kuartal pertama 2021.
"Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur SWF Indonesia akan selesai pada pertengahan Desember ini dan tentunya PP tersebut tentunya akan semakin percepat pembentukan lembaga dana abadi Indonesia”, imbuh Erick.
Setelah melakukan lawatannya ke Jepang, Menko Luhut dan Menteri Erick dijadwalkan langsung bertolak ke Abu Dhabi dan Saudi Arabia guna jajaki dukungan untuk pembentukan SWF kepada pihak-pihak terkait lainnya.
Peroleh komitmen investasi
Upaya menggenjot investasi melalui SWF tidak ditampik secara perlahan mulai memperlihatkan hasil. Pasalnya, SWF yang belum dibentuk pemerintah sudah memperoleh komitmen investasi asing sebesar Rp84,5 triliun. Komitmen tersebut berasal dari Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
"Di akhir November 2020 lalu, US IDFC sudah tanda tangan minat untuk investasikan USD2 miliar ke LPI," kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Komitmen United States International Development Finance Corporation (US IDFC) ini diteken oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Jika dikonversi, nilai investasinya mencapai Rp28,1 triliun (kurs Rp14.098 per USD).
Sementara dari Jepang, Airlangga menyebut, Japan Bank for International Cooperation (JBIC) berkomitmen menginvestasikan USD4 miliar atau sekitar Rp56,4 triliun (kurs Rp14.098 per USD). Dengan begitu, kedua lembaga tersebut berniat menanamkan modal ke LPI mencapai Rp84,5 triliun.
Guna menjaring investasi tersebut dan potensi lainnya, pemerintah terus mengebut penyelesaian RPP LPI ini sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Pemerintah berharap pembentukan SWF bisa menjadi solusi untuk mendorong pemulihan ekonomi di tahun depan.
"Pemerintah telah merumuskan RPP LPI sebagai salah satu solusi. SWF bertujuan mengelola dana investasi yang berasal dari luar negeri dan dari dalam negeri sebagai sumber pembiayaan dan mengurangi ketergantungan terhadap dana jangka pendek," jelas dia.
Bidik 4 sektor
Lebih lanjut, pemerintah membidik investasi di empat sektor yakni pertambangan, energi, infrastruktur, dan kesehatan demi mendorong pemulihan ekonomi nasional. Fokus itu dipertegas salah satunya juga dikarenakan alat kesehatan dan bahan baku obat yang digunakan mayoritas berasal dari impor.
"Dengan persentase alat kesehatan dan obat impor 90 persen, ditambah lagi di masa covid-19 permintaan (produksi) akan meningkat, kami enggak tahu lagi bangsa kita mau mau jadi apa ke depan kalau tidak segera diupayakan. Jadi kami dorong betul industri kesehatan," jelas Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.
Untuk sektor pertambangan, pemerintah tengah berupaya melakukan hilirisasi sebagai upaya percepatan peningkatan nilai tambah batu bara yang dimiliki Indonesia. Dari sisi infrastruktur, pemerintah melakukan pemerataan penempatan investasi antara Jawa dan luar Jawa sesuai instruksi Presiden Joko Widodo. Presiden meminta investasi tidak hanya terpusat di Jawa.
Saat ini selisih antara investasi antara di Jawa dan di luar Jawa tidak jauh. Hal tersebut terlihat dari realisasi hingga kuartal III-2020 dengan investasi di Jawa mencapai Rp305,7 triliun atau setara 50,3 persen dan luar Jawa mencapai Rp30,4 triliun atau 49,7 persen.
"Jadi selisihnya enggak sampai satu persen, sehingga pembangunan infrastruktur terus didorong untuk juga menciptakan lapangan kerja di masa covid-19," tuturnya.
Keluar dari resesi
Di sisi lain, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berpandangan ekonomi Indonesia sudah keluar dari resesi karena terdapat beberapa perbaikan sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah, Bank Indonesia (BI), dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait. Industri perbankan pun memiliki likuiditas yang cukup untuk berkontribusi melalui fungsi intermediasi.
"Orang bilang ekonomi kita lagi resesi karena sudah dua kali berturut-turut negatif pertumbuhannya. Padahal kalau standar Amerika menghitungnya itu kuartal ke kuartal di kali empat. Itu kalau kita lakukan di angka-angka kita di kuartal ketiga sebetulnya kita sudah positif," kata Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa.
Jika menghitung dengan metode tersebut, Purbaya meyakini Indonesia sudah keluar dari resesi ekonomi. "Ekonomi kita sudah keluar dari masa resesi. Ini bukan optimisme yang berlebihan. Ini terjadi karena respons kebijakan yang baik dari pemerintah, bank sentral, maupun pengambil kebijakan di pemerintahan," tegasnya.
Ia menambahkan industri perbankan di Indonesia sekarang juga memiliki likuiditas yang kuat. Perbaikan likuiditas perbankan tidak lepas dari upaya pemerintah yang secara aktif melakukan injeksi terutama sejak semester kedua di 2020. Namun, Purbaya tidak memungkiri, pertumbuhan kredit masih perlu lebih didorong guna mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Saat awal mula pandemi terjadi, Purbaya mengakui, pada Maret, April, Mei, dan Juni industri perbankan di Indonesia tertekan signifikan dan terdapat beberapa bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Hal itu, dijelaskan Purbaya, lantaran masyarakat panik dan mengambil dananya dari sistem perbankan Tanah Air.
Namun untungnya, masih kata Purbaya, sudah ada perbaikan signifikan di perekonomian Indonesia terutama di sistem keuangan sejalan dengan upaya yang dilakukan pemerintah dan BI. Misalnya pemerintah memindahkan uang pemerintah di BI ke sistem perbankan yang akhirnya membuat likuiditas di perbankan tidak lagi ketat.
"Saat yang bersamaan bank sentral menambah likuiditas ke sistem perekonomian. Kita mulai melihat dampak yang cukup signifikan. Uang primer di sistem perekonomian yang tadinya tumbuh negatif sampai 15,4 persen, karena orang mengambil uangnya dari sistem keuangan, kemudian diinjeksi oleh BI membuat kondisi membaik dengan negatifnya berkurang," jelasnya.
Upaya yang dilakukan pemerintah dan bank sentral itu, tambah Yudhi, yang membuat perbankan yang awalnya kesulitan likuiditas kembali bisa bernafas lega. "Tadinya tidak semua megap-megap ada sedikit yang megap-megap. Sekarang semua sudah tenang karena uangnya sudah cukup kembali ke sistem perekonomian lagi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News