Ilustrasi (Foto: Metrotvnews.com)
Ilustrasi (Foto: Metrotvnews.com)

Survive di Arus Ketidakpastian

Angga Bratadharma • 19 Oktober 2017 12:39
medcom.id, Jakarta: Untuk terus bertahan bagi sebuah bank tentu bukan hal mudah, mengingat setiap waktu sebuah krisis keuangan atau krisis ekonomi bisa berdatangan tanpa mengenal waktu dan kondisi. Ketepatan dalam mengambil langkah cepat dan tepat sangat diperlukan agar bisa terus survive di tengah ketidakpastian dan perkembangan zaman.
 
Krisis ekonomi di 1997-1998, krisis ekonomi di 2008, dan krisis-krisis kecil lainnnya sudah datang tanpa 'mengetuk pintu' terlebih dahulu dan memberikan sedikit kejutan terhadap ekonomi Indonesia termasuk industri perbankan. Sudah terbukti banyak institusi yang tumbang akibat sejumlah krisis yang datang secara tiba-tiba dan mengubah peta bisnis di Tanah Air.
 
Di 1998, kata-kata 'keajaiban' seakan hilang ketika krisis ekonomi menghantam keras Indonesia secara mendadak. Usai merasakan pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan di tahun-tahun sebelumnya, Tanah Air harus merasakan guncangan luar biasa yang membuat indikator ekonomi berubah drastis dan memberikan beban berat bagi masyarakat.


 
Tidak hanya kondisi perekonomian yang tidak menentu, situasi politik juga kian memanas dan ujungnya aksi unjuk rasa besar-besaran bermunculan dengan pusatnya ada di Kota Jakarta. Bahkan, Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sempat diduduki para mahasiswa. Puncaknya adalah ketika Soeharto harus turun dari posisinya sebagai Presiden.
 
Baca: Melihat Peta 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK
 
Lalu di 2008, mungkin masih baru dalam ingatan, berawal di Amerika Serikat, Bank Amerika Serikat JP Morgan Chase terpaksa membantu Bank Investasi Bear Stearns yang merugi akibat spekulasi hipotek rumah. Di September 2008, Pemerintah Jerman mengambil alih Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bank pekreditan rumah besar di Amerika Serikat.
 
Baca: Pengusaha Ritel Modern Minta Anies-Sandi Berlaku Adil
 
Ini adalah langkah pertama maraton upaya penyelamatan yang belum ketahuan akhirnya. Beberapa waktu setelahnya bursa saham Amerika Serikat Wall Street dihantam 'Senin Hitam' di mana Bank investasi Lehman Brothers bangkrut. Saat itu, imbas langsung krisis keuangan Amerika Serikat mulai terasa di Jerman.
 

 
Melalui transfer otomatis, Bank Pembangunan Jerman KfW menyalurkan dana 300 juta euro lebih kepada Lehman Brothers yang sudah bangkrut. Kritik tajam pun terlontar dari kalangan politisi Jerman yang mengecam keteledoran para penanggung jawab KfW. Terlepas dari itu, Indonesia juga turut mendapatkan efek negatif terhadap risiko krisis tersebut.
 
Meski demikian, bank-bank yang mampu selamat dan berdiri kokoh hingga 2017 ini patut diapresiasi atas kekuatan yang dimiliki, baik dari segi langkah tepat dan cepat atas kebijakan yang diambil. Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, teknologi yang memadai, dan yang paling penting adalah mempertahankan nasabah loyal merupakan di antara hal yang diperlukan.
 
Melewati Fase Zaman
 
Bank Mayora, misalmya, di antara bank yang sudah melewati berbagai macam fase zaman hingga mampu memasuki usia ke-25 tahun. Bank Mayora telah berdiri sejak 28 Juli 1993. Dalam perjalanannya, Bank Mayora mengalami proses siklus pasang surut. Ujian terberat yang dialami termasuk seluruh perbankan Indonesia adalah ketika terjadi krisis moneter di 1997-1998.
 
<i>Survive</i> di Arus Ketidakpastian
Ilustrasi (Foto: Metrotvnews.com)
 
Banyak bank yang berguguran di masa itu. Bank Mayora menjadi salah satu yang sanggup bertahan dan tidak memerlukan rekapitalisasi. Salah satu strategi yang diambil agar terus survive adalah kontinu mengelola usaha berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Karenanya, usia ke-25 bisa menjadi bukti kematangan yang dimiliki.
 
Baca: Kemenhub Genjot Pembangunan Bandara di Timur Indonesia
 
Bank yang turut membantu pemerintah membangun bumi Papua ini terus berupaya mempertajam identitas bisnis sebaga bank retail dan konsumer. Perluasan ekspansi bisnis ke kawasan timur Indonesia pun dilakukan dengan harapan memperluas jangkauan bisnis dan memperkuat otot-otot bisnis agar lebih 'membumi' dan tahan terhadap krisis.
 

 
Adapun Bank Mayora membuka kantor cabang di Kota Ambon, Maluku. Maluku memiliki potensi besar dengan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar lima persen dalam lima tahun terakhir. "Pembukaan kantor cabang ini tentunya kita arahkan untuk menjangkau nasabah lebih dekat khususnya Maluku," kata Direktur Utama Bank Mayora Irfanto Oeij.
 
Baca: Kementerian PUPR Bangun 2.623 Km
 
Saat ini, jumlah jaringan kantor Bank Mayora sebanyak 43 kantor yang tersebar di Jabotabek, Bandung, Surabaya, dan Lampung. Guna memperkuat bisnis di retail dan konsumer, Bank Mayora terus mengimplementasikan sejumlah strategi yang salah satunya menghadirkan produk lending dan funding sejalan dengan kebutuhan masyarakat.
 
<i>Survive</i> di Arus Ketidakpastian
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
 
Bertahan hingga usia ke-25 tahun memang bukan perkara mudah. Bahkan, Bank Mayora harus terus melakukan transformasi secara berkelanjutan dari tahun ke tahun dengan membangun pondasi pertumbuhan yang lebih kokoh dalam berbagai aspek baik perkreditan, pelayanan jasa, teknologi informasi, sumber daya manusia, manajemen risiko maupun infrastruktur.
 
Jika ditelisik, Bank Mayora terus mempertegas tonggak sejarah yang ditulis. Untuk memperkuat binis retail dan konsumer, sejumlah kerja sama dengan pihak terkait terus dilakukan. Bahkan di kuartal III-2017, Irfanto Oeij sebagai nakhoda menyebut satu sektor yang tengah digodok untuk dioptimalkan oleh perseroan adalah industri pengolahan.
 

 
Tidak hanya itu, bank milik taipan ini juga menyasar sektor perdagangan besar dan eceran, real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan, serta penyediaan akomodasi, makanan dan minuman. Strategi tersebut dilakukan untuk memperkuat peta bisnis lantaran sampai kuartal ketiga di tahun ini Bank Mayora mencatat kredit tumbuh tipis sebanyak 4,42 persen.
 
Baca: Kawasan Industri Teluk Bintuni Masuk Proyek Percepatan
 
Kendati kredit tumbuh tipis, namun Bank Mayora berhasil mencatat pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) cukup signifikan. Hingga triwulan III-2017, DPK berhasil tumbuh 12,08 persen secara yoy. Sementara rasio kredit macet tercatat sebesar 3,02 persen. Jika merujuk pada laporan keuangan kuartal III-2016, jumlah tersebut meningkat dari posisi 1,83 persen.
 
<i>Survive</i> di Arus Ketidakpastian
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
 
Meski demikian, sampai akhir tahun, Irfanto mengaku pihaknya berupaya untuk menekan laju kredit macet bermasalah hingga ke level 2,5 persen. Sebagai informasi, berdasarkan laporan keuangan September 2017, perseroan tercatat telah menyalurkan kredit sebesar Rp3,54 triliun atau naik 4,42 persen secara yoy.
 

 
Sementara DPK yang berhasil dihimpun hingga September 2017 mencapai Rp4,23 triliun atau naik 12,1 persen dibandingkan posisi tahun sebelumnya sebesar Rp3,77 triliun. Meski kredit tumbuh satu digit, laba bersih perseroan sampai akhir September 2017 melonjak naik sebesar 306,32 persen dari Rp41,47 miliar di September 2016 menjadi Rp186,88 miliar.
 
Baca: Ekonomi RI di Jalur yang Benar
 
Masih baiknya kondisi keuangan termasuk kuatnya struktur permodalan sepertinya jadi alasan ditundanya aksi korporasi berupa pelepasan saham perdana atau Initial Public Offering (IPO). Lebih dari itu, Irfanto mengungkapkan, alasan lain ditundanya IPO karena kondisi ekonomi yang belum membaik serta beberapa indikator makroekonomi yang kurang mendukung.
 
Restrukturisasi
 
Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut industri perbankan terus melakukan restrukturisasi terhadap kinerja penyaluran kredit, termasuk terus melakukan konsolidasi. Bahkan, industri perbankan secara kontinu berusaha mengendalikan kredit macet bermasalah agar tidak semakin liar.
 

 
"Proses restrukturisasi penyaluran kredit yang penting sekarang ini. Memang masih mengalami NPL tapi itu proses restrukturisasi yang sebagian sudah dihapus. Ini bagian dari proses restrukturisasi dan konsolidasi," ungkap Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Wimboh Santoso, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
 
Baca: Indef: Pemerintah Perlu Mewaspadai Ekonomi Jelang Tahun Politik 2018
 
Wimboh tidak menampik industri perbankan masih dihadapkan pada persoalan NPL. Apalagi, harga komoditas dunia sedang turun dan memberikan efek tersendiri terhadap tingkat NPL perbankan di Tanah Air. Adapun hal itu lantaran ada banyak debitur yang dimiliki perbankan bergerak di sektor komoditas.
 

 
"Karena kemarin harga komoditas turun. Jadi NPL naik dan mulai membersihkan NPL. Di kredit komersial terkena terus dan dia reorientasi bisnis di kredit korporasi. Mereka reorientasi bisnis. Monitoring dikuatkan untuk memonitor para debitur. Diperkuat pengawasan dengan teknologi," ujar Wimboh.
 
Baca: Perkuat Kerja Sama Ekonomi, Menlu RI Menghadiri KTM D8
 
Sejauh ini, lanjut Wimboh, OJK belum memerlukan suatu kebijakan tersendiri untuk mendorong penyaluran kredit. Apalagi, pembiayaan di industri pasar modal cukup tinggi. Hal seperti ini memberikan pengertian bahwa industri jasa keuangan masih menggeliat dan diharapkan bisa terus meningkat hingga akhir tahun ini.
 
"Tetap perlu dimonitor dari bulan ke bulan. Hemat kami belum kelihatan dan tunggu di September. Kenapa Juni turun karena hari kerja pendek, hanya 20 hari. Hari pendek mau booking kredit lebih sedikit. Di Agustus harapannya lebih tinggi (kinerja industri perbankan)," pungkas Wimboh.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan