Masyarakat Hanoi menjadi contoh nyata. Kota di Vietnam Utara yang sarat dengan sejarah komunisme iniselalu antusias ketika mendengar kata sepak bola, khususnya Timnas Vietnam.
Pria dan wanita, tua hingga muda, semua berbaur menjadi satu setiap Vietnam bertanding di Kualifikasi Piala Asia U-23, pada 22-26 Maret. Stadion Nasional My Dinh, yang awalnya lelang seketika dipenuhi orang-orang beratribut merah.
Mungkin pemandangan itu biasa bagi saya dan 14 jurnalis lain dari Tanah Air yang berkesempatan hadir langsung ke Hanoi. Namun pengalaman umum yang biasa dijumpai di kota asal kami sontak berubah di malam terakhir kami di Hanoi.
Selasa 26 Maret malam, saya dan dua rekan jurnalis dari Indonesia memutuskan keliling Hanoi selepas pertandingan terakhir Timnas Indonsia U-23 di Grup K. Kami menjelajah kota dengan perasaan senang karena akhirnya Garuda Muda meraih kemenangan meski gagal lolos kualifikasi.
Egy Maulana Vikry Cs menang atas Brunei Darussalam dengan skor 2-1. Obat penawar kekecewaan setelah dua kali Timnas U-23 dikandaskan Thailand dengan skor 0-4 dan Vietnam 0-1.
Sesaat setelah Vietnam memastikan kemenangan 4-0 dari Thailand dan menjadi juara grup, keramaian di stadion menular ke jalan kota Hanoi. Warga kota berbondong pawai menggunakan kendaraan merayakan keberhasilan Vietnam lolos putaran final Piala Asia U-23.
Malam itu, seisi kota berpesta. Bahkan hingga Ta Hien Street, jalan kecil di pusat kota Hanoi, sekitaran distrik Old Quater (jika di Jakarta layaknya kawasan Kota Tua). Salah satu kedai mie di sana menjadi pilihan makan malam menghangatkan badan, karena cuaca Hanoi sempat menyentuh 16 derajat celcius.

Pawai juara di salah satu sudut jalan Ta Hien Street di pusat kota Hanoi, Vietnam.
Warga lokal dan turis asing berkumpul di kedai membicarakan pertandingan. Saya bersama dua teman mecoba berbaur dengan warga merayakan kemenangan Vietnam, yang harus diakui cukup mengesankan karena membantai Thailand empat gol.
Mengetahui dari Indonesia, kami saling melempar pujian dan ucapan selamat. Meski tak dipungkiri mereka sempat mengejek kami karena Timnas U-23 kalah oleh Vietnam pada pertandingan kedua Grup K.
Tentu saya tak ingin kalah. Ejekan itu pun saya konversi ke statistik pertemuan Indonesia kontra Vietnam di semua ajang. Apalagi bulan lalu Timnas U-23 berhasil mengalahkan Vietnam 1-0 saat menjuarai Piala AFF 2019 Februari lalu.
Tak hanya itu, kami mencoba menyombongkan diri dengan mengumbar statistik sejak pertemuan lampau. Di mana Indonesia mampu meraih tujuh kemenangan dan lima kekalahan serta delapan kali imbang dari Vietnam.
Saat itu pula saya menyadari jika ada yang tak beres dari bembahasan kami soal sepak bola. Kedai mie yang ramai sekejap menjadi hening, dan dalam beberapa detik para pria yang berbincang dengan kami berdiri dari tempat duduknya.
"Apa yang kamu bicarakan? Malam ini kami menang," tegas seorang pria dengan menenteng sebotol bir di tangan yang hampir melayang ke arah kami.
Sontak, saya bersama dua rekan langsung terdiam memperhatikan seisi kedai yang menatap kami. "Sudahlah, mari kita bersenang-senang, malam ini saya traktir," sambung Hoang Xuan Khanh, pria yang akhirnya berkenalan dengan kami.
Pagi harinya, selepas berpesta dengan warga Hanoi, saya menemui teman di sekitar hotel tempat bernaung selama sepekan di sana. Kebetulan saya berkenalan dengan warga lokal yang bekerja di hotel tersebut dan kami berteman cukup akrab, lantaran ia fasih berbahasa Inggris.
Kejadian di kedai mie langsung saya ceritakan kepadanya dan ia pun merespons kaget. "Kamu cukup berani berbicara seperti itu setelah Vietnam menang," ujar Bui Thuy Chi, teman yang saya kenal selama sepekan di Hanoi.
Menurutnya, jangan pernah menghardik dan mejelekkan Timnas Vietnam di depan masyarakat saat mereka sedang berkumpul. Teman saya menjelaskan, mayoritas warga Vietnam lebih fanatik dengan Timnas mereka, ketimbang klub lokal di kota asalnya.
Contohnya masyarakat Hanoi, mereka bahkan tidak peduli bagaimana nasib tim kota mereka, Hanoi FC, berkompetisi di Liga Vietnam (V League 1). Padahal, sejauh ini Hanoi FC mampu berada di posisi kedua klasemen V League 1.
Namun, bagaimana pun suporter Vietnam menjadi salah satu basis suporter yang cukup membuat saya 'angkat topi'. Mereka tetap bisa memberikan rasa aman dan nyaman kepada suporter lain seperti wanita dan anak-anak.
Terbukti, dari dua pertandingan pertama Vietnam di Kualifikasi Piala Asia U-23, wanita dan anak-anak tetap berbondong datang ke Stadion My Dinh. Suporter tim berjuluk The Golden Stars itu tetap mampu menjaga situasi kondusif, sehingga sepak bola bisa dinikmati semua kalangan, termasuk wanita dan anak-anak.
Suasana yang cukup lama saya impikan bisa kembali hadir di Tanah Air, di mana suporternya lebih fanatik lagi ketimbang di Vietnam. Namun masih didominasi kaum pria, ketimbang wanita dan anak-anak saat datang ke stadion.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(PAT)