\ Menguji Lagi Ketekunan Jogi
Skuat Jerman. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)
Skuat Jerman. (Foto: AFP/Patrik Stollarz)

Menguji Lagi Ketekunan Jogi

Bola analisis piala dunia 2018
Wandi Yusuf • 17 Juni 2018 08:24
Menguji Lagi Ketekunan JogiMICHAEL BALLACK paling berang mengetahui nama Leroy Sane tak ada di daftar pemain Jerman untuk berlaga di Piala Dunia 2018. Gelar pemain muda terbaik Liga Inggris yang disandang Sane bersama Manchester City tak sedikit pun memantik rasa bangga sang pelatih, Joachim Loew.
 
Eks kapten Jerman itu bukan hanya mengkhawatirkan kedalaman skuat Die Mannschaft, tapi juga masa depan Sane. "Amat disayangkan, seorang pemain muda terbaik harus tinggal di rumah. Padahal, dia sudah menunjukkan semua kualitasnya," kata Ballack, memagut laman Archyworldys.
 
Saking sayangnya kepada Sane, Ballack sampai meminta Pep Guardiola, pelatih Manchester City, untuk tetap memberinya semangat. "Pep harus bisa meningkatkan lagi kepercayaan dirinya jika tak ingin melihat dia frustrasi," kata Ballack melansir The Telegraph.
  Di Manchester City, pemain keturunan Senegal ini bak pebalet di tubir lapangan. Liukannya kerap mengelabui bek-bek kanan tangguh macam Antonio Valencia (Manchester United), Cesar Azpilicueta (Chelsea), Nathaniel Clyne (Liverpool), Kieran Trippier (Tottenham Hotspurs), atau Hector Bellerin (Arsenal).
 
Dari 49 kali bermain musim ini di Liga Inggris, sebanyak 14 gol dan 19 umpan akurat berhasil dia torehkan untuk The Citizens. Laman Fourfourtwo menyebut capaian itu adalah yang terbaik yang pernah ditorehkan si kribo di level klub.
 
Tak ada penjelasan gamblang yang dilontarkan Loew atas keputusannya tak memasukkan Sane. Penggila sepak bola hanya dihadapkan pada tiga kemungkinan. Pertama, gaya permainan Sane yang klasik karena hanya merutuk di pinggir lapangan. Kedua, kegagalan dia membuktikan diri saat berseragam Jerman. Dan ketiga, Loew kurang sreg dengan kepribadiannya yang disebut sulit diatur dan penyendiri.
 
Ada satu nama yang kemudian menjadi antagonis atas tersingkirnya Sane. Dialah Julian Brandt. Keduanya punya kemiripan: Muda, kencang, dan berbahaya. Tapi, pelatih yang akrab disapa Jogi oleh para pemainnya itu kadung kepincut permainan Brandt.
 
Wonderkid ini kerap berlari diagonal, mencari celah di antara jangkar dan pilar pertahanan lawan. Tiba-tiba dia ada di depan gawang dan menyalak: Gol!
 
Brandt adalah seorang petarung. Sane juga petarung, sayang dia kurang beruntung.

Baca: Messi: Penalti Itu Menyakitkan, tapi Menolak Panik


Evolusi Jogi
Kritik sudah tak asing bagi Loew atau Low atau Jogi. Sejak didapuk menakhodai sendirian Der Panzer pada 2006, ia tak pernah sepi dari teguran fan. Kala masih berduet dengan Juergen Klinsmann, Jogi memang menjadi nomor dua di timnas Jerman. Perannya jarang terlihat. Jangan heran, begitu ditunjuk menjadi bundestrainer, suporter tak puas.
 
Kenapa? Sebagai pemain, kariernya tak sementereng pelatih-pelatih Jerman sebelumnya seperti Klinsmann, Rudi Voller, Berti Vogts, dan Franz Beckenbauer. Mereka berstatus superstar saat membawa Jerman meraih Piala Dunia saat jadi pemain. Sementara Jogi, paling tinggi hanya memegang caps empat kali, itu pun untuk timnas Jerman di bawah usia 21 tahun.
 
Maka, sudah diduga ketika 72 persen warga Jerman—dalam jejak pendapat di situs Goal.com— tak setuju Jogi memimpin Jerman mengarungi Piala Dunia 2014 di Brasil. Celakanya, Deutscher Fussball-Bund (PSSI-nya Jerman) justru percaya Jogi bakal tampil bergigi di Brasil.
 
Kepercayaan DBF tak disia-siakan. Jogi meneruskan gaya memimpin Klinsmann dengan sedikit perombakan. Militansi tetap menjadi ciri khas. Bedanya, di tangan Jogi Jerman tak bertumpu pada satu pemain. Tak ada pemain yang merasa menguras tenaga sendiri seperti yang pernah diakui Michael Ballack pada semifinal Piala Dunia 2006.
 
Loew memangkas jarak antara pelatih dan pemain. Kolumnis asal India, Anirudh Menon, mencatat Loew bekerja amat rinci. Dia sambangi satu per satu pemain. Bicara secara personal di ruang ganti hingga tetap di pinggir lapangan saat para pemain Die Mannschaft berlatih teknik dasar.
 
"Kita harus membuat yang sederhana menjadi istimewa. Permainan dengan atau tanpa bola, menekan, mengelabui, bersikap pada satu situasi, dan menemukan solusi di situasi sempit," kata Loew.
 
Dari kerja detailnya itu, Jogi menggeser pola baku 4-4-2 yang dipakai Klinsmann menjadi 4-2-3-1. Pola itu pun tak saklek dipakai, kadang ia ubah menjadi 4-4-1-1 saat mendapat tekanan lawan.
 
Tak hanya mengagungkan presisi, Loew juga sosok yang rendah hati. Jurnalis senior Jerman pernah berujar Loew adalah sosok yang dihormati para pemainnya. "Mereka diperlakukan seperti orang dewasa. Loew jarang memerintah pemain. Dia justru mendorong perdebatan dan lebih banyak mendengar keluhan pemain. Keputusan Loew kerap hadir dari masukan pemain."
 
Loew tak menampik kebiasaannya itu saat diwawancarai jurnalis Zeit jelang Piala Dunia 2014. "Anda tak bisa hanya berkata (ke pemain): 'Lakukan ini! Sekarang atau tidak sama sekali!'"
 
Dari filosofi Loew kemudian lahirlah Timnas Jerman yang evolusioner. Kebergantungan terhadap satu atau dua pemain ditinggalkan. Permainan cepat yang menggebu-gebu juga diredam. Tim Uber Alles membangun serangan lebih sabar dan cenderung lebih lambat. Begitu para pemain lawan lengah dan lelah, mereka langsung menyengat melalui serangan balik. Plak!
 
Di Piala Dunia 2014, Brasil takluk 7-1 di kandang sendiri pada semifinal. Di babak final, Jerman pun bisa memukul Argentina dari buah ketekunannya membangun serangan hingga babak tambahan waktu hampir berakhir. Mario Goetze menyelinap di antara barisan pertahanan La Albiceleste dan menaklukkan kiper Sergio German Romero. Jerman juara dunia untuk keempat kalinya.

Baca: Joachim Loew: Sulit Pertahankan Gelar Piala Dunia


Menguji ketekunan
Jelang Piala Dunia 2018, tugas Jerman lebih berat karena berstatus juara bertahan. Hasil lima pertandingan persahabatan terakhir pun menunjukkan betapa Jerman seperti kehilangan fokus. Empat kali kalah dan hanya menang tipis atas Arab Saudi. Padahal, catatan sempurna mereka torehkan saat kualifikasi dengan hanya kebobolan tiga gol dari sepuluh pertandingan.
 
Berita soal tidak dipanggilnya bocah ajaib Leroy Sane semakin menambah kekhawatiran. Loew harus bisa membuktikannya jika keputusannya tepat. Setepat saat ia pertama kali mengorbitkan Mesut Oezil, Toni Kroos, Manuel Neuer, Sami Khedira, Jeremy Boateng, dan Mats Hummels pada 2014.
 
Saat itu banyak orang mempertanyakan kemampuan mereka yang notabene minim pengalaman di Piala Dunia. Nyatanya, para pemain itu membuktikan bahwa Jerman bukan sekadar kumpulan individu. Jerman adalah sistem yang dikelola seorang Anakin Skywalker (tokoh ikonik dalam film epik Star Wars) bernama Joachim Loew.
 
Julukan Anakin disematkan kepada Loew oleh Axel Falk, kolumnis lepas, atas kemampuannya menyeimbangkan 'force' (kekuatan) Timnas Jerman. Di dalam film Star Wars, 'Force' tak ubahnya sebagai Tuhan. Axel menggambarkannya dengan sangat indah, "Campuran sempurna dari kesadaran menyerang dan bertahan, dikombinasikan dengan keterampilan individu yang hebat."
 
Bisa jadi, tak dipanggilnya Sane oleh Loew atas pertimbangan 'force' ini. Dia khawatir keseimbangan tim menjadi tak terjaga dan Jerman terjegal di Rusia, tuan rumah Piala Dunia 2018.
 
Apa pun itu, jika Loew bisa tetap tekun menyeimbangkan kekuatan Jerman, meraih trofi bukan perkara sulit. Benar apa kata legenda hidup sepak bola Inggris, Gary Lineker: Sepak bola adalah permainan sederhana yang mempertemukan 22 pemain di lapangan. Dan pada akhirnya, Jerman yang akan juara!
 
Tak ingin ketinggalan update berita bola dan olahraga? Follow instagram kami@medcom_olahraga
 
Video: Keseruan Suporter Jelang Rusia vs Arab
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(ASM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif