\ Sukses Thailand, Pelajaran buat Indonesia
Para pemain Thailand berpose usai menjuarai Piala AFF 2014 (Foto:  AFP PHOTO / MOHD RASFAN)
Para pemain Thailand berpose usai menjuarai Piala AFF 2014 (Foto: AFP PHOTO / MOHD RASFAN)

Sukses Thailand, Pelajaran buat Indonesia

Bola piala aff 2014 timnas indonesia
Achmad Firdaus • 21 Desember 2014 21:44
medcom.id, Jakarta: Thailand sukses menahbiskan diri sebagai juara Piala AFF 2014 usai menumbangkan Malaysia di final. Kesuksesan ini membuat skuat Gajah Putih kini bersanding dengan Singapura sebagai negara dengan pengoleksi gelar terbanyak; 4 kali juara!
 
Thailand nyaris gagal membawa pulang gelar juara setelah tertinggal 0-2 pada babak pertama di leg kedua final. Beruntung, Charyl Chappuis dan kawan-kawan berhasil bangkit dan mencetak dua gol balasan di 10 menit terakhir laga.
 
Meski kalah 2-3, Thailand berhak atas gelar juara lantaran unggul agregat 4-3, menyusul kemenangan 2-0 pada leg pertama di Stadion Rajamanggala, Bangkok. Pelatih Kiatisuk "Zico" Senamuang mengaku bangga melihat perjuangan anak asuhnya. Meski beitu, dia sempat ragu pemainnya bisa bangkit di Stadion Nasional Bukit Jalil.
  "Saat tertinggal 2-0 di babak pertama, saya katakan kepada pemain, apakah mereka ingin bermain atau sebaliknya. Jika jawaban mereka tidak, dan ingin kalah, mereka bisa langsung kembali ke rumah (tak perlu mainkan babak kedua). Saya bangga dengan perjuangan anak-anak muda ini," ujarnya bercerita soal motivasi yang diberikannya di ruang ganti.
 
Secara keseluruhan, Thailand memang pantas keluar sebagai juara. Bukan bermaksud tidak menghormati kontestan lain, tapi skuat Thailand memang bisa dikatakan yang paling siap dan punya atribut komplet untuk jadi juara. Lantas, apa yang jadi kunci sukses mereka?
 
Regenerasi
Regenarasi jadi kunci Thailand, dan Kiatisuk berperan penting di dalamnya. Sejak ditunjuk jadi pelatih Timnas Thailand (termasuk U-23) pada 2013, Kiatisuk langsung melakukan terobosan berani.
 
Pemain-pemain yang dinilai sudah melewati masa emas (meski belum tua), ditinggalkannya. Sebagai gantinya, dia memasukkan para pemain muda yang dinilainya punya kualitas serta motivasi yang tinggi untuk mengejar sukses.
 
Nama-nama besar seperti Datsakorn Thonglao (30 th), Teeratep Winothai (29) dan kiper kawakan Sinthaweechai "Kosin" Hathairattanakool (32) tidak lagi dipanggil. Sebagai gantinya, dia memasukkan mayoritas pemain muda seperti Charyl Chappuis (22), Chanatip Songkrasin (21) dan Adisak Kraisorn (23) untuk menggantikan peran Teerasil Dangda yang tidak mendapatkan izin dari klubnya, Almeria.
 
Regenerasi yang dilakukannya ini pun langsung membuahkan hasil. Timnas Thailand U-23 menyabet medali emas SEA Games 2013, Myanmar. Di ajang Asian Games 2014, Incheon, Korea Selatan, Thailand U-23 juga sukses menembus semifinal (juara keempat).
 
Sukses ini semakin membuat pria 41 tahun yang menyumbangkan tiga gelar Piala Tiger ini percaya diri untuk mengandalkan pemain-pemain muda tersebut untuk tampil di level bergengsi seperti Piala AFF 2014. Jadilah, dia menempatkan mayoritas pemain di SEA Games untuk menghuni skuat untuk AFF.
 
Dari 22 pemain yang dibawanya, rataan usia para pemain Thailand ialah 24,1. Kiatisuk hanya membawa satu pemain yang berusia di atas 30 tahun yakni, Chayapat Kitpongsritada (31), itu pun hanya dijadikan pelapis.
 
Kerja kerasnya selama satu tahun itu pun terbukti berhasil. Thailand jadi lebih bertenaga. Permainan mereka juga sangat kompak, karena mayoritas dari mereka sudah cukup lama tergabung di skuat U-23. Pembinaan serius yang dia lakukan pun terbukti berhasil dengan sukses di Piala AFF 2014.
 
Pencapaian ini membuat Kiatisuk mencatatkan rekor sebagai sosok yang sukses merebut trofi Piala AFF saat masih jadi pemain dan juga pelatih.
 
Indonesia Butuh Regenerasi
Melihat sukses Thailand ini, Indonesia sepertinya harus meniru langkah yang ditempuh Kiatisuk Senamuang. Regenerasi harus segera dilakukan!
 
Di Piala AFF 2014 lalu, Indonesia tercatat sebagai tim dengan rataan usia paling tua (28 tahun). Pelatih Alfred Riedl masih mengandalkan pemain-pemain veteran seperti Cristiano Gonzales (38th), I Made Wirawan (32), M Ridwan (34), Firman Utina (32), dan Sergio Van Dijk (32).
 
Regenerasi memang dilakukan dengan memanggil pemain-pemain jebolan timnas U-23 seperti Zulham Zamrun (26), Ramdani Lestaluhu (23), Manahati Lestusen (21) dan kapten Timnas U-19, Evan Dimas Darmono.
 
Sayangnya, pemain-pemain muda ini kurang mendapatkan kepercayaan untuk tampil. Ramdani sama sekali tidak bermain. Evan Dimas hanya tampil di pertandingan terakhir. Hanya Zulham yang mendapat menit bermain yang cukup.
 
Hasilnya bisa dilihat dari tiga pertandingan babak penyisihan grup. Performa Indonesia kedodoran di babak kedua. Kekalahan 0-4 dari Filipina yang menjadi sejarah baru itu, bukti nyatanya. Indonesia yang hanya tertinggal 0-1 di babak pertama, harus kebobolan tiga gol di babak kedua, lantaran tak mampu meladeni energi para pemain Filipina.
 
Sukses Thailand, Pelajaran buat Indonesia
Kekecewaan para pemain Timnas Indonesia usai takluk 0-4 dari Filipina di Piala AFF 2014 (Foto: MI/Ramdani)
 
Bicara sepak bola modern seperti sekarang ini, pengalaman saja tidak cukup untuk tampil di sebuah kompetisi. Selain taktik jitu, dibutuhkan fisik yang siap untuk berlari selama 90 menit. Kita harus segera menyadari hal itu. Jangan hanya memilih pemain karena mereka senior, sudah pengalaman di Timnas, atau punya kedekatan dengan pelatih. Apalagi "pesanan".
 
PSSI selaku induk organisasi sudah menyadari hal itu. Setelah memecat Alfred Riedl, mereka menunjuk Direktur Teknik asal Belanda, Pieter Huistra yang punya perhatian besar soal pengembangan usia dini. Hal itu merujuk trek record-nya sebagai pelatih di sejumlah klub junior Belanda. Termasuk Ajax Amsterdam.
 
Masyarakat yang rindu akan prestasi timnas Indonesia tentu berharap banyak padanya. Mudah-mudahan meneer 47 tahun itu benar-benar bekerja maksimal. Bukan sekadar menjual nama atau hanya kedok petinggi PSSI untuk menunjukkan keseriusan mereka dalam hal pembinaan usia dini yang selama ini kerap dilupakan.
 
Indonesia sebenarnya punya fondasi yang kuat di dalam skuat Timnas U-19. Mantan anak-anak asuh Indra Sjafri ini adalah juara di Asia Tenggara di kelompok U-19. Mereka harus terus dibina. Jangan sampai kualitas yang mereka miliki jadi sia-sia.
 
Satu hal selain regenerasi, yang harus dilakukan PSSI ialah memperbaiki sistem kompetisi LSI. Terutama dalam hal jadwal kompetisi.
 
Tahun ini, Liga Super Indonesia baru berakhir sekira dua pekan sebelum bergulirnya Piala AFF. Hal itu membuat para pemain yang menghuni skuat inti baru bergabung dan melakoni pelatihan sekitar satu minggu sebelum turnamen.
 
Rentang waktu itu tentunya tidak cukup untuk mempersiapkan tim. Mudah-mudah hal ini bisa dibenahi sehingga tak ada lagi alibi "kelelahan" atau "persiapan mepet" setiap kali gagal bersinar di sebuah turnamen.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(ACF)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif