.jpg)
Padahal setelah mendukung langkah Menpora untuk membekukan PSSI, Presiden Joko Widodo memerintahkan untuk segera menggulirkan kompetisi. Bahkan ketika itu sempat dimunculkan rencana untuk memulai turnamen sebelum puasa. Namun semua rencana itu tidak pernah terealisasi.
Anggota Tim Transisi Zuhairi Misrawi sempat juga mengungkapkan tentang rencana untuk menggelar turnamen Piala Kemerdekaan. Bahkan ketika itu ia dengan yakin mengatakan bahwa dirinya akan mengumumkan para peserta Piala Kemerdekaan pada tanggal 13 Juni.
Namun, sampai sekarang tidak pernah ada kejelasan tentang penyelenggaraan Piala Kemerdekaan. Kita tidak tahu seperti apa pesertanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana format kompetisinya.
Klaim Zuhairi tentang tiga promotor yang akan melaksanakan turnamen sudah dimentahkan oleh salah satu event organizer. Mahaka Sport membantah penyelenggaraan turnamen yang akan mereka lakukan sebagai bagian dari program kerja Tim Transisi.
Bagaimana insan sepak bola percaya bahwa Tim Transisi akan mengelola sepak bola dengan benar, apabila janjinya tidak pernah terpenuhi. Padahal apa yang diucapkan, seharusnya merupakan janji yang harus dipenuhi. "Your words is your bond."
Sulitnya Berdialog
Ingkar janji yang kedua dilakukan Menpora Imam Nahrawi. Dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR, Menpora menyetujui kesepakatan untuk melakukan komunikasi dengan PSSI. Komisi X DPR berharap ada "win-win solution" antara Kemenpora dan PSSI agar sepak bola Indonesia bisa diselamatkan.
Ternyata sampai tenggat waktu 23 Juni, Menpora tidak juga berkomunikasi dengan PSSI. Mereka justru mengundang mantan Ketua Umum PSSI Djohar Arifin seorang diri. Dalihnya, Menpora sudah membekukan kepengurusan PSSI tanggal 17 April, sehingga pengurus sebelum itulah yang dianggap sah.
Kalau Menpora berpandangan bahwa kepengurusan PSSI sebelum 17 April yang dianggap sah, seharusnya semua pengurus lama yang diundang. Sebab yang akan dibicarakan bukan masalah individual, tetapi urusan organisasi.
Kepengurusan lama PSSI bukan hanya Djohar Arifin seorang. Ia mempunyai wakil ketua dan anggota komite eksekutif. Masih juga ada Sekretaris Jenderal yang mengurusi teknis keseharian PSSI.
Langkah yang ditempuh Menpora itu mencerminkan tidak adanya niat yang tulus dari pejabat tertinggi olahraga Indonesia untuk menyelesaikan persoalan. Ia membawa persoalan ke ranah politik, padahal seharusnya persoalan ini diselesaikan dengan semangat olahraga, yaitu sportivitas.
Kita sungguh merasa prihatin ketika seorang pejabat tinggi negara lebih menonjol kebencian, daripada sikap kenegarawanan. Seorang pejabat negara seharusnya menunjukkan sikap kebapakan dan merangkul semua pihak untuk menjadikan mereka bagian keluarga olahraga.
Kalau sikap kebencian yang terus ditonjolkan, maka kita tidak pernah akan bisa menyelesaikan persoalan. Kekisruhan sepak bola nasional hanya akan bisa kita urai apabila ada semangat kebersamaan untuk memperbaiki kerusakan yang ada.
Semakin Berat

Sebagai pejabat negara, Menpora seharusnya tidak perlu malu untuk mengalah. Kalau pun ia menerima La Nyala Mattallitti bersama Djohar Arifin, ia hanyalah wakil ketua umum dari pengurus PSSI yang lama.
Dengan mengundang La Nyalla bersama Djohar, Menpora tidak akan dilihat kalah. Ia justru menjadi pemenang, karena setidaknya bisa duduk bersama dan menyelesaikan persoalan yang ada di tubuh PSSI.
Sekarang dengan sikap seperti ini, maka sepak bola Indonesia akan mati suri lebih lama. Untuk menghidupkannya kembali akan lebih sulit, karena membutuhkan energi yang semakin besar.
Ibarat semua mesin, PSSI adalah mesin besar. Energi yang dibutuhkan untuk memutar mesin yang besar di mana pun akan membutuhkan energi yang besar.
Kalau pun segera tercapai kesepakatan untuk mencabut pembekuan PSSI, langkah yang kita lakukan untuk bisa kembali diterima FIFA harus menunggu rapat Komite Eksekutif organisasi sepak bola itu bersidang. Kemudian untuk memutar kembali roda kompetisi, membutuhkan waktu klub-klub mengumpulkan kembali para pemain dan melatih kebersamaan.
Semua persoalan ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya arti sebuah kedewasaan. Hanya kedewasaan itu yang membuat orang mau berpikir panjang, sebelum mengambil keputusan. Sebab, pepatah mengajarkan kita, "pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RIZ)