\ Revolusi Tanpa Rencana
 Pemain Timnas Indonesia U-23 melambaikan tangan usai mengalahkan Timnas Brunei Darussalam pada pertandingan kualifikasi Grup H Kejuaraan Piala Asia (AFC) U-23 Tahun 2016 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (29/3). Timnas Indonesi
Pemain Timnas Indonesia U-23 melambaikan tangan usai mengalahkan Timnas Brunei Darussalam pada pertandingan kualifikasi Grup H Kejuaraan Piala Asia (AFC) U-23 Tahun 2016 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (29/3). Timnas Indonesi

Revolusi Tanpa Rencana

Bola kisruh pssi
Suryopratomo • 02 Juni 2015 19:14
Revolusi Tanpa Rencana
 
KETIKAsaya diminta menulis untuk Buku "Revolusi Mental" Presiden Terpilih Joko Widodo, saya menulis perlunya jalan revolusi seperti yang dilakukan Bung Karno. Saya katakan, pikiran Bung Karno sudah jauh ke depan ketika mengajukan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV 1962. Bung Karno ingin menanamkan sikap percaya diri dari warga bangsa ini bahwa kita tidak kalah kemampuannya dari bangsa lain.
 
Namun jalan revolusi yang dipilih Bung Karno bukan hanya bermodalkan semangat saja. Ia mempunyai visi yang jelas dan jauh ke depan. Peningkatan kemampuan anak-anak muda Indonesia tidak cukup hanya sekadar menyuntikkan semangat saja. Pun harus diikuti dengan penguasaan sport science. Bung Karno sudah menyadari, pembinaan olahraga harus menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  Untuk itulah Bung Karno melobi Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower dan John F. Kennedy agar Indonesia bisa mendapatkan bantuan beasiswa. Sementara itu kepada Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev, Bung Karno meminta dibantu untuk dibangunkan fasilitas olahraga.
 
Hasil lobi Bung Karno membuat kita mempunyai fasilitas olahraga yang begitu lengkap di sekitar Senayan. Ketika baru dibangun, Gelora Bung Karno merupakan kompleks olahraga yang paling lengkap di Asia dengan Stadion Utama Senayan yang begitu megahnya.
 
Dari AS, Bung Karno mendapat kesempatan untuk mengirimkan banyak pemuda untuk menimba ilmu, termasuk sport science. Salah seorang pemuda yang mendapat kesempatan untuk menggeluti ilmu olahraga itu adalah Mangombar Ferdinand Siregar yang mendalami physical education di Springfield College, Massachusetts, Boston.
 
MF Siregar kemudian dikenal sebagai matahari olahraga Indonesia. Konsep dan strategi yang disusunnya membuat Indonesia mencatatkan tinta emas. Ketika itu, untuk pertama kalinya Indonesia meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992.
 
Dengan rencana
Revolusi harus dijalankan dengan rencana. Hal itu merupakan pelajaran terpenting yang bisa kita petik dari Bung Karno. Bahkan revolusi menuntut hadirnya pemimpin yang militan dan mau mengorbankan seluruh tenaga serta pikirannya bagi keberhasilan revolusi yang dicanangkan.
 
Sekarang ini begitu mudah kita mendengar kata revolusi. Namun revolusi itu hanya sekadar kata-kata dan hanya bermodalkan semangat belaka. Tidak terlihat konsep untuk menjabarkan revolusi yang digaungkannya dan militansi dalam melaksanakan.
 
Lihat saja reaksi yang muncul dari sanksi yang dijatuhkan Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) terhadap sepak bola Indonesia. Sampai tingkat Presiden menyambut dengan suka cita dan mengatakan bahwa inilah momentum untuk melakukan revolusi total pembinaan sepak bola Indonesia.
 
Ketika ditanyakan, bagaimana revolusi yang akan dilakukan itu? Jawabnya sederhana: "Pokoknya kita perbaiki organisasinya agar menjadi transparan. Kita gulirkan kompetisinya agar bebas dari suap. Tidak apa-apa kita sekarang dikenai sanksi, kita perbaiki sepak bola di dalam negeri dan nanti setelah itu kita pasti akan berprestasi tinggi."
 
Bagaimana teknis pelaksanaannya? Lagi-lagi jawabannya sederhana: "Kalau urusan teknis bagaimananya, tanyakan kepada Menpora."
 
Betapa terkejutnya setelah sanksi FIFA dijatuhkan dan anggota Tim Transisi, Cheppy Wartono diundang oleh MetroTV dalam program "Primetime News" mengatakan, timnya baru akan merumuskan konsep pembenahan sepak bola Indonesia. "Kami sudah dihubungi konsultan dari beberapa negara untuk membantu merumuskan konsep pembinaan sepak bola Indonesia. Nanti kita akan lakukan bidding. Pokoknya semua akan dilakukan secara transparan. Kami nanti akan buat blue print pembinaan sepak bola yang akan membuat kita berprestasi di tingkat internasional."
 
Jangan hanya bongkar
Terus terang kita kaget dengan cara kerja yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Begitu tingginya semangat untuk "membongkar", tetapi tidak sejalan dengan semangatnya untuk "membangun".
 
Kita tentunya berharap agar Kemenpora jangan hanya "sekadar bisa bongkar, tetapi tidak bisa pasang." Kemenpora harus seperti tukang reparasi arloji, yang cekatan dalam membongkar, tetapi juga piawai untuk menatanya kembali.
 
Pertama tentunya kita berharap para birokrat di Kemenpora paham tentang prinsip "lex sportiva". Bahwa dalam olahraga itu berlaku aturan yang bersifat otonomi dan transnasional. Apa yang dilakukan FIFA terhadap Indonesia bukan bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara, tetapi memang itulah prinsip olahraga yang disepakati seluruh masyarakat internasional.
 
Kedua, Tim Transisi yang dibentuk Menpora untuk membenahi sepak bola Indonesia menunjukkan sikap yang militan. Tidak mungkin revolusi dilakukan dengan sikap "alon-alon asal kelakon". Harus ada kemauan untuk bekerja 24 jam demi perbaikan sepak bola Indonesia.
 
Kerusakan yang diakibatkan oleh pilihan Presiden untuk membiarkan Indonesia dikenai sanksi oleh FIFA sudah terjadi. Persib Bandung dan Persipura Jayapura harus mengubur mimpinya untuk bisa terus berlaga di ajang kompetisi AFC. Anak-anak muda yang sudah berlatih selama satu tahun, harus melupakan mimpi tampil di ajang Piala AFF U-16 dan U-19 yang bulan depan bertanding di Solo dan Sidoarjo. Para pemain yang menggantungkan hidupnya dari sepak bola harus menganggur tanpa gaji untuk sementara waktu.
 
Pembekuan PSSI yang dilakukan Menpora membuat keuangan organisasi itu berdarah. Sampai hari Jumat lalu keuangan PSSI mengalami defisit Rp 28 miliar. Hilangnya pemasukan dari sponsor, bantuan FIFA, dan kontrak dari televisi membuat PSSI kehilangan penerimaan. Hingga akhir tahun ini defisit keuangan PSSI diperkirakan mencapai Rp 50 miliar.
 
Langkah cepat pemerintah diperlukan agar anak-anak muda yang tidak tahu menahu urusan politik, tidak menjadi korban. Semakin lama sepak bola Indonesia dibekukan, maka semakin hilang "periode emas" dari setiap pemain.
 
Kita harus menyadari, masa bakti yang dimiliki seorang atlet dalam menggeluti profesinya sangatlah terbatas. Rata-rata hanya 10 tahun waktu yang dimiliki seorang atlet untuk memanfaatkan "masa kejayaannya". Setelah itu prestasinya akan menurun sejalan dengan waktu.
 
Timnas Indonesia U-19 yang pernah berprestasi gemilang di penyisihan Piala Asia misalnya, sekarang sudah beranjak memasuki usia 20-21 tahun. Kalau kita biarkan para pemain terlantar terlalu lama, maka kita tidak pernah bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki Evan Dimas dan kawan-kawan.
 
Sebagai rakyat biasa, kita tentunya menyerahkan sepenuhnya langkah yang diambil pemerintah. Sebagai pemegang kekuasaan, pemerintah bisa melakukan apa saja yang dimauinya. Mudah-mudahan pemerintah sekarang ini memang sungguh-sungguh ingin melakukan revolusi terhadap persepakbolaan Indonesia.
 
Kita berharap pemerintah paham akan persoalan yang sebenarnya dihadapi dan tahu akan ke mana langkah memperbaikinya. Bahwa pembinaan sepak bola tidak hanya terkait dengan urusan governance semata, tetapi juga kompetisi dan football development. Khusus football development sebenarnya tanggung jawabnya juga ada pada pemerintah untuk bisa menyediakan lapangan agar muncul bibit-bibit muda seperti kita menemukan Iswadi Idris dari Lapangan Banteng. Kita tunggu saja realisasi dari janji Menpora dan Presiden untuk memperbaiki sepak bola Indonesia.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(HIL)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif