PEKAN lalu, penulis memuat tulisan tentang awan duka yang sedang menyelimuti sepak bola Indonesia. Ternyata, efek domino terus menjalar dan mengusik kelangsungan hidup kompetisi sepak bola di Tanah Air.
Mulai dari keributan di babak delapan besar Liga Super Indonesia 2014, hingga puncaknya terjadi keributan antara suporter dan aparat keamanan di babak delapan besar Divisi Utama di Stadion Manahan Solo, Jawa Tengah, yang mengakibatkan seorang suporter Persis Solo meninggal dunia. Saat itu, aksi anarkisme menjalar ke luar stadion. Suporter yang beringas karena tidak puas dengan 'kepemimpinan wasit' merusak sejumlah kendaraan dan membakarnya. Akibatnya PT Liga langsung menggelar rapat darurat dengan Komisi Disiplin, Komisi Wasit dan Komisi Keamanan. Sanksi pun diterima Persis Solo, yaitu tidak bolah menyelenggarakan kegiatan sepak bola selama enam bulan.
Belum hilang duka lara tersebut, awan mendung kembali mengoyak jagad sepak bola Indonesia. Kali ini pelakunya, kembali, klub anggota di Divisi Utama. PSIS Semarang dan tamunya PSS Sleman terbukti melanggar sportivitas olah raga. Kedua tim terlibat 'sepak bola gajah' sebuah istilah permainan sepak bola yang intinya tidak menginginkan adanya permainan sesungguhnya. Lima gol bunuh diri yang tercipta di laga tersebut, menjadi bukit tercorengnya nilai-nilai sportivitas olah raga.
Tak lama, PSSI pun memanggil kedua tim yang terlibat skandal. Dua-duanya, yang akibat permainan 'kotor' tersebut lolos ke semifinal lantas didiskualifikasi dari pentas Divisi Utama. Saat sidang yang digelar Komdis PSSI, kedua tim mengaku ingin menghindari pertemuan dengan Borneo FC, yang digadang-gadang menjadi calon kuat juara Divisi Utama.
Seperti tidak pernah terjadi sesuatu, semua pihak yang terlibat dengan enteng menerima sanksi apapun yang dijatuhkan PSSI. Bahkan, pemain yang terlibat pun dengan ringan menjawab, "Ngebleng, semua terjadi spontan. Itu reflek di lapangan, kita fokus sama permainan sendiri. Kita coba main safe. Kita cuma terbawa emosi," ungkap salah seorang pemain PSS.
"Kita memenuhi panggilan Komdis (Komisi Disiplin), ya sudah jalanin aja apa yang sudah terjadi. Secara pribadi saya siap segala risikonya," papar sang pemain.
Wasit yang memimpin laga PSIS Semarang vs PSS Sleman Hulman Simangunsong pun ketimpa sial. Dirinya diberhentikan sementara dari tugas memimpin pertandingan, bahkan hukumannya bisa ditambah jika hasil investigasi menemukan bukti lain.
Ketua Umum PSSI Djohar Arifin pun angkat bicara soal kasus pencorengan di bawah naungan institusinya tersebut. Djohar yang juga pernah mencicipi menjadi wasit nasional dan internasional berjanji, "Kita tidak menutup pintu terhadap semua informasi dari masyarakat atau siapapun atas ketidakberesan dalam suatu pertandingan. Laporkan pada kami secara rahasia. Itu akan membantu PSSI untuk menelusuri ketidakberesan itu. Komisi disiplin akan terus mencari peluang-peluang apa saja yang mengganggu kompetisi kita," tegasnya.
Setali tiga uang dengan Djohar, Pengurus Cabang PSSI Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pun meminta PSS Sleman menerima sanksi atas pertandingan "sepak bola gajah" yang dijalaninya. "Kami sangat menyayangkan dan menyesalkan pertandingan itu yang jauh dari nilai sportivitas," kata Hendricus Mulyono.
Bahkan ia mengatakan, dari pertandingan tersebut ada indikasi perang mafia. Kecurigaan tersebut sudah terlihat antara kedua tim, yaitu PSS Sleman dan PSIS Semarang tidak ingin memenangi laga, karena jika menjadi juara grup akan melawan Borneo FC yang sebagai runner up di grup lain, pada putaran semifinal nanti.
Ia berharap, Komisi Disiplin PSSI harus mengusut kasus ini sampai ke akar-akarnya. Jangan sampai hal ini terulang kembali dalam persepakbolaan Indonesia yang mulai banyak digemari masyarakat.
Bahkan seorang teman mengatakan, jargon fair play dan respect yang selama ini sudah dilakukan PSSI dan PT Liga belum bisa menusuk ke hati paling dalam pelaku sepak bola Indonesia, mulai pemain, official, hingga ke penonton yang ada di luar lapangan. "Harus ada kampanye dengan cara lain dan berkesinambungan. Saya masih bermimpi sepak bola Indonesia nantinya lebih baik," ujarnya berharap.
Sampai seorang teman yang lain menyarankan, verifikasi klub harus dilakukan tanpa kompromi. Lebih baik kompetisi diikuti lebih sedikit klub tapi lebih terjaga secara kualitatif. Itu lebih baik ketimbang mengejar kuota yang pada akhirnya menjadi bumerang.
Apalagi ada isu tak sedap di luar yang mengatakan, tim yang lolos semifinal Liga Super Indonesia sudah diketahui sejak jauh-jauh hari. Konon, demi pertimbangan bisnis wasit di partai krusial diduga ikut 'bermain'. Lagi-lagi ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah buat PSSI. Singkat saja, apabila terbukti melakukan tindakan tidak terpuji, apakah itu klub, pemain, wasit, official, bahkan penonton sekalipun, sanksi keras dan tegas perlu diterapkan tanpa pandang bulu. Semuanya tentu demi kemajuan sepak bola nasional sehingga bisa kembali berprestasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(RIZ)