\ Christian Hadinata: Terus Berkarya demi Bayar Utang kepada Negara
Christian Hadinata (Foto: MTVN/Alfa Mandalika)
Christian Hadinata (Foto: MTVN/Alfa Mandalika)

Christian Hadinata: Terus Berkarya demi Bayar "Utang" kepada Negara

Bola bulu tangkis
Alfa Mandalika • 12 Maret 2016 00:38
PAGI sekira pukul 10, Senin 8 Maret, senyum khas menyambut saya di suatu ruangan, tepatnya di kompleks Gelanggang Olahraga Djarum, Jakarta Pusat. Ya, orang itu tak lain tak bukan ialah sosok maestro bulu tangkis Indonesia, Christian Hadinata.
 
Koh Chris, begitu ia akrab disapa, langsung menawarkan saya minuman dingin sembari mempersilakan saya duduk di ruangan yang berada tepat di samping lapangan bulu tangkis.
 
Perbincangan kami pun langsung mencair ketika saya menanyakan kabar Koh Chris, “Bagaimana Koh Chris kabarnya?”, ia menjawab “Ya saya baik-baik saja,”.
  Saya langsung menanyakan seputar ketertarikan ia dengan bulu tangkis. Singkat cerita, ia mengaku sejak kecil sudah menggemari olahraga. Segala macam olahraga pun ia lakoni. Mulai dari sepak bola, bola voli, basket, sampai ke bulu tangkis.
 
“Saya sejak kecil sudah senang dengan olahraga. Seperti biasa anak kecil laki-laki pada umumnya, lebih senang dengan sepak bola. Tetapi, setelah lulus SMP dan masuk SLTA, saya mulai berpikir, akan menekuni olahraga mana. Lalu, saya sempat melihat kiprah senior saya seperti Pak Tan Joe Hok, Pak Ferry Sonneville, Pak Eddy Yusuf, Pak Lie Po Tjian yang prestasinya sudah mendunia. Jadi, saya berpikir ternyata bulu tangkis bisa bersaing di dunia dan internasional," Koh Chris mulai bercerita.
 
Titik balik Christian Hadinata di dunia bulu tangkis adalah ketika ia dipanggil oleh kakaknya untuk liburan di Bandung. Ketika itu, ia ‘ditahan’ sang kakak untuk tidak kembali ke Purwokerto. Christian Hadinata akhirnya masuk klub bulu tangkis Blue White di Bandung. Sambil berlatih, Chris mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Olahraga di Bandung.
 
“Kronologisnya, setelah saya lulus SLTA di Purwokerto itu, sebetulnya saya sudah mendaftar di salah satu Universitas di Purwokerto dan masih ada sampai sekarang, Unsoed (Universitas Soedirman). Saya sudah diterima dan tinggal menjalani pekan orientasi mahasiswa (Ospek). Pada saat menunggu jadwal ospek, saya dipanggil kakak saya yang di Bandung untuk liburan ke Bandung. Dan di situlah titik baliknya, saya tidak boleh pulang. Terus dimasukan klub dan sampai sekarang klubnya masih ada. Klub awal pertama saya dulu bernama Blue White sekarang namanya Mutiara. Masih ada sampai sekarang, malah tambah bagus. Mereka memiliki sarana dan gedung yang besar, dulu kita latihan di gedung nyewa," lanjutnya.
 
"Dimasukan sebagai anggota klub itu, mulai agak teratur latihannya. Sambil itu, saya kuliah di Sekolah Tinggi Olahraga di Bandung. Dosennya adalah salah satu almarhum pak Tahir Sidik. Dan belakangan dia menjadi pelatih fisik tim bulu tangkis nasional,” papar Christian.
 
Dan keputusan Christian untuk menimba ilmu di dunia bulu tangkis membuahkan hasil yang manis. Pasalnya, ia mampu menorehkan prestasi-prestasi mentereng khususnya di sektor ganda. Boleh dibilang, Christian merupakan pemain ganda terbaik yang pernah dimiliki Indonesia pada era 70an.
 
*Serba Pertama di All England
 
Christian juga menceritakan pengalaman tak terlupakan di gelaran All England. Tepatnya terjadi pada 1972. Ketika itu ia berpasangan dengan Ade Chandra. Kejuaraan tersebut terasa istimewa bagi Christian. Pasalnya, ia berhasil meraih gelar juara All England pertama kali di sektor ganda putra. Christian/Ade juga membuka mata orang-orang Eropa bahwa Indonesia memiliki kekuatan di sektor ganda yang patut diperhitungkan.
 
“Pengalaman paling mengesankan ketika menjadi juara All England pertama kali pada 1972. Berkesan karena ketika itu semuanya serba pertama di Kejuaraan paling tua. All England sering disebut kejuaraan dunia tidak resmi, karena All England merupakan kejuaraan paling bergengsi di nomor individu sampai sekarang. Ibarat di tenis itu salah satu kejuaraan Grand Slam-nya,” ujar Christian.
 
“All England 1972, saya pertama kali ke Eropa, pertama kali ikut All England, pertama kalinya juga Indonesia meraih titel juara di ganda putra, karena sebelumnya tidak ada nomor ganda putra. Oleh karena itu, Indonesia sempat tidak dipandang ketika itu, orang-orang tahunya Rudi Hartono.”
 
“Jadi ya itu, pertama kali datang, bertanding, dan langsung juara. Dan itu sangat berkesan sekali. Ketika berada di babak 64 belum ada yang melihat, babak 32 menang lagi belum kelihatan juga, babak 16 besar saja masih belum kelihatan. Dan mulai delapan besar, mulai orang-orang menanyakan, INA (Indonesia) itu siapa yang main. Dan menang lagi dan lolos ke semifinal, di situ baru jelas, ada tiga Eropa dan satu Asia yang diwakili oleh Indonesia,"imbuhnya.
 
"Di final kami mengalahkan ganda Inggris, saya masih ingat namanya karena mudah dihafal namanya David Eddy-Eddy Satton. Sampai sekarang masih suka ketemu David Eddy karena ia jadi panitia pelaksana di All England,” jelas Christian.
 
Ayah dua anak itu juga menceritakan, pengalaman bertanding di All England berbeda dengan kejuaraan-kejuaraan yang ia sudah rasakan. Dari segi penyelenggaraannya, All England sangat berbeda.
 
Atmosfer All England, kata Christian, sangat “angker”. Ketika itu All England masih berlangsung di kompleks olahraga di Wembley, London.
 
“Saya membandingkan ketika bertanding di Wembley dengan tempat lain, auranya berbeda dan atmosfernya “angker”. Gedungnya suram, dingin, tetapi disiplin panitia pelaksana sangat luar biasa dan tertata rapih. Para penonton juga tidak boleh berisik, penonton boleh tepuk tangan kalau bola sudah mati. Tetapi, pada reli berjalan tidak boleh berisik. Kalau penonton berisik, langsung dilihatin satu stadion, semua nengok, jadi malu sendiri,” ungkap Christian.
 
“Panitia pelaksana sangat ketat menerapkan tata tertibnya. Dari masuk ke lapangan pertandingannya, tradisi negara Inggris terasa sekali. Jadi, hampir tidak berubah. Untuk tempat duduk pemain, lalu tempat warming up tidak semerawut, ID card tidak boleh lepas. Kalau melebihi kuota ya harus bayar 50 pounds satu ID card. Jadi, tidak ada istilahnya ada keluarga pemain, keluarga pelatih, kalau tidak punya ID ya harus bayar,” sambungnya.
 
*Memutuskan Pensiun, tetapi Tidak Mau Jauh dari Bulu Tangkis
 
Setelah malang melintang di dunia bulu tangkis, Christian akhirnya memutuskan untuk pensiun pada 1988. Ia mengakhiri kejuaraan internasionalnya dengan menjadi juara di ganda putra di AS Terbuka bersama Lius Pongoh dan ganda campuran dengan rekannya, Ivana Lie.
 
Setelah itu, Christian mencoba belajar menjadi pelatih bulu tangkis khusus di ganda putra. Kesempatan menjadi pelatih pun langsung menghampiri Christian ketika tim bulu tangkis Indonesia sedang mempersiapkan diri tampil di Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol.
 
Pada debut awalnya, Christian mengantarkan ganda putra Eddy Hartono dan Rudy Gunawan merebut medali perak. Di partai final, Eddy/Rudy takluk dari ganda Korea Selatan, Kim Moon-Soo dan Park Joo-boong.
 
“Terakhir bertanding di level internasional pada 1988 di Amerika Terbuka. Usia saya waktu itu 39 tahun. Saya berhasil menjadi juara bersama Lius Pongoh di ganda putra, lalu menjadi juara di ganda campuran bersama Ivana Lee. Setelah itu, saya hanya main antar klub saja. Akan tetapi, selama dua tahun saya magang menjadi pelatih di klub Djarum. Setelah pensiun, saya tidak berani langsung menjadi pelatih, jadi saya magang dulu," jelasnya.
 
"Dan pada tahun 1990, saya mendapatkan panggilan dari almarhum MF Siregar, ketika itu untuk persiapan Olimpiade 92 di Barcelona. Waktu itu, bulu tangkis pertama kalinya masuk Olimpiade, saya disiapkan menjadi pelatih tim nasional bulu tangkis Indonesia. Saya juga sudah merasa siap untuk mengambil tantangan itu,” ujar Christian.
 
“Saya mengantarkan Eddy Hartono/Rudy Gunawan meraih perak. Kami kalah dari ganda Korea. Waktu itu, Susi Susanti dan Alan Budikusuma meraih medali emas di sektor tunggal putri dan putra. Kita baru meraih medali emas lagi saat Ricky Subagja/Rexy Mainaky di Olmpiade Atlanta pada 1996. Oleh karena itu, pada Olimpiade 2016 ini harus mengembalikan tradisi emas,” imbuhnya.
 
*Tekad Tinggi Bayar “Utang” kepada Negara
 
Bukan tanpa alasan Christian mau mendedikasikan dirinya untuk menjadi pelatih bulu tangkis Indonesia. Ya, Christian menganggap kesempatan dirinya untuk bertanding keliling dunia ingin ia bayar dengan pengabdiannya sebagai pelatih.
 
Keinginan untuk mengabdi bukan tanpa rintangan, tidak sedikit juga tawaran menggiurkan datang dari luar negeri. Akan tetapi, semua tawaran itu tidak ditanggapi dengan serius. Ia tetap bertekad terus berkarya untuk membayar “utang” kepada Indonesia.
 
“Setelah pensiun, saya memang total untuk bulu tangkis Indonesia. Saya tidak main bisnis atau yang lain-lain, jadi kerjanya di lapangan saja,” kata Koh Chris.
 
“Saya bisa seperti ini karena bulu tangkis dalam hal ini organisasi PBSI. Saya bisa keliling dunia, bertanding, meraih gelar, ketemu Presiden, itu semua karena bulu tangkis. Sekarang, setelah masa tugas selesai, apa yang bisa saya kasih, ya bayar utang lah. Saya harus serahkan tenaga, waktu, dan memikirkan bagaimana tradisi bulu tangkis Indonesia tetap bagus”.
 
“Tawaran juga sudah datang dari luar negeri, karena mereka melihat saya sudah bisa berprestasi. Tetapi, saya tolak. Saya juga suka dibodoh-bodohi karena tidak ingin mengambil kesempatan itu, apalagi ada tawaran dengan bayaran yang tinggi. Saat ini, prinsip saya harus bayar utang,” tegas Christian.
 
“Saya merasa, balas utang saya belum selesai, selama saya masih diminta sumbangsihnya, tenaga, dan ide berarti belum selesai. Sekarang, tugas saya mencari bibit-bibit agar regenerasi tidak putus. Selain itu, saya melatih pelatih untuk membicarakan segi teknis dan non-teknis,” urainya.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(ACF)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif