\ Merampas Hak Bermain
Penggawa Arema Cronus mengangkat piala seusai laga Final Inter Island cup 2014 di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring Palembang. (Foto: Antara/Feny Selly)
Penggawa Arema Cronus mengangkat piala seusai laga Final Inter Island cup 2014 di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring Palembang. (Foto: Antara/Feny Selly)

Merampas Hak Bermain

Bola kisruh pssi
Suryopratomo • 09 Juni 2015 07:31
Merampas Hak Bermain
Metrotvnews.com:
Christian Gonzales ketika memutuskan melepas kewarganegaraan Uruguay untuk menjadi warga negara Indonesia pasti melihat masa depan sepak bola yang lebih baik di sini. Meski harus menunggu enam tahun agar proses naturalisasinya bisa disetujui, Gonzales sabar untuk menjalaninya.
 
Termasuk ketika ayahnya meninggal di Montevideo. Gonzales memutuskan untuk tidak mengantar kepergian sang ayah karena khawatir proses perpindahan kewarganegaraannya akan terganggu. Ketika 3 November 2010 permohonannya untuk menjadi warganegara Indonesia diterima, Gonzales menyambutnya dengan penuh antusias. Ia merasa bisa berbakti kepada negara barunya melalui keahliannya di sepak bola.
 
Apalagi sejak 1995 ia sudah menikahi perempuan pilihannya, Eva Nurida Siregar. Buah dari pernikahannya ia memiliki empat anak, Amanda Gonzales, Michael Gonzales, Fernando Gonzales, dan Florencia Gonzales. Sejak kiprah pertamanya saat membela Tim Merah-Putih melawan Timor Leste, Gonzales memberikan ketajaman kepada tim nasional. Dua gol yang dipersembahkannya membawa Indonesia menang 6-0 saat itu.
  Kita masih ingat bagaimana Gonzales membangkitkan kembali kecintaan masyarakat kepada Tim Nasional di ajang Piala AFF 2010. Semua orang kembali bangga menggunakan kostum PSSI. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono datang langsung ke Stadion Utama Senayan untuk memberikan dukungan. Sayang kekalahan telak pada leg pertama di Kuala Lumpur, Firman Utina dan kawan-kawan gagal merebut juara karena kalah selisih gol dari Malaysia.
 
Kini mimpi Gonzales untuk membela kesebelasan "Merah-Putih" tiba-tiba sirna. Sanksi yang dijatuhkan FIFA menyebabkan kita tidak bisa berkiprah lagi di ajang internasional. Bahkan untuk bisa membela klub pun kini tidak bisa.
 
Kondisi ini pasti tidak pernah dibayangkan oleh Gonzales. Ia berpindah kewarganegaraan karena sepak bola. Tetapi kini masa depannya dengan sepak bola boleh dikatakan hilang. Padahal itulah yang menghidupi dirinya dan juga anak-istrinya.
 
Tidak keliru apabila keluarga Gonzales mengeluh dengan masa depan yang harus dihadapinya. Kini ia harus hidup dari tabungannya yang masih ada dari kiprahnya bermain sepak bola selama ini.
 
Tidak sendirian
 
Gonzales tidak sendirian tiba-tiba harus kehilangan masa depannya. Ada ribuan bahkan jutaan anak-anak Indonesia yang harus kehilangan mimpinya. Sekarang semua menjadi serba tidak jelas. Anak-anak tim PSSI U-16 dan U-19 sudah satu tahun berlatih untuk menghadapi ajang Piala AFF dan Piala AFC bulan Juli mendatang di Solo dan Sidoarjo terpaksa pulang kampung sebelum bertanding. Semua jerih payah mereka sia-sia karena pemerintah memilih menjadi pariah dalam sepak bola internasional.
 
Pelatih Tim PSSI U-16 dan U-19 Fachri Husaini secara khusus mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Ia mempertanyakan, apakah anak-anak Indonesia yang cinta sepak bola pantas dihukum atas konflik politik tingkat atas yang mereka tidak pernah terlibat. Fachri tidak tahu apakah Jokowi membaca surat yang dikirimkannya. Namun sebagai mantan kapten tim nasional, Fachri tahu setiap warga negara selalu berupaya untuk memberikan yang terbaik kepada negaranya. Ia pun pernah mendarmabaktikan dirinya untuk negara ketika masih bermain dan membela "Merah-Putih" di berbagai event internasional.
 
Memang tidak banyak gelar yang ia pernah berikan untuk Indonesia. Tetapi sumbangsih kepada negara tidak harus berupa gelar juara. Ketika kita menunjukkan permainan pantang menyerah dan membuat lawan harus bekerja keras mengalahkan kita, maka perjuangan itu menunjukkan sikap bangsa Indonesia yang tidak pernah takut kepada siapa pun dan berupaya untuk mencapai yang terbaik.
 
Presiden Jokowi memang mengatakan, untuk apa bermain di ajang internasional kalau selalu kalah. Kalau ukurannya selalu harus juara baru mengirimkan atlet ke luar negeri, maka Indonesia tidak pernah akan berkiprah apa pun di fora internasional. Presiden seharusnya mengkaji juga pengiriman atlet bulu tangkis ke pertandingan internasional, karena tidak pernah lagi menjadi juara. Dalam Kejuaraan Indonesia Terbuka pun kita tidak mampu merebut satu pun gelar juara.
 
Rupanya Presiden tidak menyadari bahwa sebuah bangsa harus terus memupuk harapan. Tugas pemimpin adalah memupuk harapan dari warganya untuk mencapai prestasi tertinggi. Dengan harapan itu sebuah bangsa akan memiliki elan untuk menjadi yang terbaik. Harapan itu yang akan membuat bangsa tidak mudah untuk menyerah.
 
Sekarang prestasi sepak bola Indonesia tengah terpuruk. Para pembina sepak bola boleh dinilai tidak kapabel memimpin organisasi. Tetapi harapan bagi anak muda untuk memberikan sumbangsih kepada negara tidak boleh pernah dimatikan. Berilah kesempatan bagi anak-anak untuk bisa bermain. Karena dari bermain itulah mereka akan menjadi pribadi yang kuat. Dari bermain itulah mereka mengerti arti memberi kepada bangsa dan negara. Semua orang mau memberi sesuatu kepada bangsa ini, sekecil apa pun pemberian yang bisa disumbangkan.
 
"Collateral damage"
 
Pemerintah mengatakan, sanksi FIFA tidak perlu membuat kita menangis. Ini justru menjadi momentum bagi perbaikan sepak bola Indonesia ke depan. Lebih baik sekarang kita memperbaiki sepak bola dalam negeri, agar ketika kelak sanksi itu dicabut kita bisa berprestasi tinggi.
 
Apakah jalan fatalis ini merupakan pilihan terbaik? Tidak adakah jalan perbaikan lain yang tidak merusak dan mematikan hak bermain sepak bola bagi banyak anak Indonesia? Sekarang Persipura Jayapura sudah memutuskan untuk membubarkan tim. PSM Makassar juga memilih untuk istirahat. Demikian pula tim yang disokong banyak sponsor Persib Bandung.
 
Ratusan anak Indonesia yang hidup dari sepak bola kini harus kehilangan mata pencaharian. Bak tsunami tiba-tiba para pemain harus kehilangan masa depannya. Apakah pemerintah peduli dengan kehidupan para pemain sepak bola? Kehidupan dari banyak orang yang memilih menjadi pemain sepak bola sebagai sebuah profesi.
 
Padahal memilih profesi sebagai atlet bukanlah pilihan yang mudah. Ini bukanlah profesi yang bisa bertahan lama. Seorang atlet rata-rata hanya memiliki waktu 10 tahun untuk mendulang sesuatu dari pekerjaannya itu. Setelah 10 tahun mereka akan pensiun untuk digantikan bintang baru.
 
Para pejabat negara boleh mengatakan, sanksi FIFA merupakan konsekuensi logis dari upaya pembenahan yang hendak dilakukan. Hilangnya kesempatan bermain sepak bola dari anak-anak Indonesia hanyalah sebuah "collateral damage". Toh ini hanya sementara dan beberapa tahun lagi pasti sanksi itu akan dicabut.
 
Mengerikan sekali kalau kesempatan bermain sepak bola bagi anak-anak Indonesia hanya dianggap sebagai sebuah "collateral damage". Cara berpikir seperti itu umumnya hanya berlaku pada para teroris. Mereka tidak peduli terhadap biaya yang harus dibayarkan untuk mencapai tujuan. Apakah cara berpikir pemerintah sekarang adalah cara berpikir teroris?
 
Perlu dipikirkan
 
Seorang pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) mengirimkan pesan kepada saya. Ia berterima kasih atas dukungan dan doa karena anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan master di Prancis.
Tugas utama dari orangtua adalah memberikan pendidikan terbaik kepada putra-putrinya. Oleh karena itu wajar apabila sang pejabat itu bersuka cita karena tugasnya sebagai orangtua sudah dijalankan dengan baik.
 
Hanya saja saya kemudian bertanya kepada sang pejabat, apakah ia pernah juga ikut memikirkan nasib dan masa depan anak-anak Indonesia yang memilih jalan sepak bola sebagai hidupnya? Apakah ketika mengambil keputusan, ia memikirkan anak-anak Papua yang kini harus menganggur karena permainan sepak bolanya diambil oleh negara?
 
Saya katakan, anak-anak Indonesia itu tidak terlibat dalam politik persepakbolaan. Mereka tidak peduli siapa yang akan memimpin PSSI. Yang terpenting orang yang memimpin PSSI peduli kepada kemajuan sepak bola Indonesia dan nasib para pemain sepak bola.
 
Pemerintah boleh tidak suka kepada Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti. Pemerintah boleh memecat La Nyalla sebagai Ketua Umum PSSI. La Nyalla tidak akan kehilangan masa depannya dengan tidak menjadi Ketua Umum PSSI. Ia bisa dengan mudah kembali kepada pekerjaan dan bisnisnya. Tetapi anak-anak Indonesia yang menggantungkan hidupnya dari sepak bola, mereka kehilangan masa depannya.
 
Sang pejabat itu menjawab: "hehehehehehe... Itu yang harus kita pikirkan."
 
Saya katakan, itu seharusnya dipikirkan sebelum keputusan diambil. Pejabat negara itu harus memiliki wisdom agar bisa mempertimbangkan "unintended consequences" atau "akibat yang tidak diduga" atas keputusan yang akan diambil. Sebab pemerintah ini adalah pemerintahan Indonesia Merdeka bukan "Kompeni Belanda" yang seharusnya peduli kepada hak bermain dari rakyatnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(ASM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif